SEJARAH WAHABI II

Pada tahun 1924, Turki ibn Abdullah, putra dari penguasa Saudi yang dipenggal di Istambul, mengambil alih Riyad, sebuah pemukiman di sebelah selatan Dir`iyyah yang dikemudian hari menjadi kota penting. Ini dapat terjadi karena pasukan dari Mesir mengundurkan diri Dari Najd pada 1821. Dari sana, kekuasannya meluas ke daerah `Aridh, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr dan Aflaj. Pada 1830, ia juga berhasil memperluas kekuasaan sampai ke wilayah Hasa, salah satu medan perang saudara di antara faksi-faksi klan Saudi. Amir Turki sendiri tidak mengutak-atik kekuasaan Usmaniyah dan Mesir di wilayah Hijaz, yang menjamin keamanan kafilah-kafilah haji. (al-Rasheed, 23).

Read More..

SEJARAH WAHABI

Pasukan Ibn Saud lari menyerbu. Mereka bertarung di tangga, kerumunan orang saling bergelut, berteriak dan membacok.

"Jangan bunuh aku, wahai Abu Turki, " Obaid memelas.

"Ini bukan tempat untuk belas kasihan, " jawab Ibn Saud.

"Aku akan menegakkan keadilan, pembalasan yang adil atas pembunuhan." Dia mengayunkan pedangnya tiga kali, dengan gerakan pergelangan tangan dan lengan bawah yang tangkas. Pada ayunan pertama, dia menyabet lutut Obaid dan saat Obaid terhuyung karena sabetan itu, dia menyerang lebih atas menebas lehernya sehingga darah menyembur keluar seperti dari pipa bocor.

"Saya memiliki empat istri seperti yang diizinkan Nabi, " jawab Ibn Saud.

"Tapi, berapa wanita yang telah Anda nikahi dan berapa yang telah Anda cerai?"

"Saya sudah menikahi dan menceraikan seratus wanita dan saya akan menikahi dan menceraikan lebih banyak lagi, " jawabnya.

Sumber: Sang Penjegal (Abdul Aziz Ibn Saud, Raja Saudi Arabia), karangan H.C. Armstrong, Penerbit Ramala Books, 2008)

**********

Read More..

Jejak Syariah dan Khalifah di Indonesia


Perhatian Ulama dan Politikus Islam Terhadap Khilafah

Belanda terus menghancurkan Islam. Namun, semangat dan persatuan Islam tak pudar. Tatkala Khilafah Islamiyah dihancurkan oleh Inggris melalui konspirasi jahatnya dengan Mustafa Kemal, dunia Islam mengalami kegoncangan. Upaya-upaya mengembalikan kembali Khilafah pun diupayakan. Tak ketinggalan juga ulama-ulama dari Indonesia. Untuk menyatukan langkah dalam menghadapi perjuangan, para ulama Indonesia pada tahun 1922 mengadakan konggres Islam di Cirebon dan pada tahun 1924 di Garut. Berikutnya, pada tahun 1926 di adakan Muktamar Alam Islamy Farul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor sebagai respon atas undangan Konggres Islam Sedunia yg diselenggarakan oleh Ibnu Saud. Tahun 1924, Syarif Husein Amir Makkah membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari 9 orang sayyid di tambah 19 orang perwakilan daerah/negara lainnya. Dua orang perwakilannya berasal dari Jawi (Indonesia). Pada tanggal 13-19 Mei 1926 diadakan Konggres Dunia Islam di kairo. Dari Indonesia hadir H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Bulan depannya, 1 Juni 1926 diselenggarakan Konggres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 orang utusan, yaitu H.O.S Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukkan mereka ditetapkan dalam Konggres Al Islam ke-4 di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan Konggres ke-5 di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berdua berangkat dari Tanjung Perak Surabaya dengan kapal rondo dan dielu-elukan oleh masyarakat. Sesampainya di Tanjung Priuk banyak pemimpin Islam yang menyambut mereka, bahkan memerlukan diri datang ke pelabuhan. Tahun 1927 berlangsung Konggres Khilafah kedua di Makkah. Indonesia diwakili oleh Haji Agus Salim (Sarekat Islam). Hasilnya Raja Saud (dalam sambutannya) tidak menginginkan dibicarakannya masalah khilafah dalam konggres tersebut. Sehingga konggres tersebut gagal. Ini semua menggambarkan bahwa para ulama dan tokoh politik Indonesia ketika itu menaruh perhatian besar terhadap khilafah. Bukan hanya ulama, bahkan orang Islam Indonesia tertarik pada persoalan khilafah ini semenjak Perang Dunia I berakhir. Kaum Muslim Indonesia memandang kekuasaan Sultan Turki sebagai Khalifah.

Read More..

Jejak Syariah dan Khalifah di Indonesia II

Dalam bidang pertanahan, terutama tentang hak pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari telah menjelaskan ketentuannya dalam kitab Fathul Jawad yang isinya memuat ketentuan fikih yang diantarannya ihyaul mawat. Dalam pasal 28 UU Sultan Adam Kerajaan Banjar, dijelaskan bahwa tanah pertanian yang subur di daerah Halabiu dan Negara adalah dibawah kekuasaan kerajaan. Karena itu, tidak boleh seorangpun melarang orang lain menggarap tanah tersebut kecuali memang diatas tanah itu ada tanaman atau bukti lainnya bahwa tanah itu sudah menjadi milik penggarap terdahulu. Ketentuan ini memang sesuai dengan ketentuan fikih Islam yang menyatakan bahwa tanah liar atau tanah yang belum digarap adalah dibawah kekuasaan raja (negara) dan siapa saja yang menggarapnya adalah yang memilikinya. Dengan demikian nampak jelas bahwa Islam dan syariatnya sudah menyatu dan terimplementasi secara menyeluruh dan sistemis.

Read More..

Jejak Syariah dan Khalifah di Indonesia


Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dengan berimannya orang perorang. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang rame dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di Asia Barat sejak abad 7 . Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera.

Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah,yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.
   

Read More..

Tuanku Rao

Menguak Sejarah Tuanku Rao

MENGUAK SEJARAH TUANKU RAO Posted by: “buku dunia” duniabuku@gmail.com Mon Dec 24, 2007 11:10 pm (PST) *Kontroversi Sejarah sebagai InspirasiPeradaban

*J SUMARDIANTA

Perbedaan-perbedaan dalam sejarah sesungguhnya memberi pelajaran kepada umat manusia perihaltoleransidankebebasan. Aforisma Francois Caron, Guru Besar Sejarah Universitas Sorbone, Paris, Perancis, ini kiranya sangat tepatbuatmerangkumseluruh kontroversi dan perdebatan buku Tuanku Rao. Buku yang dipublikasikan pertama kali tahun 1964 oleh Penerbit Tandjung Harapan ini memang memicu polemik seputar Gerakan Paderi di Sumatera Barat dan ekspansi pasukan Paderi di Sumatera Utara pada abad ke-19.

Kendati menggunakan metodologi penulisan sejarah Weberian Tuanku Rao goyah karena mencampuradukkan fakta sejarah, mitos,imajinasi, dan folklore (cerita rakyat). Satu-satunya sumber hanyalah memoar Tuanku nan Renceh yang disalin dari tulisan-tulisan berbahasa Arab ke Latin oleh Sutan Martua Raja-ayah Mangaradja Onggang Parlindungan. Sutan Martua Raja sendiri tak lain cicit dari Tuanku Lelo. Anakronisme sejarah terjadi karena Parlindungan miskin sumber pembanding dan kurus referensi.

Berbagai tarikh, buku Tuanku Rao, mudah longsor, karena dibangun di atas argumentasi rapuh. Kontroversi menyengat karena Parlindungan sangat subyektif soal mazhab Hambalidanheroisme Batak. Iatidak bisa mengambil jarak dengan problem yang dikaji. Tak ayal, buku ini tergelincir ke isu primordial etnosentrisme. Kendati demikian, buku ini memberikan fakta mental berharga tentang dinamika sejarah lokal umat Islam di Sumatera Utara.

Buku ini melihat Gerakan Paderi dengan sudut pandang etnis Batak. Berbeda dengan umumnya sejarah Paderi yang menggunakan sudut pandang etnis Minang. Gerakan Paderi (1803-1837), selaku cabang Gerakan Wahabi di Arab, merupakan gerakan radikalisme Hambali Zealots. Begitu keyakinan Mangaradja Onggang Parlindungan.

Gerakan Paderi dilatarbelakangi perintah langsung Abdullah Ibn Saud, Raja Arab Saudi, kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa Minangkabau: Kolonel Haji Piobang,MayorHaji Sumanik, dan Haji Miskin. Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah dari tangan pasukan Turki 1802. Para pecundang tidak dihukum mati. Boleh lepas bebas. Kompensasinya: mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi sesampai di kampung halaman. Agar Hindia Belanda terbebas dari penguasa penjajah kafir dari Eropa. Maklum, Hindia Belanda dipandang sebagai mitra strategis kerajaanArabSaudi.

Kemerdekaan tanah Arab, sebagaimana dialami Abdullah Ibn Saud, hanya bisa direbut dari Kesultanan Turki-Osmani dengan membentuk tentara modern. Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan kepada Kolonel Haji Piobang. Dia bekasperwira kavaleriYanitsarTurkidi bawah komando Muhammad Ali Pasya. Berkat Haji Piobang, bala tentara Turki berjaya menumbangkan pasukan Napoleon dalam pertempuran Piramid di Mesir 1798. Muhammad Ali Pasya pun menghadiahi Haji Piobang pedang kebesaran. Senjata itulah kelak yang dihibahkan bagi Tuanku Lelo, pahlawanPaderiyanggagahperkasa,tak lainnenek moyang Onggang Parlindungan.

Tingki Ni Pidari

Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn Saud adalah cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak. Dengan meriam, pasukan Paderi mampu menembus dan mengobrak-abrik isolasi alam Tapanuli yang terlindung pegununganBukit BarisandanlembahDanauToba.

Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan, pasukan Paderi memancung kepala Singamangaraja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja, tahun 1819. Pongkinangolngolan adalah anak perkawinan sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.Gana Sinambela sendirikakak Singamangaraja X.

Pongkinangolngolan, tutur Onggang Parlindungan, dibuang karena dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga. Bertahun-tahun berada di pengasingan di Angkola dan Sipirok. NaNgol-ngolan, dalam bahasa Batak, artinya menunggu sesuatu yang tidak jelas dengan tidak sabar (waiting in vain). Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau karena khawatir suatu hari dikenali dan dijatuhi hukuman mati. Di Minangkabau ia bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo. Pada waktu itu Haji Miskin, Haji Piobang,dan Haji Sumanik (tiga tokoh pembaruan abad ke-19) baru kembalidari Mekkah. Mereka, yang sedang mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mazhab Hambali ke Mandailing, mendapat dukungandari Tuanku Nan Renceh.

Tuanku Nan Renceh, mubalig besar, karib Datuk Bandaharo Ganggo. Ia terkesima mengetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngolan. Pongki rupanya sangat baik digunakan dalam rencana merebut dan menduduki Tanah Batak. Datuk Bandaharo diminta menyerahkan Pongkinangolngolan. Tuanku Nan Renceh memberi nama Pongkinangolngolan Umar bin Katab.

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga KerajaanPagarruyung di Suroaso. Mereka dihabisi karena menolak aliran baru tersebut. Hampirseluruhkeluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan Tuanku Lelo. Hulubalang bernama asli Idris Nasution itu, menurut Onggang Parlindungan, dijuluki Tuanku Lelo sebab memperoleh lisensi “kesimaharajalelaan” untuk melakukan kekejaman oleh Tuanku Nan Renceh.

Umar Katab (Pongkinangolngolan Sinambela) diangkat Tuanku Nan Renceh sebagai perwira tentara Paderi dengan gelar Tuanku Rao. Tuanku Nan Renceh, setali tiga uang Belanda, menjalankan politik divide et impera. Ia menggunakan orang Batak untuk menyerang dan menaklukkan tanah Batak. Ekspansi dimulai 1816 dengan menyerbu benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Sebanyak 5.000 anggota pasukan berkuda dan 6.000 anggota pasukan infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi.Semua penduduknya dibantaitanpa sisa.

Gerakan Paderi bergelimang kebengisan (cruelties) dan berlumuran kekejaman (atrocities). Kekejaman sengajadilakukandan disebarluaskan untuk menebar pengalaman traumatis guna memudahkan penaklukan. Satu per satu wilayah Mandailing pun ditaklukkan pasukan Paderi yang dipimpin para hulubalang Batak sendiri.

Gerakan ekspansif ke tanah Batak itu oleh Onggang Parlindungan disebut “Tingki Ni Pidari”-malapetaka besar zaman Paderi. Teror “Tingki Ni Pidari” adalah neraka paling jahanam dalam sejarah etnis Batak. Lembaran paling kelam dari sejarah Gerakan Paderi. Banyak memangsa korban jiwa, tetapi tidak berhasil mencapai tujuan.

Kebajikan masa lampau

Pada 1974 Prof Haji Abdul Malik Karim Amrulah (HAMKA) menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Buku itu berisi sanggahan-sanggahan terhadap kisah Mangaradja Onggang Parlindungan. Menurut Buya HAMKA, Tuanku Rao manis kulitnya, pahit isinya. Maklum buku itu mengagungkan etnis Batak seraya menganggap sepi etnis Minang. Menarik bahwa sebagai ulama besar, Buya HAMKA pun saat menanggapi Parlindungan terjebak isu peka sentimen primordial-etnosentrisme. HAMKA tidak rela Tuanku Rao dan Tuanku Lelo menempati kedudukan lebih istimewa ketimbangTuanku Imam Bonjol. HAMKA menuduh Parlindungan pembohong dan bodoh. Parlindungan menyebut HAMKA kampungan.

Kendati emosional, perdebatan antara ulama dantentara itutidak menjurus kekerasan fisik dan mobilisasi massa. Di Padang pada 1969 mereka berdebat sengit dalam seminar tentang penyebarluasan Islam di seantero Sumatera Barat. Adu argumentasi dimungkinkan mengingat atmosfer intelektual saat itu sangat menyantuni kebebasan akademis. Apalagi mereka berdua dibesarkan pada zamanBelanda. Muara pendidikan pada zaman kolonial memang humanitas expleta et eloquens (kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri). Kendati secara ideologis berseberangan, HAMKA dan Parlindungan karib yang acap berangkat shalat Jumat di Masjid Al-Azhar secara bersama-sama.

Kontroversi sejarah justru merupakan bukti tingginya mutu peradaban. Inilah hikmah yang bisa ditimba dari polemikParlindungan dengan HAMKA. Ditarik agak ke belakang, pada zaman kolonial, Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang properadaban Barat pernah berdebat dengan Sanusi Pane yang menjunjung tinggi budaya Timur. STA ingin membersihkan anasir mitos dan takhayul (penghambat kemajuan) yang bergentayang di sesat pikir bangsa Indonesia. Sanusi Pane menganggap STA kemlondo-londonen (kebarat-baratan) dan tidak menghargai indigeneus people (kearifan lokal). Di kemudianhariSTAbenar: bangsa Indonesia majukarena berkiblat ke Barat.

Pada 1952-1954 terjadi polemik kebudayaan yang bermutu antara Soedjatmoko dan Buyung Shaleh. Soedjatmoko prihatin sastra mandul tidak mampu menghasilkan karya masyhur seperti Chairil Anwar karena sastrawan Indonesia cenderung pragmatis. Buyung Shaleh, tokoh Lekra, tidak sependapat. Menurut dia, majalahnya karya sastra karena terputusnya kehidupan sastrawandengan rakyat.

Polemik kebudayaan dan perdebatan akademik padamsejakOrde Baru naik ke tampuk kekuasaan. Perdebatan intelektual miskin dan compang-camping. Pendidikan Orde Baru bubrah. Tidak menyediakan ruang secuil pun buat merenung. Intelektual sangat pragmatis: terjun kepartai, terserap birokrasi, cari nafkah di LSM, mengasong proyek penelitian, dan menjadi konsultan kapitalis. PerdebatanHAMKA dengan Parlindungan yang sangat bermutu jadi barang langka. Polemik mereka terasa kasar pada zamansekarang akibatvirus eufemisme yang disebarkan Orde Baru.

Almarhum Mangaradja Onggang Parlindungan, mantan perwira Angkatan Darat, salah satu pendiri Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad) Bandung, adalah insinyur perkayuan lulusan Universitas Delft Belanda dan Zurich Swiss. Parlindunganintelektual jujur. Kendati Parlindungan generasi ke-5 keturunan Tuanku Lelo, buku ini diniatkan untuk merehabilitasi nama baik Tuanku Rao yang citranya demikian remuk redam di kalanganmasyarakatBatak.

Buku ini makin memperkaya data bahwa di sekujur Nusantara, masyarakat Indonesia memang ditelikung spiral kekerasan. Persatean nasional gemar mengambil bentuk whole sale teror (teror ombyokan)-bencana politik 1965, konflik Ambon dan Poso, kegaduhan etnis di Sampit, kerusuhan Mei 1998, dan tragedi Alas Tlogo. Melalui bukunya, Onggang Parlindungan mengampanyekan lingkaran malaikat perdamaian.

“PRAHARA DI TANAH BATAK”

Judul Buku: Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak. Penulis: Mangaradja Onggang Parlindungan Editor: Ahmad Fikri A.F. Penerbit: LKiS, Jogjakarta Cetakan I, Juni 2007 Isi buku: iv + 691 halaman-Hardcover Harga: Rp 135.000

“Tak ada fakta, yang ada hanyalah tafsir,” begitu kata Nietzsche berkenaan dengan masalah kebenaran dan pengetahuan. Katakata itu tampaknya berlakujugauntuksejarah,sebabsejaraheratkaitannya dengan serpihan-serpihan kebenaran dan pengetahuan, yang supaya bermakna perlu ditata dan ditafsir kembali. Karenaitu, sejarahjuga merupakan tafsir,dan sebuah tafsir bukanlah segumpal kebenaran mutlak. Ia baru merupakan upaya untuk mendekati kebenaran.

Buku Tuanku Rao karya M.O. Parlindungan ini merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan pengalaman masa lalu itu, terutama yangterkaitdengan PerangPaderi.Melalui buku ini, penulis mengajakkita mengunjungikembalikemasa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak pada 1816-1833.

Berbeda dengan sejarawan lain, penulis memilihuntukmenuliskan sejarah Batak dengan gaya bertutur(storytellingstyle), yang semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Di sinilah sesungguhnya letak daya tarik buku ini. Ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah Batak itu sendiri ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini.

Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itujugadipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan SorbaDibanua danseluruh keturunannya.

Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (TuankuRao),Idris Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX)dengan pamannya,Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihidan memanjakan keponakannya (hlm. 355).

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman matiolehRaja Batak.

Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleriJanitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.

Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batakuntukmenyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakanseorang pun.Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab Hambali.

Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orangSiregarSalak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua,yaituSingamangaraja X. JatenggerSiregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.

Akhirnya, buku yang terbagi dalam tiga bagian besar dan berisi 34 lampiran ini jelas memiliki tempat khusus di dalam penulisan sejarah berdasarkan fakta dan representasi historiografi sebagai interpretasi yang tidak mutlak.

Penulis telah menunjukkan adanya kekuatan pada naskah tertulis dalam merekonstruksi visi sejarah Batak bagi perkembangan politik, sosial, dan budaya. Tak dapatdisangkal,kontribusi utama bukuiniterletak pada temuannya atas faktor lain di luar domain historiografi konvensional. Hal itu jelas akan berdampakluas dalamperdebatan mengenai historiografi Indonesia. (*)

Menguak Sejarah Kelam Tanah Batak

Judul : Tuanku Rao Penyusun : Mangaradja Onggang Parlindungan Penyunting : AhmadFikriAF. Penerbit : LKiS, Jogjakarta Cetakan : I, Juni 2007 Tebal : iv + 691 Halaman

Sejarah adalah tapak yang seringkali harus ditengok, karena dari situ kita dapat menengarai pola yang sama dari peristiwa yang berlainan dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Sejarah mengajak kita untuk menyadari, pada akhirnya setiap peristiwa dapat tersimpan dalam ingatan masyarakatnya dan menjadi tidak saja “living memories”, tapi juga “living traditions” yangmelintasibatasruang dan waktu melalui penuturan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Karya M.O. Parlindungan yang pernah diterbitkan penerbit Tandjung Pengharapan, Jakarta, 1964, dengan judul Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao; Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 ini merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembaliserpihan-serpihanpengalaman masa lalu itu, terutama yang terkait dengan perang Padri dan sentimen atau dendam antar marga. Namun, setelah menuai kontroversi yang sukar diterima oleh pandangan umum karena dianggap fiktif, memalsukan sejarah, dan menguak rahasia keluarga, buku ini akhirnya ditarik dari peredaran.

Setelah 43 tahun buku ini selalu dirujuk, tapi juga dikritik dan dicerca, penerbit LKiS menghadirkan kembaliseperti adanya,tanpa ada perubahan isi. Bahkan, ejaan sengaja tidak diubah. Ini dilakukan karena, menurut penyunting, selain atas permintaan ahli waris, juga untuk mencoba menampilkan dan menangkap emotional senses sebuah periode di mana buku ini terbit, sekaligus mengajak kita mengunjungi kembali masa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror dan kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali(Wahabi) diTanahBatak pada 1816-1833.

Di samping menggunakan sistem Max Weber, penyusun memilih untuk menuliskan sejarah Batak dengan gaya bercerita(storytelling style), yang semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Lewat dokumen-dokumen pemberian sang ayah, Sutan Martua Raja Siregar, penyusun berargumentasi bahwa teror yang dilakukan pasukan Padri dalam menyebarkan agama Islam Mazhab Hambali telah membuat sejarah Batak menjadi cermin mengenai diri mereka sendiri, tentang siapa mereka dan apa yang membuat kekerasan itu terjadi.

Dengan kreatif, penyusun berkonsultasi dengan pelbagai sumber tertulis, baik itu dokumen Tionghoa berusia 400 tahun dariklenteng Sam Po Kong Semarang hasil penyelidikan ResidenPoortman, maupun sumber-sumber Eropa hasil penelitian Willem Iskandar, yang berhubungan dengan perang Padri dan penyebaran Wahabi di Tanah Batak.

Di sinilah sesungguhnya letak menariknya buku ini, ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah itu sendiri ketimbangmenjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini. Naskah-naskah tertulis yang digunakan sumberbukuinitelah menjadi kekuatan pendorong bagi orang Batak untuk berupaya memahami masa lalu mereka. Ini jelas sebuah indikasi evolusi dalam alam kesadaran sejarah orangBatak masa itu. Mengacu pada Sutan Martua Raja, penyusun menjelaskan bahwa setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke TanahBatak tersebut dilakukan dengan kekerasandanteror;bahwa,selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan inijugadipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Dan Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, mengucapkan sumpah yang diikuti oleh seluruh marga Siregar, yaitu kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan SorbaDibanua dan seluruh keturunannya.

Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin oleh orang-orang Batak sendiri. Beberapa nama dapatdisebut: Pongkinangolngolan Sinambela yang bergelar Tuanku Rao dan Idris Nasution yang bergelar Tuanku Nelo, serta Jatengger SiregaryangbergelarTuankuAli Sakti.

Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap dan incest antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak dariSingamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah,Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakankeponakannya (hlm. 355).

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkan di Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan malah terselamatkan arus hingga mencapai sungai Asahan dan ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh lalu dikirim ke Mekkah dan Syria dan sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleriJanitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815 Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Padri dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun.Kekejaman inisengajadilakukandan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan guna menyebarkanagamaIslam MazhabHambali.

Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X diBenteng Bakkara, dilaksanakanpada 1819. Orang-orangSiregarSalakdari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregarikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan SorbaDibanua,yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.

Penyerbuan pasukan Padri terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000orang tentara Padri yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun TuankuImam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran dengan Belanda di Air Bangis pada 5 September 1821.

Selain mengisahkan Tuanku Rao, buku ini juga memberikan porsi yang cukup banyak tentang kekejaman Tuanku Lelo, kakek buyut penyusun (hlm. 358), dalam menyebarkan Islam Mazhab Hambali diTanah Batak. Dikisahkan bahwa pasukan yang dipimpin Tuanku Lelo membakari rumah-rumah penduduk yang tidak mau masuk Islam dan menangkapi wanita-wanita untuk dijadikan selir. Akhirnya, pada 15 Muharram 1249 H (1833 M) Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh HalimahRangkuti,salahsatu tawananyangdijadikan selirnya (hlm. 348).

Hadirnya buku ini jelas telah membuat pemahaman kita akan sejarah Batak makin mendalam dan bernuansa. Penyusunnya harus dihargai atas upayanya melebarkan horizon penelitian berspektrum luas, walau dengan pelbagai kendala subjektivitas yang menyertainya dan dari segi metodologi masih patut dipertanyakan.Takpelak,Prof. Hamka pun menulis buku: Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) sebagai sanggahan atas karya M.O. Parlindungan.

Meskipun kita tak perlu menyetujuikeseluruhan ulasan penyusun maupun perdebatan-perdebatan yang kemudian menyertainya, buku bertebal 691 halaman ini demikian berharga, terutama untuk beberapa aspek atau dimensinya. Dengan keruntutan bahasanya, buku ini jelas sangat imajinatif. Diperkaya dengan 34 lampiranyangantaralain berisi silsilah raja-raja Batak, serta dimuati serangkaian kritik terhadap sejarah konvensional, prestasi kesejarahan yang telah dicapai M.O. Parlindungan lewat buku ini sayang diabaikan, terutama bagi yang memerlukan bahan rujukan atau karya pembanding tema ini.

Buku ini merupakan satu dari sedikit karya sejarah lokal Indonesia yang telah menyulut perdebatan di kalanganlintas disiplin, dalam cara melihat, menafsirkan, dan memahami kompleksitas sejarah kelam Tanah Batak pada awal abad ke-19, di mana sejarah Indonesia termasuk di dalamnya.

Read More..