DIALOG ULAMA ISLAM DAN SI KAFIR CERDIK (PART IV)

ZARANGGI (PART 4)
Terperanjat juga sang tokoh kita ini mendengar kata-kata Zaranggi. Tapi ia belum paham benar apa maksud Zaranggi. Maka, dengan sedikit heran, karena ia memang berusaha menutupinya, ia bertanya:
“Kenapa Nabi tidak boleh menyusunnya?”
“Lho… Anda tadi, di waktu menjelaskan rukun Islam dan rukun Iman, mengatakan bahwa Nabi itu adalah wakil Tuhan, bukankah begitu?”
“Benar” jawab sang tokoh pendek.
“Nah… kalau begitu, karena ia wakil Tuhan, maka bolehkah ia mengatur dan menyusun sendiri firman-firman Tuhan itu Tuan? Bolehkah wakil Tuhan mengatur dan menyusun firman Tuhan?” Zaranggi terus mendesak.
“Katakanlah tidak boleh, tapi dalam penyusunan itu tak akan mempengaruhi isinya dan tujuan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia, Tuan” sang tokoh berusaha menjelaskan posisi al-Qur’an.
“Aneh… aneh juga agama Tuan ini (desah Zaranggi). Kenapa Tuhan Anda tidak melakukan penyusunan itu dan mengesahkannya pada manusia.”

Read More..

DIALOG ULAMA ISLAM DAN SI KAFIR CERDIK (PART III)

ZARANGGI (PART 3)

“Yah… memang demikian” kata sang tokoh tidak dapat menolak kata-kata Zaranggi. Karena ia sadar perbedaan pendapat dalam banyak hal dalam Islam terjadi. Bahkan sampai kepada saling syirik-menyirikkan atau sesat-menyesatkan. “Akan tetapi (sambungnya) asal tidak bertentangan dengan Qur’an, kita dapat mengambilnya. Lagi pula walaupun penentu utama keshalehan adalah batin, akan tetapi hal itu dapat dipantau melalui amal-amal lahirnya. Dan amal-amal lahir itu ibarat sinar matahari. Artinya karena sinar matahari itu menunjukkan adanya matahari itu sendiri, maka amal-amal shaleh itu dapat menunjukkan keimanan seseorang.”
Kini Zaranggi betul-betul ingin membuktikan kebenaran Islam yang dibawa tokoh kita ini. Maka dari itu, ia terus mendesak tokoh kita. ia berkata:
“Apa yang Tuan sampaikan tidak dapat mengangkat kerelatifan dalam agama Islam yang dipahami oleh umatnya. Dan tidak menutup kemungkinan akan adanya penyelewengan-penyelewengan.”
“Kenapa begitu?” Sergah tokoh kita yang sudah mulai tidak sabaran ini. Dan segera ingin mengetahui alasan yang kelihatannya sengaja ditunda-tunda oleh Zaranggi.

Read More..

DIALOG ULAMA ISLAM DAN SI KAFIR CERDIK (PART II)

ZARANGGI (PART 2)
“Tapi baiklah, Anda tak perlu menjawabnya. Sekarang, bolehkah saya bertanya masalah lainnya?” Zaranggi mengalihkan pembicaraan karena dia melihat tokoh kita betul-betul kebingungan.
“Si… si… i… silahkan” sang tokoh memaksakan diri untuk mempersilahkan Zaranggi untuk bertanya. Walaupun sebenarnya ia sudah mulai kewalahan menghadapinya.
“Tadi Anda katakan bahwa agama adalah penentu segala-galanya, dan manusia tidak boleh mempersoalkannya. Apakah masuk akal atau tidak? Pertanyaan saya, kepada siapa, atau apa, Anda merujuk kebenaran agama (tolok ukur kebenaran agama)?” Zaranggi mulai membuka masalah baru.
“Kami merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadits” jawab sang tokoh sambil berusaha membaca pikiran Zaranggi.
“Oh… benar! saya lupa untuk menanyakannya. Apa al-Qur’an dan al-Hadits itu?” Zaranggi bertanya setelah ia merubah posisi duduknya.

Read More..

DIALOG ULAMA ISLAM DAN SI KAFIR CERDIK (PART I)

ZARANGGI (PART I)

Cerita ini terjadi pada beberapa abad yang lalu. Bermula dari pertemuan seorang ulama muslim dengan seorang kafir, yang kemudian berkelanjutan dengan dialog yang perlu kita renungkan. Sebagaimana yang kita ketahui dalam sejarah Islam, terdapat beberapa aliran pada waktu itu, dan bahkan sekarang. Salah satu dari perbedaan itu adalah bagaimana cara seorang muslim sejati menilai suatu “Kebaikan” dan “Keburukan”. Perbedaan itu sebenarnya menyangkut masalah fundamental keIslaman. Kubu Imam Ali as. dan Khawarij merupakan sumber utama perbedaan itu. Dan dari kedua kubu itulah kemudian menyusup masuk kedalam golongan-golongan lain, yang walaupun tidak memakai nama golongan keduanya. Pengikut Ahlulbait dan Khawarij.


Sebagian kaum muslimin mengatakan bahwa “Kebaikan” dan “Keburukan” hanya dapat ditentukan oleh Sunnah. Yaitu sunnah Allah (Al-Qur’an) dan sunnah-Nabi (Hadits). Akal tidak mempunyai dan tidak boleh mempunyai saham dalam menentukan keduanya. Sebab, akal sangat terbatas kemampuannya. Maka dari itu barangsiapa menggunakan akalnya dalam agama, maka ia sesat dan berada diluar jalur Islam. Seperti orang-orang yang bertanya “Mengapa ayat itu atau hadits itu demikian”. Mereka mengatakan bahwa kita harus menerima dan tidak boleh menggugat apa-apa yang ada dalam ayat dan hadits.

Read More..