Isa

ADA yang menyebutnya ”Napoleon”. Ia memang pendek, bulat, berkibar-kibar dalam tiap konfrontasi, tangkas, dan agresif. Kini tak banyak orang yang masih mengingat sosok dan namanya, tapi pada tahun 1950-an, Kiai Haji Isa Anshary, tokoh Partai Masyumi dari Jawa Barat itu, merupakan tonggak tersendiri di Indonesia: orang mengaguminya atau memandangnya dengan cemas. Terutama waku itu, ketika gagasan untuk mendirikan ”negara Islam” dipergulatkan dalam perdebatan politik dan persaingan yang terbuka.
Pada tahun 1955, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum pertama secara nasional. Para sejarawan mencatatnya sebagai ikhtiar besar pertama kita yang berhasil dalam kehidupan demokrasi, sebab tak tercatat kecurangan dan praktis tak terjadi kekerasan selama kompetisi politik itu berlangsung.

api tak berarti api tak mulai merayap dalam sekam kehidupan masyarakat. Retorika bisa begitu berkobar dan percikannya bukannya lekas padam di ruang hampa. Dalam hal ini, ucapan-ucapan Isa Anshary punya efek bakar yang agaknya jauh—yang mungkin kelak ikut membuat suasana eksplosif di Indonesia setelah 1959.

Read More..

Zizou - Zinedine Zidane

JIKA huruf Arab yang mengeja namanya di-Latin-kan dengan lafal Inggris, ia adalah Zayn ad-Dien. Di Indonesia ia akan dipanggil Zainuddin. Konon itu berarti “ornamen iman”.

Orang tuanya datang dari Dusun Taguemoune, di bukit-bukit Aljazair yang jauh. Seperti banyak orang dari wilayah Afrika yang dilecut niat memperbaiki nasib, Smayl Zidane, si ayah, pergi merantau ke Paris. Tapi kemiskinan tetap menggilas, dan ia pindah ke Marseille, di selatan, sebuah kota yang tak teramat jauh dari negeri asal.

Pada pertengahan 1960-an itu, Smayl bekerja sebagai petugas gudang, sering dalam giliran malam. Ia ingat Zainuddin mudah bermimpi buruk bila si bapak tak pulang. Sebab itu pada waktu senggangnya ia penuhkan perhatian bagi anak yang lembut hati yang dipanggilnya Yazid atau “Yaz” itu.

Read More..

Bencana, Demokrasi, Fundamentalisme, Kekerasan, Politik, Tokoh, Tuhan.

Dunia harus hancur, kata mereka. Tuhan menghendaki itu. Telah dinubuatkan perang penghabisan akan pecah, kata mereka. Iblis akan dihadapi dalam Armagedon itu, surga akan terkuak, dan ”Yang Setia dan Yang Benar” akan turun mengendarai seekor kuda putih.

… memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan
nama-Nya ialah: ”Firman Allah”. Dan semua pasukan
yang di surga mengikuti Dia, mereka menunggang
kudapu-tih dan memakai lenan halus yang putih bersih.
Dan da-ri mulut-Nya keluarlah sebilah pedang tajam
yang akan memukul semua bangsa….

Gambaran yang seram itu dikutip dari Wahyu, bagian ter-akhir Alkitab. Saya tak tahu apa hubungannya dengan- zaman ini. Tapi mereka—orang-orang fundamentalis Kristen di Amerika—menganggap itulah ramal yang pasti. Armagedon bukan hanya pasti terjadi, tapi juga, kata mereka, akan meletus di masa kini, di Timur Tengah, sebelum datang ”Yerusalem yang Baru” di mana tak akan ada lagi laknat.

Read More..

Perempuan

Seorang isteri guru ditangkap polisi di Tangerang. Ia berada di jalan di sekitar pukul tujuh malam. Ia harus membuktikan dirinya bukan pelacur. Peraturan Daerah mengharuskan itu. Tuan-tuan yang berkuasa di Tangerang tampaknya berpendapat, tiap perempuan yang berada di luar rumah dalam remang itu perlu dicurigai sebagai “jalang”…

Bisakah Tuan-Tuan itu memperkirakan, kini “kaum perempuan di Tangerang dicengkram ketakutan”?.

Tapi mereka mungkin tak mengacuhkan pernyataan Forum Solidaritas Perempuan Banten, 22 Maret 2006 itu – juga tak membayangkan para ibu yang cemas bila anak mereka pulang terlambat dari kursus di malam hari dan saudara mereka kembali dari pabrik setelah senja.

Mungkin Tuan-Tuan itu akhirnya akan menjawab (dengan dukungan Majelis Ulama): perempuan memang harus tinggal di rumah, “dilindungi”. Tuan-Tuan itu pasti bukan kelas bawah yang perlu dapat tambahan penghasilan dari upah isteri yang jadi pemijat, penunggu kios rokok atau bakul jamu. Lagipula ayat suci bisa dikutip, sebagaimana di Arab Saudi Qur’an dan Hadith dikutip untuk memutuskan: perempuan tak boleh berpakaian lain selain purdah, perempuan tak boleh menyetir mobil, dan tentu saja tak boleh jual jamu…

Perempuan selalu dekat dengan dosa – itulah mungkin pikir Tuan-Tuan di Tangerang, seraya mendengar agama berbicara.

Tentu saja agama yang datang dari Timur Tengah.

Saya tak tahu persis kenapa di sana perempuan selalu ditilik demikian. Mungkinkah karena sebuah pengalaman, yang kemudian jadi paradigma, juga metafor – yaitu dahsyatnya gurun pasir?

Siapa tahu. Sebab ada seorang tua bernama Apa Sisoes. Ia seorang biarawan di Mesir abad ke-4.

…murid Apa Sisoes itu berkata kepadanya, “Bapa, bapa telah tua. Mari kita pindah sedikit ke dekat tanah yang telah dihuni.“ Orang Tua itu menyahut, “Di mana tak ada perempuan, ke tempat itulah kita harus pergi”. Murid itu pun berkata kepadanya, “Tempat apa lagi yang tak ada perempuannnya, kecuali gurun pasir?”. Dan Orang Tua itu berkata, “Bawa aku ke gurun pasir”. Kisah itu diceritakan kembali oleh Peter Brown, gurubesar sejarah di Princeton University, dalam The Body and Society, sebuah paparan penting tentang iman dan seksualitas, ketika perempuan ditampilkan sebagai sumber godaan yang tak habis-habisnya di masa awal agama Kristen — ketika seorang biarawati yang menepuk kaki bapak uskup yang sepuh dan sakit sudah bisa dianggap merangsang untuk bersetubuh. Maka tak mengherankan bila di Mesir masa itu ada seorang rahib yang mencelupkan jubahnya ke bangkai seorang perempuan yang sudah membusuk; ia berharap, bau baseng itu tak akan membuatnya mau berfantasi tentang wanita.

Bahkan ada seorang calon biarawan yang menggendong ibunya yang tua menyeberangi sungai seraya membungkus tangannya dengan kain, sebab ia tak mau bersentuhan dengan kulit ibunya sendiri. “Daging semua perempuan adalah api”.

Perempuan adalah api — daya yang bisa merusak, bagian dari “dunia”, begitulah waktu itu ada petuah agama yang berkata. Wanita harus dijauhi dan dijauhkan. Ia tak termasuk “gurun pasir”.

“Gurun pasir”, bentangan alam yang garang itu, waktu itu punya makna tersendiri. Gurun pasir, dalam catatan Brown, “muncul sebagai tempat yang tak tertandingi dalam heroisme Kristen”. Di sanalah laki-laki bisa hidup keras dan khusyuk melatih diri bebas dari nafsu apapun. Dalam kekhusyukan itu, batas harus tegas antara “gurun pasir” dan “dunia”.

Maka ketika dunia diliputi “dosa”, di gurun itu — terbentang dari tepi Danau Maryût sampai ke arah Iskandariah, terutama di Wadi Natrûn — tinggallah ratusan apotaktikoi, “para penampik” yang tak menghendaki hidup dengan panca indera yang mencicipi nikmat bumi.

Penampikan itu tentu saja akhirnya tak hanya terbatas di gurun pasir, dan juga tak hanya di Mesir. Bahkan sejak abad ke-2, para alim Masehi memandang perempuan sebagai pangkal kematian. Di bawah pengaruh ajaran Tatian, pelbagai kelompok Gereja Kristen Suriah meyakininya.

…dan mereka bilang, Juru Selamat sendiri berkata: “Aku datang untuk membatalkan kerja perempuan”… “Perempuan” di situ ditafsirkan sebagai hasrat seksual, “kerja” diartikan kelahiran dan maut. Demikianlah dengan was-was komunitas Kristen yang terserak sampai ke kaki-kaki bukit
Iran memandang “dunia”: kelahiran, perempuan, kematian. Tapi tak hanya mereka sebenarnya. Juga dari sekitar gurun pasir Timur Tengah, agama Yahudi mengawali rasa was-was itu. Aliran ortodoksnya menggariskan kol isha yang melarang lelaki mendengarkan perempuan menyanyi.

Ada yang hanya mengharamkan mereka menyaksikan pertunjukan nyanyi yang “sugestif”..

Ada yang lebih ketat: mereka melarang lelaki mendengarkan suara perempuan bahkan dalam rekaman. Dan tak cuma itu. Dalam komunitas Yahudi ortodoks zaman modern sekalipun, perempuan tak boleh berbaju tanpa lengan, memakai blouse dengan potongan krah rendah. Celana ketat dilarang. Lutut harus ditutupi. Halacha, syariat Yahudi, mengharuskan perempuan yang sudah menikah menutup rambutnya…

Saya tak tahu, kenapa dari sekitar gurun pasir Tuhan bertitah agar perempuan diperlakukan demikian. Kenapa di Bali, misalnya, tidak? Mungkinkah karena di sini tak berlaku paradigma “gurun pasir”: para pertapa tak mengalami alam yang kosong dan garang, melainkan hutan tropis yang semarak, gua yang dirias pohon dan rumpun, akar dan kembang, bunyi burung dan biru gunung? Dengan kata lain: sebuah “dunia”, di mana yang indrawi tak ditampik, hingga pertapaan bukianlah tempat apotaktikoi? Dalam cerita wayang, di situ malah lahir ksatria Bambang Sumantri dan gadis Shakuntala.yang gemulai.

Apapun sebabnya, di kesunyian hidup brahmana dan resi tak tampak rasa was-was kepada “dunia”, kepada perempuan. Di sana, tafakur adalah bersyukur.

Tapi itu dulu. Siapa tahu kita telah berubah, dan Tuan-Tuan Tangerang lebih suka paradigma baru: “
padang pasir”..
~Majalah Tempo Edisi. 45/XXXIV/02 - 8 Januari 2006

Read More..

Kahyangan - Di surga, tak ada tahun baru. Waktu tak hadir, juga perbuatan

Kahyangan
Di surga, tak ada tahun baru. Waktu tak hadir, juga perbuatan

Dalam tiap adegan kahyangan pada pertunjukan wayang purwa, keabadian digambarkan dengan kalimat ini: ‘Ana padhang dudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi’. Yang ada adalah ‘terang yang bukan terangnya siang’ dan ‘gelap yang bukan gelapnya malam’. Tak ada waktu, tak ada ruang, hanya keluasan yang tanpa tepi — mung alam tumlawung ngalangut datan patepi.

Yang menarik – seperti saya temukan dalam buku yang disusun Anom Sukatno, Janturan lan Pocapan Ringgit Purwo — dalam janturan yang dilantunkan ki dalang, kahyangan adalah keadaan tak ada subyek. Maka tak ada obyek. Yang ada suwung.

Kata ‘suwung’ berbeda dengan ‘kosong’ atau ‘hampa’. ‘Suwung’ sebenarnya bukanlah sebuah defisit. ‘Suwung’ punya wilayahnya sendiri. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ronggowarsito menampilkan sebuah keadaan paradoksal dalam meditasi: ‘suwung sakjatining isi’, suwung namun sesungguhnya berisi.

Maka bila kahyangan digambarkan sebagai ‘suwung’ dan tak ada ‘rasa pribadi,’ yang dimaksudkan bukanlah sebuah gambaran kekurangan. Bahkan sebaliknya. ‘Cipta, rasa dan karsa’ tak ada karena tak dibutuhkan. Keheningan itu total – yang juga berarti kebebasan dari pengaruh perasaan suka dan sedih: datan kaprabawaning rasa bungah lan susah.

Mungkin pengaruh Budhisme ikut membentuk imajinasi para pencipta wayang purwa dalam adegan ‘Alang-Alang Kumitir’: surga adalah sesuatu yang berada di luar wilayah pancaindera, seperti yang dilambangkan dengan stupa di pucuk Borobudur itu — polos, ugahari, tanpa ruang, tanpa celah.

Saya ingat Sanusi Pane. Dalam perjalanannya di India, ia mengagumi Syiwa Nataraja, dewa yang menari dalam lingkaran api. Beginilah dilukiskannya dalam sebuah puisi panjang dalam Madah Kelana:

Natésa berdiri
Di atas buta, kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan Patung Syiwa itu ‘dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperi’, dan di hadapan Natésa itulah Sanusi menemukan satu kearifan, tatkala sesaat seakan-akan didengarnya sebuah suara halus-merdu yang menyeru:

‘Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar…’ Maka tarian Syiwa-Nataraja bagi Sanusi Pane adalah ‘jalan ringkas…mencapai kemerdekaan’. Jiwa akan merdeka jika kita membiarkan diri menari dan ‘membakar segala ikatan buta’ yang kita bikin, jika dalam gerak itu, sang penari tak dijajah oleh hasil, oleh ‘tujuan’. Seperti ketika, dalam sebuah sajaknya yang lain, ia merasa di atas biduk dan merasa hening dan tenteram, dibawa gelombang tanpa kehendak tanpa arah, menyimak getar keabadian di langit dan melenyapkan diri ke dalam alam…

Di sini, tindakan berada di titik nol. ‘Diam, hatiku, jangan bercita’, tulis Sanusi dalam Candi Mendut, ‘Jangan kau lagi mengandung rasa/Mengharap bahagia dunia Maya’.

Maka tindakan jadi ‘laku’: ada di antara posisi yang bukan pasif dan juga bukan aktif. Sajak Syiwa-Nataraja melukiskan dua gerakan untuk mencapai kemerdekaan: yang satu dengan metafora ‘menari’, dan pada saat yang sama juga ‘tinggal samadi’.

Tapi persoalannya tetap: bagaimana laku ini menyiapkan sesuatu yang berarti bagi sejarah. Di dunia, manusia ada dalam keadaan terlempar. Ia tak siap, ia sebuah kekurangan: ikan langsung dapat berenang begitu ke luar dari indung telur, tapi manusia tidak.

Sebab itulah ia merasa terancam terhimpit oleh dunia sekitarnya. Ia pun mencoba mengendalikan alam, termasuk jasmaninya sendiri. Untuk itu ia harus berada di atasnya dan membebaskan diri darinya.

Maka kebudayaan pun terbentuk, dengan produksi dan teknik yang diperbaiki terus menerus. Tapi juga dengan kesengsaraan dan penindasan.

Dan di koloni orang-orang yang tertindas, seperti Indonesia di tahun 1930-an ketika Sanusi Pane menuliskan sajak-sajak yang terkumpul dalam Madah Kelana, tampaknya harus diakui bahwa konflik-lah yang membentuk manusia. Mungkin sebab itu penyair penganut theosofi ini tertumbuk pada ruang buntu. Baru beberapa tahun kemudian ia menemukan sebuah jalan keluar.

Di tahun 1940 ia menulis lakon Manusia Baru, sebuah cerita tentang perjuangan buruh di Madras,
India. Surendranath Dash, aktivis dari Benggali itu datang membantu para buruh tekstil untuk menuntut perbaikan nasib. Di sana ia bertemu dengan anak-anak muda kelas menengah, Sarawaswati Wadia, misalnya. Karena kata-katanya yang menggugah untuk membangun sebuah India yang baru, yang tak lagi bersifat ‘tenang’ tapi ‘bergerak dalam ketenangan’, Dash mengubah pandangan orang-orang itu..

Dalam keadaan tertindas, orang memang tak bisa menjalani laku sang kelana yang hanyut dalam keheningan laut. Ia harus meletakkan diri sebagai subyek. Ia bukan hanya ‘laku’. Ia ‘tindakan’.

Dalam proses itu pula, sang kelana tak lagi menggunakan bahasa ‘pemikiran meditatif’ dan tak pula memakai bahasa ‘pemikiran puitis’ – bentuk-bentuk yang dipujikan Heidegger sebagai alternatif bagi ‘pemikiran kalkulatif.’ Telah ditinggalkannya bahasa yang selaras dengan suara angin di daun-daun. Surendranath Dash tak menulis sajak..

Tapi hidup di tengah dunia yang belum berubah, ‘manusia baru’ hanyalah sekedar model. Lakon Sanusi Pane tak melukiskan liku-liku psikologi yang pelik dan pergulatan jasmani yang pasang surut dalam proses transformasi dari yang ‘lama’ menjadi ‘baru’. Manusia Baru praktis sebuah lakon tanpa tubuh tanpa laku.

Di saat itu Sanusi lupa bahwa hidup adalah hidup dalam keterbatasan jasmani dan keasyikan tubuh. Dash jadi seperti Faust, yang berkata kepada Ruh: ‘Aku, aku Faust, sejawatmu!’ Ia tak mau mengaku, bahwa ia berada dalam sejarah.

Di dalam sejarah, di luar surga, manusia harus siap kecewa, tapi mensyukuri apa yang fana..

Read More..

Iblis - Saya suka memandangi gambar kuno

Ada satu yang mengerikan dari Italia pada abad ke-17. Dicetak di kertas dengan teknik cukilan kayu, ilustrasi itu merekam sebuah adegan di Milano pada tahun 1630. Inilah rinciannya:

Pes merebak, dan sejumlah penduduk dituduh menyebarkan wabah itu. Mereka, disebut para untori, ditangkap dan diarak dengan kereta lembu keliling kota. Seraya disiksa.

Mula-mula tubuh mereka dirobek dengan kakaktua. Setiba di Avenue Carrabio, tangan kanan mereka dipotong. Sesampai di halaman mahkamah, mereka ditelanjangi; tulang kaki, lengan, dan pinggang mereka dipatahkan di atas roda. Roda-roda yang menopang tubuh mereka itu kemudian diangkat di atas galah, dan dalam kesakitan itu mereka terpentang selama enam jam. Lalu leher mereka dipenggal, jasad mereka dibakar.

Read More..

Bencana

Pada suatu hari, Leon Wieseltier berlayar di dekat Pulau Shelter, di sebuah selat di Alaska. Tiba-tiba perahunya diguncang angin keras, begitu keras. Ia ketakutan. Ia sendirian. Badai dan gelombang menodongkan ajal ke hadapannya.

Pada saat genting itu, seekor camar turun dan hinggap di buritan. Burung laut itu menatapnya, tapi pandangnya tak acuh. Ketika itulah—seperti kemudian dituliskannya—Wieseltier baru menyadari betapa tak pedulinya alam kepada manusia yang sedang celaka.

”Belum pernah aku dipandang dengan begitu tak berperikemanusiaan, belum pernah aku sebelumnya membayangkan bagaimana diriku tampak sendirian dalam pandangan alam. Menjijikkan…. Tujuanku tampak bukan apa-apa. Hidup dan matiku hanya gerak materi….”

Dengan kata lain: pada saat seperti itu, alam—yang mengancam manusia—adalah sehimpun tenaga yang tak peduli. Sebab begitulah yang berlaku dalam kancah fisik: sebagaimana ombak yang diguncang badai dan layar yang patah di tengah, manusia yang terancam binasa (setelah ia bersembahyang sekalipun) hanya hadir sebagai ”gerak materi, pengulangan yang netral dari arus zat”.

Ada yang getir dalam kalimat Wieseltier itu. Tapi ia menuliskannya dalam The New Republic, 17 Januari 2005, tak lama setelah tsunami meluluh-lantakkan Asia. Menyaksikan ribuan kematian yang terjadi dan kesengsaraan yang meluas, ia tersentuh. Ia bertanya: bagaimana orang yang percaya kepada Tuhan tak akan salah-tingkah, atau guncang, oleh bencana seperti itu? ”Jika tak mungkin menghormati alam karena kebaikannya,” kata Wieseltier, ”tak mungkin pula menghormati ia yang dianggap sebagai ’sang pengarang’ karena kebaikannya pula.”

Agaknya Wieseltier akan mengemukakan gugatan yang sama hari-hari ini, bila ia saksikan yang terjadi di Pakistan: 40 ribu manusia, di antaranya ratusan anak, mati terhantam gempa di tengah salju, cuaca beku, dan hujan yang bandel. Mereka miskin, mereka saleh, mereka ditakdirkan lahir dan hidup tawakal di sebuah negeri yang tak berpunya, dan kini…. Apa peduli alam dengan semua itu? Apa peduli-Nya? Bagi Wieseltier, mereka yang bilang bahwa bencana itu adalah iradah yang misterius dari Tuhan, adalah mereka yang ”terlalu siap menyambut tragedi”. Dari sini mala yang datang dianggap sah, dan itu sama artinya dengan ”pembenaran bagi pembunuhan anak-anak”.

Rasa gundah dan gugatan seperti ini tentu saja tak baru: kita teringat akan yang dikemukakan Voltaire pada abad ke-18. Mendengar betapa mengerikannya akibat hantaman tsunami di Kota Lisbon pada tahun 1775, Voltaire menulis sebuah sajak, Poeme sur la desastre de Lisbonne. Ia bukan hanya mencemooh mereka yang percaya bahwa Tuhan selalu punya ”alasan yang cukup” kapan saja, juga ketika Ia membuat manusia hancur. Voltaire juga menunjukkan betapa jauhnya jarak Tuhan dan kita.

Di akhir sajak itu, Voltaire menggambarkan seorang khalif yang di akhir hayatnya berdoa kepada Tuhan. Sang khalif menyebut empat hal yang bukan bagian dari Ilahi: ”Kesalahan, sesal, mala, dan kebodohan”. Dan ditambahkannya: ”harapan”.

Harapan, dengan kata lain, adalah sebuah cacat. Tampak betapa suramnya kondisi manusia bagi Voltaire—dan betapa tak terjembataninya celah antara makhluk dan Pencipta. Walhasil, seperti camar laut di perahu Wieseltier, dari sisi sana, Tuhan mungkin menatap ke kesengsaraan di Aceh dan Pakistan—dan Ia tak peduli.

Ada satu soal yang bisa dikemukakan kepada Wieseltier: bagaimana ia tahu bahwa camar itu, atau alam, atau Tuhan, acuh tak acuh? Tidakkah itu hanya karena ia tengah merasa sendirian, tak punya penolong? Bukankah apa yang kita simpulkan tentang Tuhan sering hanya gema dari apa yang kita rindukan atau takutkan di dunia?

Memang selalu terjadi ke-satu-sisi-an dalam soal pelik ini. Juga pada saat ”sang khalif” dalam sajak Voltaire berdoa dan menyebut ”Engkau” dalam ”kemahabesaran-Mu”, ”dans ton immensité”. Dalam baris-baris terakhir sajak itu itu, ”sang khalif” sebenarnya menggunakan ”kekurangan” manusia untuk melihat Tuhan, ketika ia dengan masygul menyaksikan yang tragis dalam hidup.

Dalam sejarah pemikiran Islam, ke-satu-sisi-an seperti itu bahkan terdapat dalam pandangan kaum Asy’ariah pada abad ke-10. Mereka ini mengemukakan bahwa Tuhan yang Mahakuasa tak terikat kepada penilaian adakah ia ”adil” atau ”tak adil” seperti yang dipakai manusia untuk menilai manusia lain. Maka tak dapat pula dikatakan benarkah Tuhan ”adil” (atau ”peduli”) ketika Ia menciptakan bencana alam di Pakistan dan pembantaian di Bosnia serta kesengsaraan di Palestina. Tapi kritik Ibnu Taymiyah (1263-1327) kepada kaum Asy’ariah menunjukkan bahwa sifat Mahakuasa itu juga cuma satu sisi. Kaum Asy’ariah, kata Ibnu Taymiyah, ”menegaskan kehendak [Tuhan] tanpa kearifan.”

Soalnya, tentu: adakah citra tentang Tuhan dari kitab-kitab suci yang tanpa kontradiksi? Yang Mahabaik selalu tampil sebagai juga Sang Pencipta kesengsaraan. Pada abad ke-21 ini ada yang merasa bisa memecahkan kontradiksi itu dengan menunjukkan: tak ada peran langsung-Nya di tengah alam. Seorang pemimpin masjid Lakemba di Sydney, Australia, misalnya, mengatakan: Tuhan memang Mahakuasa, tapi ”selama tsunami mengikuti hukum fisika”, kita tak bisa menyalahkan bencana itu kepada-Nya.

Jika tak ada intervensi Tuhan dalam hukum fisika, bisa dikatakan juga tak ada campur tangan-Nya dalam kebrutalan manusia. Tapi dengan begitu bukankah Ia akan tampil tidak sebagai pelaku, atau sebagai Ia yang tak peduli, seperti alam artik yang ganas dalam kisah Leon Wieseltier? Benar. Tapi berbeda dengan alam, kita tak bisa mengukur-Nya.

Mungkin itulah yang tak sempat menyentuh Wieseltier yang getir: tersirat erat di alam itu, dalam badai, dalam gelombang dan juga di kehadiran camar itu, ada isyarat ke-Maha-Lain-an yang tak tepermanai. (Tempo)

Read More..

Vatikan - Untuk Cak Nur

Pada suatu hari, kata orang, Stalin bertanya, “Berapa batalion, sih, Vatikan punya?”

Di negeri itu, kita tahu, hanya ada beberapa ratus orang Corpo della Garda Svizzera yang bertugas sebagai penjaga Paus. Vatikan cuma 44 hektare, lebih sempit dibandingkan dengan The Mall di Washington, DC; anggaran tahunannya sekitar US$ 500 juta, hanya 25 persen dari bujet Universitas Harvard.

Tapi di
sana duduk seorang tua yang ketika pekan lalu wafat dan dimakamkan, sekitar 200 pembesar tinggi dunia datang untuk berkabung dan memberi hormat.

Abad modern memang tak pernah kehabisan paradoks, dan agaknya inilah yang dilihat Stalin. Kita tahu Vatikan dengan gampang akan dimusnahkan oleh sembarang negeri dengan pasukan berpuluh-puluh divisi, tapi ternyata negeri-negeri yang besar bahkan tetap perlu bermanis-manis dengan takhta yang ringkih itu. Kini, ketika Amerika Serikat ingin mempraktekkan kembali asas Hobbesian bahwa “tiap orang diharapkan berjanji patuh kepada yang punya kekuasaan untuk menyelamatkan atau menghancurkan” Gedung Putih masih merasa perlu menyapa Paus yang tak akan bisa meruntuhkan siapa pun.

Read More..

Tsunami

Antara pukul 9 dan 10 pagi 1 November 1755 itu, kertas-kertas bergetar di atas meja seorang penghuni Kota Lisbon. Tak lama kemudian suara gemeretak terdengar. Tiba-tiba lantai atas ambruk. Perempuan itu pun lari keluar, dengan napas nyaris tercekik oleh debu puing yang tersembur dari mana-mana. Kota hancur. Teriakan terdengar dari pelbagai sudut. Ia lihat para padri berdoa dan gereja-gereja mulai runtuh.

Dalam tempo enam menit, 30 gereja ambruk. Tapi sesuatu menyusul. “Laut datang!” terdengar orang memekik.

Gulungan gelombang setinggi enam meter menggodam kota di tepi pantai itu dengan ganas: gempa melontarkan tsunami ke daratan. Ketika kemudian air kembali ke laut, ribuan bangkai tampak terapung, terangkut, lenyap. Kemudian bumi tak berguncang lagi, tapi api terbit. Lisbon—salah satu permata Eropa—terbakar selama lima hari. Seluruh bencana menewaskan puluhan, mungkin sampai 50 ribu. “Apa yang harus dilakukan, wahai, makhluk fana?”

Read More..

Van Gogh

Van Gogh--Bagaimana kita bisa bicara tentang Mohammad B.? Pada suatu hari di bulan November 2004 yang dingin, ia membunuh Theo Van Gogh dengan tenang dan brutal di sebuah jalan di Amsterdam. Ketika seniman film itu bersepeda, Mohammad B. menghadangnya, dan menembakkan pistolnya delapan kali. Terkena lutut, Van Gogh terjerembap. Ia diseret. Dalam keadaan luka itu ia memandang orang yang menembaknya dan mencoba berbicara. Tapi Mohammad B. tak menyahut. Dengan mantap tenggorokan Van Gogh dipotongnya, hampir putus. Setelah itu, satu statemen lima halaman dipasang ke tubuh Van Gogh, direkatkan dengan sebilah pisau yang menghunjam sampai tangkai ke jantung si mati.

Kesimpulan sementara: Mohammad B. membunuh karena Van Gogh dianggapnya menghina Islam. Delapan minggu sebelumnya film Submission diputar di TV. Kata orang yang telah melihatnya, salah satu adegan menunjukkan ayat-ayat Quran tertulis di atas tubuh perempuan-perempuan yang mengenakan pakaian menerawang, dengan buah dada tampak. Ayat-ayat itu konon menyebut perkenan Allah bagi laki-laki untuk memukul istrinya. Wajah perempuan-perempuan dalam film bikinan Van Gogh itu tampak bengap, runyam.

Read More..

JASIH

Jasih mati membakar diri, dan kita bersalah. Kita harus mengaku…. Kita mungkin ikut membunuhnya, atau kita berdiri di kamar kita dengan dosa sejenis itu, karena kita sampai tak tahu bahwa ada ibu berumur 39 tahun yang begitu berputus asa hingga ia menghabisi nyawanya sendiri dan nyawa Galuh, anaknya yang berumur 4 tahun, yang terserang kanker otak dan tak ada lagi biaya untuk mengobatinya. Kita bersalah karena Jasih begitu miskin–utangnya yang lima juta rupiah kepada para tetangga itu begitu menekan–dan kita selama ini ingkar. Kita tak pernah menengok. Kita tak pernah ingat.

Malapetaka itu tak dapat kita cegah, dan kita bersalah. Jasih tak hidup di negeri yang jauh. Ia mati tak di tempat yang jauh. Kejadian itu, di Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, pada pertengahan Desember 2004. Artinya, bukan masa lalu. Artinya, sebenarnya terjangkau dari tempat saya. Juga terjangkau dari tempat Anda. Lagoa bukan di seberang lautan dan di balik benua. Kecamatan itu hanya beberapa puluh kilometer saja dari orang-orang (mungkin teman-teman kita) yang baru membeli sebuah apartemen di Paris, menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado istri dengan berlian 500 juta, menyogok rekanan dengan 3 miliar, menyumbangkan uang untuk gereja sebesar 70 juta, naik haji ketiga kalinya seraya mentraktir 10 orang teman ke Mekkah, berjudi di London sampai kalah 1.000 poundsterling, atau hanya menyimpan uang beberapa miliar di bank seraya menunggui bunga sekian persen?. Daftar itu bisa diperpanjang. Dan bersama itu, kesalahan kita kian jelas.

Read More..

Sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah mereka.

- sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah mereka.

Kelak, ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin baru akan bisa membaca surat ini, yang ditulis oleh seorang yang tak kalian kenal, tiga hari setelah ayahmu meninggalkan kita semua secara tiba-tiba, ketika kalian belum mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan hari jadi muram. Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di sebuah majalah tua: ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh, dan mudah-mudahan akan tahu bahwa tiap lilin adalah semacam doa: “Biarkan kami melihat gelap dengan terang yang kecil ini, biarkan kami susun cahaya yang terbatas agar kami bisa menangkap gelap.”

Ayahmu, Alief, seperti kami semua, tak takut akan gelap. Tapi ia cemas akan kelam. Gelap adalah bagian dari hidup. Kelam adalah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang mutlak. Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah.

Read More..

Surat buat Siapa Saja

Surat buat Siapa Saja
*Resensi Buku*
Goenawan Mohamad Selected Poems
Editor: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: Kerja Sama dengan Yayasan Lontar, 2004
Tebal: xv + 150 halaman

Antropolog Clifford Geertz mengutip T.S. Eliot: “Penyair yang buruk meminjam, penyair yang baik mencuri.” Apa pun soalnya, meminjam atau mencuri selalu berhubungan dengan pengalihan, yaitu dengan translation. Maka pikiran dapat tersentak membaca kalimat pembuka “introduction“ Laksmi Pamuntjak: “Translation is a form of betrayal“—terjemahan adalah sebentuk pengkhianatan.

Tentu saja ini hanya metafor. Penerjemahan puisi—misalnya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris sebagaimana yang dilakukan dalam kumpulan sajak yang dibahas ini—tidak pernah berarti menciptakan ekuivalen sajak itu dalam suatu bahasa lain. Sebuah terjemahan biasanya lebih jelek atau lebih baik dari yang asli, dan tak mungkin sama dalam segala sesuatunya dengan sajak yang asli. Kalau ide dapat dialihkan, mungkin liriknya yang tercecer; kalau liriknya dapat diselamatkan, barangkali daya evokatifnya yang terabaikan; dan kalau ini pun dikorbankan, barangkali muncul suatu versi yang serba prosais atau lahir orisinalitas baru yang cemerlang, sehingga sajak asli lebih berfungsi sebagai stimulus, tapi tidak lagi sepenuhnya menjadi bahan yang dialihkan ke dalam bahasa lain.

Read More..

NKRI

Aceh kini bukan hanya sebuah daerah yang dirajang perang, tapi juga sejumlah pertanyaan. Pertanyaan itu semuanya berkait dengan apa sebenarnya sebuah “Indonesia”—ya, apa sebenarnya “Indonesia” yang hendak dipertahankan.

Kata para jenderal dan politikus, keutuhan wilayah itulah yang harus dibela. Tapi apa arti “wilayah” sebuah negeri? Apa pula “keutuhan” itu? Kita acap lupa “wilayah” adalah sebuah tempat dalam ilmu bumi, yang terbentang antara sekian garis lintang dan sekian garis bujur. Ia sebuah ruang. Dalam riwayatnya yang panjang manusia membela ruang itu sebagai membela milik sendiri, tapi dalam hal “Indonesia”, apa artinya “milik”?

“Milik” pada akhirnya berarti kekuasaan, dan kekuasaan itu bergerak dalam sejarah. Seandainya Raffles, orang Inggris itu, terus berkuasa di Jawa dan tak menyerahkan pulau ini kepada Belanda pada tahun 1816, mungkin Singapura yang kemudian didirikannya akan jadi bagian dari sebuah wilayah yang kini disebut “Indonesia”. Atau sebaliknya: bisa juga Yogyakarta akan termasuk sebuah negeri yang disebut “Singapura”. Perang dan perdagangan—kedua-duanya bukan sesuatu yang sakral—yang membuat dan menetapkan peta bumi. Benarkah “wilayah” begitu berarti hingga hal-hal yang lain boleh dikorbankan? Benarkah begitu penting “keutuhan”?

Read More..

BUSH

Bagdad, 10 April 2003: dua lambang, dua momen, mungkin dua kekalahan. Menjelang pukul tiga, orang-orang bergerak ke arah Lapangan Firdaus, di tepi timur Sungai Tigris. Marinir Amerika sudah berada di sana. Beberapa buah tank berjaga di kedua sisi Jalan Sadoon, jalan utama wilayah itu.

Seorang Irak mendekat. Ia menunjuk ke arah patung Saddam Hussein yang setinggi tiga meter tegak di atas penopang. “Tembak saja, tembak!” katanya kepada seorang marinir. Orang Amerika itu menggeleng. “Tidak, terlalu banyak orang di situ.”

Orang-orang Irak itu kini mencoba cara lain. Seseorang kurus mencopot pelat tembaga yang dipasang pada pedestal. Seseorang yang lebih kekar menghantamnya dengan palu. Beberapa orang lain mendapatkan tali. Sebuah tangga dipasang. Dua orang marinir naik. Tali dan rantai besi dikalungkan ke leher Saddam. Dalam beberapa menit, Sersan Edward Chin, marinir AS keturunan Cina dari Myanmar, menutup wajah patung itu dengan bendera Amerika. Tak lama—tapi ia telah telanjur masuk ke dalam sebuah adegan yang bersejarah. Setelah Bendera Bintang-dan-Garis dicopot, selembar bendera Irak berkibar—tapi di sana tak ada lagi tulisan tangan Saddam yang menyebut “Allahu Akbar”.

Read More..

BAKU

BAKU, perbatasan, kematian. Ini sebuah cerita yang terjadi kurang-lebih 100 tahun yang lalu, ketika Eropa bersentuhan dengan Asia, dan seorang bangsawan muslim jatuh cinta pada Nino. Gadis ini teman sekolahnya, beragama Kristen, dan semua itu terjadi di sebuah tempat yang pas untuk cerita seperti ini: di Baku, di tepi Laut Kaspia itu, di mana Georgia, Armenia, dan Azerbaijan bertemu, di sebuah wilayah yang berada di bawah kemaharajaan Rus dan bersentuh batas dengan Persia. Agaknya novel Ali und Nino ini memang ditulis, oleh seorang pengarang misterius bernama Kurban Said, dengan arah seperti itu: Eropa bersentuhan dengan Asia, dan segala kerumitan, juga cinta dan kematian, meruyak.

Novel itu terbit dalam bahasa Jerman pertama kali di Wina pada tahun 1937. Kemudian perang meletus, dan karya yang pernah disambut hangat itu pun dilupakan, sampai akhirnya, di puing-puing Berlin, di sebuah toko buku bekas, seorang penerjemah menemukannya kembali. Pada tahun 1971 versi Inggrisnya terbit. Pada tahun 2000 ia muncul lagi dalam terbitan Anchor Books, dengan kata akhir oleh novelis Paul Theroux.

Read More..

Jenar

Jenar
- untuk Ulil Abshar Abdalla

SIAPA yang menghukum mati seseorang karena iman dan pendirian akan mendengar sepotong kepala yang ketawa. Konon itulah yang terjadi setelah Sunan Kudus, di hadapan para wali dan para pembesar istana, memancung seorang cendekia yang dianggap sesat, pada suatu hari Jumat di abad ke-15, di halaman masjid keraton, setelah salat selesai.

Orang itu bernama Jenar. Nama lengkapnya Syekh Siti Jenar—sebuah nama yang tak henti-hentinya jadi legenda di masyarakat Jawa. Ia memikat karena ia melambangkan perlawanan yang dianggap sah terhadap kekuasaan para ulama dan penguasa yang mengunggulkan ortodoksi. Literati Jawa yang berpengaruh pada umumnya memang tak bersahabat dengan mereka yang gemar membalut hidup dengan syariat serta merasuk ke pemikiran agama yang legalistis—yang oleh penulis Wedatama di abad ke-19 diejek sebagai orang yang anggubel sarengat.

Read More..

Sekuler

Sekuler -- Sebuah negeri mustahil berhenti menjadi plural tanpa pembunuhan. Terutama di awal abad ke-21. Persoalan yang kemudian dihadapi adalah apa artinya ”plural”, dan apa gerangan pula arti ”sebuah negeri”.

Jawabannya bukannya tak ada. Di Amerika Serikat dan Inggris, ”plural” berarti ”multikultural”. Majemuk berarti menghormati dan menjaga perbedaan adat-istiadat pelbagai paguyuban yang ada dalam negeri itu. Majemuk berarti tidak mengasimilasikan penduduk atau warga negara ke dalam satu kesatuan identitas yang baru setelah yang lama dilupakan.

Dalam pandangan ini, ”asimilasi” membuat bulu kuduk berdiri, seakan-akan sebuah penindasan, ketika akar-akar budaya seseorang dibabat dan pelbagai manusia dilebur ke dalam sebuah panci, untuk membentuk sebuah kebersamaan baru yang utuh dan sama rata sama rasa—sebuah keseragaman yang represif. Namun, pandangan multikulturalisme ini hanya salah satu jawaban bagi persoalan-persoalan kemajemukan di abad ke-21.

Read More..

Menopause

Menopause
… ada godaan dari politik yang seperti itu–baik kita seorang fasis atau bukan. Sebab, di sana banyak hal jadi tegas, lurus, tak bisa ditawar-tawar. Seperti halnya pertempuran: ketika dua seteru berhadapan dengan bayonet terhunus…

Jika revolusi bukanlah sebuah jamuan makan, demokrasi bukanlah sebuah lapo tuak. Aforisme itu tentu saja tak amat segar, tapi kadang-kadang kita perlu ingat lagi bahwa demokrasi–betapapun ia sebuah cita-cita yang memikat–adalah seonggok beban. Sistem (ataukah proses?) ini bukan sebuah ruang tempat orang bisa asyik berdebat, berembuk, minum-minum, main catur, kalah dengan sebal, dan menang dengan riang, asal membayar. Ketika sejumlah orang berada bersama di suatu tempat dan hendak mengupayakan hidup yang tanpa penindasan, mereka akan segera tahu bahwa dalam sebuah demokrasi, politik adalah sebuah jalan yang musykil. Bahkan kadang-kadang agak aib, menjengkelkan, dan membosankan.

Read More..

SEJARAH WAHABI II

Pada tahun 1924, Turki ibn Abdullah, putra dari penguasa Saudi yang dipenggal di Istambul, mengambil alih Riyad, sebuah pemukiman di sebelah selatan Dir`iyyah yang dikemudian hari menjadi kota penting. Ini dapat terjadi karena pasukan dari Mesir mengundurkan diri Dari Najd pada 1821. Dari sana, kekuasannya meluas ke daerah `Aridh, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr dan Aflaj. Pada 1830, ia juga berhasil memperluas kekuasaan sampai ke wilayah Hasa, salah satu medan perang saudara di antara faksi-faksi klan Saudi. Amir Turki sendiri tidak mengutak-atik kekuasaan Usmaniyah dan Mesir di wilayah Hijaz, yang menjamin keamanan kafilah-kafilah haji. (al-Rasheed, 23).

Read More..

SEJARAH WAHABI

Pasukan Ibn Saud lari menyerbu. Mereka bertarung di tangga, kerumunan orang saling bergelut, berteriak dan membacok.

"Jangan bunuh aku, wahai Abu Turki, " Obaid memelas.

"Ini bukan tempat untuk belas kasihan, " jawab Ibn Saud.

"Aku akan menegakkan keadilan, pembalasan yang adil atas pembunuhan." Dia mengayunkan pedangnya tiga kali, dengan gerakan pergelangan tangan dan lengan bawah yang tangkas. Pada ayunan pertama, dia menyabet lutut Obaid dan saat Obaid terhuyung karena sabetan itu, dia menyerang lebih atas menebas lehernya sehingga darah menyembur keluar seperti dari pipa bocor.

"Saya memiliki empat istri seperti yang diizinkan Nabi, " jawab Ibn Saud.

"Tapi, berapa wanita yang telah Anda nikahi dan berapa yang telah Anda cerai?"

"Saya sudah menikahi dan menceraikan seratus wanita dan saya akan menikahi dan menceraikan lebih banyak lagi, " jawabnya.

Sumber: Sang Penjegal (Abdul Aziz Ibn Saud, Raja Saudi Arabia), karangan H.C. Armstrong, Penerbit Ramala Books, 2008)

**********

Read More..

Jejak Syariah dan Khalifah di Indonesia


Perhatian Ulama dan Politikus Islam Terhadap Khilafah

Belanda terus menghancurkan Islam. Namun, semangat dan persatuan Islam tak pudar. Tatkala Khilafah Islamiyah dihancurkan oleh Inggris melalui konspirasi jahatnya dengan Mustafa Kemal, dunia Islam mengalami kegoncangan. Upaya-upaya mengembalikan kembali Khilafah pun diupayakan. Tak ketinggalan juga ulama-ulama dari Indonesia. Untuk menyatukan langkah dalam menghadapi perjuangan, para ulama Indonesia pada tahun 1922 mengadakan konggres Islam di Cirebon dan pada tahun 1924 di Garut. Berikutnya, pada tahun 1926 di adakan Muktamar Alam Islamy Farul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor sebagai respon atas undangan Konggres Islam Sedunia yg diselenggarakan oleh Ibnu Saud. Tahun 1924, Syarif Husein Amir Makkah membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari 9 orang sayyid di tambah 19 orang perwakilan daerah/negara lainnya. Dua orang perwakilannya berasal dari Jawi (Indonesia). Pada tanggal 13-19 Mei 1926 diadakan Konggres Dunia Islam di kairo. Dari Indonesia hadir H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Bulan depannya, 1 Juni 1926 diselenggarakan Konggres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 orang utusan, yaitu H.O.S Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukkan mereka ditetapkan dalam Konggres Al Islam ke-4 di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan Konggres ke-5 di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berdua berangkat dari Tanjung Perak Surabaya dengan kapal rondo dan dielu-elukan oleh masyarakat. Sesampainya di Tanjung Priuk banyak pemimpin Islam yang menyambut mereka, bahkan memerlukan diri datang ke pelabuhan. Tahun 1927 berlangsung Konggres Khilafah kedua di Makkah. Indonesia diwakili oleh Haji Agus Salim (Sarekat Islam). Hasilnya Raja Saud (dalam sambutannya) tidak menginginkan dibicarakannya masalah khilafah dalam konggres tersebut. Sehingga konggres tersebut gagal. Ini semua menggambarkan bahwa para ulama dan tokoh politik Indonesia ketika itu menaruh perhatian besar terhadap khilafah. Bukan hanya ulama, bahkan orang Islam Indonesia tertarik pada persoalan khilafah ini semenjak Perang Dunia I berakhir. Kaum Muslim Indonesia memandang kekuasaan Sultan Turki sebagai Khalifah.

Read More..

Jejak Syariah dan Khalifah di Indonesia II

Dalam bidang pertanahan, terutama tentang hak pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari telah menjelaskan ketentuannya dalam kitab Fathul Jawad yang isinya memuat ketentuan fikih yang diantarannya ihyaul mawat. Dalam pasal 28 UU Sultan Adam Kerajaan Banjar, dijelaskan bahwa tanah pertanian yang subur di daerah Halabiu dan Negara adalah dibawah kekuasaan kerajaan. Karena itu, tidak boleh seorangpun melarang orang lain menggarap tanah tersebut kecuali memang diatas tanah itu ada tanaman atau bukti lainnya bahwa tanah itu sudah menjadi milik penggarap terdahulu. Ketentuan ini memang sesuai dengan ketentuan fikih Islam yang menyatakan bahwa tanah liar atau tanah yang belum digarap adalah dibawah kekuasaan raja (negara) dan siapa saja yang menggarapnya adalah yang memilikinya. Dengan demikian nampak jelas bahwa Islam dan syariatnya sudah menyatu dan terimplementasi secara menyeluruh dan sistemis.

Read More..

Jejak Syariah dan Khalifah di Indonesia


Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dengan berimannya orang perorang. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang rame dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di Asia Barat sejak abad 7 . Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera.

Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah,yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.
   

Read More..

Tuanku Rao

Menguak Sejarah Tuanku Rao

MENGUAK SEJARAH TUANKU RAO Posted by: “buku dunia” duniabuku@gmail.com Mon Dec 24, 2007 11:10 pm (PST) *Kontroversi Sejarah sebagai InspirasiPeradaban

*J SUMARDIANTA

Perbedaan-perbedaan dalam sejarah sesungguhnya memberi pelajaran kepada umat manusia perihaltoleransidankebebasan. Aforisma Francois Caron, Guru Besar Sejarah Universitas Sorbone, Paris, Perancis, ini kiranya sangat tepatbuatmerangkumseluruh kontroversi dan perdebatan buku Tuanku Rao. Buku yang dipublikasikan pertama kali tahun 1964 oleh Penerbit Tandjung Harapan ini memang memicu polemik seputar Gerakan Paderi di Sumatera Barat dan ekspansi pasukan Paderi di Sumatera Utara pada abad ke-19.

Kendati menggunakan metodologi penulisan sejarah Weberian Tuanku Rao goyah karena mencampuradukkan fakta sejarah, mitos,imajinasi, dan folklore (cerita rakyat). Satu-satunya sumber hanyalah memoar Tuanku nan Renceh yang disalin dari tulisan-tulisan berbahasa Arab ke Latin oleh Sutan Martua Raja-ayah Mangaradja Onggang Parlindungan. Sutan Martua Raja sendiri tak lain cicit dari Tuanku Lelo. Anakronisme sejarah terjadi karena Parlindungan miskin sumber pembanding dan kurus referensi.

Berbagai tarikh, buku Tuanku Rao, mudah longsor, karena dibangun di atas argumentasi rapuh. Kontroversi menyengat karena Parlindungan sangat subyektif soal mazhab Hambalidanheroisme Batak. Iatidak bisa mengambil jarak dengan problem yang dikaji. Tak ayal, buku ini tergelincir ke isu primordial etnosentrisme. Kendati demikian, buku ini memberikan fakta mental berharga tentang dinamika sejarah lokal umat Islam di Sumatera Utara.

Buku ini melihat Gerakan Paderi dengan sudut pandang etnis Batak. Berbeda dengan umumnya sejarah Paderi yang menggunakan sudut pandang etnis Minang. Gerakan Paderi (1803-1837), selaku cabang Gerakan Wahabi di Arab, merupakan gerakan radikalisme Hambali Zealots. Begitu keyakinan Mangaradja Onggang Parlindungan.

Gerakan Paderi dilatarbelakangi perintah langsung Abdullah Ibn Saud, Raja Arab Saudi, kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa Minangkabau: Kolonel Haji Piobang,MayorHaji Sumanik, dan Haji Miskin. Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah dari tangan pasukan Turki 1802. Para pecundang tidak dihukum mati. Boleh lepas bebas. Kompensasinya: mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi sesampai di kampung halaman. Agar Hindia Belanda terbebas dari penguasa penjajah kafir dari Eropa. Maklum, Hindia Belanda dipandang sebagai mitra strategis kerajaanArabSaudi.

Kemerdekaan tanah Arab, sebagaimana dialami Abdullah Ibn Saud, hanya bisa direbut dari Kesultanan Turki-Osmani dengan membentuk tentara modern. Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan kepada Kolonel Haji Piobang. Dia bekasperwira kavaleriYanitsarTurkidi bawah komando Muhammad Ali Pasya. Berkat Haji Piobang, bala tentara Turki berjaya menumbangkan pasukan Napoleon dalam pertempuran Piramid di Mesir 1798. Muhammad Ali Pasya pun menghadiahi Haji Piobang pedang kebesaran. Senjata itulah kelak yang dihibahkan bagi Tuanku Lelo, pahlawanPaderiyanggagahperkasa,tak lainnenek moyang Onggang Parlindungan.

Tingki Ni Pidari

Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn Saud adalah cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak. Dengan meriam, pasukan Paderi mampu menembus dan mengobrak-abrik isolasi alam Tapanuli yang terlindung pegununganBukit BarisandanlembahDanauToba.

Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan, pasukan Paderi memancung kepala Singamangaraja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja, tahun 1819. Pongkinangolngolan adalah anak perkawinan sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.Gana Sinambela sendirikakak Singamangaraja X.

Pongkinangolngolan, tutur Onggang Parlindungan, dibuang karena dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga. Bertahun-tahun berada di pengasingan di Angkola dan Sipirok. NaNgol-ngolan, dalam bahasa Batak, artinya menunggu sesuatu yang tidak jelas dengan tidak sabar (waiting in vain). Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau karena khawatir suatu hari dikenali dan dijatuhi hukuman mati. Di Minangkabau ia bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo. Pada waktu itu Haji Miskin, Haji Piobang,dan Haji Sumanik (tiga tokoh pembaruan abad ke-19) baru kembalidari Mekkah. Mereka, yang sedang mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mazhab Hambali ke Mandailing, mendapat dukungandari Tuanku Nan Renceh.

Tuanku Nan Renceh, mubalig besar, karib Datuk Bandaharo Ganggo. Ia terkesima mengetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngolan. Pongki rupanya sangat baik digunakan dalam rencana merebut dan menduduki Tanah Batak. Datuk Bandaharo diminta menyerahkan Pongkinangolngolan. Tuanku Nan Renceh memberi nama Pongkinangolngolan Umar bin Katab.

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga KerajaanPagarruyung di Suroaso. Mereka dihabisi karena menolak aliran baru tersebut. Hampirseluruhkeluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan Tuanku Lelo. Hulubalang bernama asli Idris Nasution itu, menurut Onggang Parlindungan, dijuluki Tuanku Lelo sebab memperoleh lisensi “kesimaharajalelaan” untuk melakukan kekejaman oleh Tuanku Nan Renceh.

Umar Katab (Pongkinangolngolan Sinambela) diangkat Tuanku Nan Renceh sebagai perwira tentara Paderi dengan gelar Tuanku Rao. Tuanku Nan Renceh, setali tiga uang Belanda, menjalankan politik divide et impera. Ia menggunakan orang Batak untuk menyerang dan menaklukkan tanah Batak. Ekspansi dimulai 1816 dengan menyerbu benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Sebanyak 5.000 anggota pasukan berkuda dan 6.000 anggota pasukan infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi.Semua penduduknya dibantaitanpa sisa.

Gerakan Paderi bergelimang kebengisan (cruelties) dan berlumuran kekejaman (atrocities). Kekejaman sengajadilakukandan disebarluaskan untuk menebar pengalaman traumatis guna memudahkan penaklukan. Satu per satu wilayah Mandailing pun ditaklukkan pasukan Paderi yang dipimpin para hulubalang Batak sendiri.

Gerakan ekspansif ke tanah Batak itu oleh Onggang Parlindungan disebut “Tingki Ni Pidari”-malapetaka besar zaman Paderi. Teror “Tingki Ni Pidari” adalah neraka paling jahanam dalam sejarah etnis Batak. Lembaran paling kelam dari sejarah Gerakan Paderi. Banyak memangsa korban jiwa, tetapi tidak berhasil mencapai tujuan.

Kebajikan masa lampau

Pada 1974 Prof Haji Abdul Malik Karim Amrulah (HAMKA) menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Buku itu berisi sanggahan-sanggahan terhadap kisah Mangaradja Onggang Parlindungan. Menurut Buya HAMKA, Tuanku Rao manis kulitnya, pahit isinya. Maklum buku itu mengagungkan etnis Batak seraya menganggap sepi etnis Minang. Menarik bahwa sebagai ulama besar, Buya HAMKA pun saat menanggapi Parlindungan terjebak isu peka sentimen primordial-etnosentrisme. HAMKA tidak rela Tuanku Rao dan Tuanku Lelo menempati kedudukan lebih istimewa ketimbangTuanku Imam Bonjol. HAMKA menuduh Parlindungan pembohong dan bodoh. Parlindungan menyebut HAMKA kampungan.

Kendati emosional, perdebatan antara ulama dantentara itutidak menjurus kekerasan fisik dan mobilisasi massa. Di Padang pada 1969 mereka berdebat sengit dalam seminar tentang penyebarluasan Islam di seantero Sumatera Barat. Adu argumentasi dimungkinkan mengingat atmosfer intelektual saat itu sangat menyantuni kebebasan akademis. Apalagi mereka berdua dibesarkan pada zamanBelanda. Muara pendidikan pada zaman kolonial memang humanitas expleta et eloquens (kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri). Kendati secara ideologis berseberangan, HAMKA dan Parlindungan karib yang acap berangkat shalat Jumat di Masjid Al-Azhar secara bersama-sama.

Kontroversi sejarah justru merupakan bukti tingginya mutu peradaban. Inilah hikmah yang bisa ditimba dari polemikParlindungan dengan HAMKA. Ditarik agak ke belakang, pada zaman kolonial, Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang properadaban Barat pernah berdebat dengan Sanusi Pane yang menjunjung tinggi budaya Timur. STA ingin membersihkan anasir mitos dan takhayul (penghambat kemajuan) yang bergentayang di sesat pikir bangsa Indonesia. Sanusi Pane menganggap STA kemlondo-londonen (kebarat-baratan) dan tidak menghargai indigeneus people (kearifan lokal). Di kemudianhariSTAbenar: bangsa Indonesia majukarena berkiblat ke Barat.

Pada 1952-1954 terjadi polemik kebudayaan yang bermutu antara Soedjatmoko dan Buyung Shaleh. Soedjatmoko prihatin sastra mandul tidak mampu menghasilkan karya masyhur seperti Chairil Anwar karena sastrawan Indonesia cenderung pragmatis. Buyung Shaleh, tokoh Lekra, tidak sependapat. Menurut dia, majalahnya karya sastra karena terputusnya kehidupan sastrawandengan rakyat.

Polemik kebudayaan dan perdebatan akademik padamsejakOrde Baru naik ke tampuk kekuasaan. Perdebatan intelektual miskin dan compang-camping. Pendidikan Orde Baru bubrah. Tidak menyediakan ruang secuil pun buat merenung. Intelektual sangat pragmatis: terjun kepartai, terserap birokrasi, cari nafkah di LSM, mengasong proyek penelitian, dan menjadi konsultan kapitalis. PerdebatanHAMKA dengan Parlindungan yang sangat bermutu jadi barang langka. Polemik mereka terasa kasar pada zamansekarang akibatvirus eufemisme yang disebarkan Orde Baru.

Almarhum Mangaradja Onggang Parlindungan, mantan perwira Angkatan Darat, salah satu pendiri Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad) Bandung, adalah insinyur perkayuan lulusan Universitas Delft Belanda dan Zurich Swiss. Parlindunganintelektual jujur. Kendati Parlindungan generasi ke-5 keturunan Tuanku Lelo, buku ini diniatkan untuk merehabilitasi nama baik Tuanku Rao yang citranya demikian remuk redam di kalanganmasyarakatBatak.

Buku ini makin memperkaya data bahwa di sekujur Nusantara, masyarakat Indonesia memang ditelikung spiral kekerasan. Persatean nasional gemar mengambil bentuk whole sale teror (teror ombyokan)-bencana politik 1965, konflik Ambon dan Poso, kegaduhan etnis di Sampit, kerusuhan Mei 1998, dan tragedi Alas Tlogo. Melalui bukunya, Onggang Parlindungan mengampanyekan lingkaran malaikat perdamaian.

“PRAHARA DI TANAH BATAK”

Judul Buku: Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak. Penulis: Mangaradja Onggang Parlindungan Editor: Ahmad Fikri A.F. Penerbit: LKiS, Jogjakarta Cetakan I, Juni 2007 Isi buku: iv + 691 halaman-Hardcover Harga: Rp 135.000

“Tak ada fakta, yang ada hanyalah tafsir,” begitu kata Nietzsche berkenaan dengan masalah kebenaran dan pengetahuan. Katakata itu tampaknya berlakujugauntuksejarah,sebabsejaraheratkaitannya dengan serpihan-serpihan kebenaran dan pengetahuan, yang supaya bermakna perlu ditata dan ditafsir kembali. Karenaitu, sejarahjuga merupakan tafsir,dan sebuah tafsir bukanlah segumpal kebenaran mutlak. Ia baru merupakan upaya untuk mendekati kebenaran.

Buku Tuanku Rao karya M.O. Parlindungan ini merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan pengalaman masa lalu itu, terutama yangterkaitdengan PerangPaderi.Melalui buku ini, penulis mengajakkita mengunjungikembalikemasa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak pada 1816-1833.

Berbeda dengan sejarawan lain, penulis memilihuntukmenuliskan sejarah Batak dengan gaya bertutur(storytellingstyle), yang semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Di sinilah sesungguhnya letak daya tarik buku ini. Ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah Batak itu sendiri ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini.

Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itujugadipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan SorbaDibanua danseluruh keturunannya.

Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (TuankuRao),Idris Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX)dengan pamannya,Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihidan memanjakan keponakannya (hlm. 355).

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman matiolehRaja Batak.

Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleriJanitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.

Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batakuntukmenyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakanseorang pun.Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab Hambali.

Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orangSiregarSalak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua,yaituSingamangaraja X. JatenggerSiregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.

Akhirnya, buku yang terbagi dalam tiga bagian besar dan berisi 34 lampiran ini jelas memiliki tempat khusus di dalam penulisan sejarah berdasarkan fakta dan representasi historiografi sebagai interpretasi yang tidak mutlak.

Penulis telah menunjukkan adanya kekuatan pada naskah tertulis dalam merekonstruksi visi sejarah Batak bagi perkembangan politik, sosial, dan budaya. Tak dapatdisangkal,kontribusi utama bukuiniterletak pada temuannya atas faktor lain di luar domain historiografi konvensional. Hal itu jelas akan berdampakluas dalamperdebatan mengenai historiografi Indonesia. (*)

Menguak Sejarah Kelam Tanah Batak

Judul : Tuanku Rao Penyusun : Mangaradja Onggang Parlindungan Penyunting : AhmadFikriAF. Penerbit : LKiS, Jogjakarta Cetakan : I, Juni 2007 Tebal : iv + 691 Halaman

Sejarah adalah tapak yang seringkali harus ditengok, karena dari situ kita dapat menengarai pola yang sama dari peristiwa yang berlainan dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Sejarah mengajak kita untuk menyadari, pada akhirnya setiap peristiwa dapat tersimpan dalam ingatan masyarakatnya dan menjadi tidak saja “living memories”, tapi juga “living traditions” yangmelintasibatasruang dan waktu melalui penuturan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Karya M.O. Parlindungan yang pernah diterbitkan penerbit Tandjung Pengharapan, Jakarta, 1964, dengan judul Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao; Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 ini merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembaliserpihan-serpihanpengalaman masa lalu itu, terutama yang terkait dengan perang Padri dan sentimen atau dendam antar marga. Namun, setelah menuai kontroversi yang sukar diterima oleh pandangan umum karena dianggap fiktif, memalsukan sejarah, dan menguak rahasia keluarga, buku ini akhirnya ditarik dari peredaran.

Setelah 43 tahun buku ini selalu dirujuk, tapi juga dikritik dan dicerca, penerbit LKiS menghadirkan kembaliseperti adanya,tanpa ada perubahan isi. Bahkan, ejaan sengaja tidak diubah. Ini dilakukan karena, menurut penyunting, selain atas permintaan ahli waris, juga untuk mencoba menampilkan dan menangkap emotional senses sebuah periode di mana buku ini terbit, sekaligus mengajak kita mengunjungi kembali masa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror dan kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali(Wahabi) diTanahBatak pada 1816-1833.

Di samping menggunakan sistem Max Weber, penyusun memilih untuk menuliskan sejarah Batak dengan gaya bercerita(storytelling style), yang semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Lewat dokumen-dokumen pemberian sang ayah, Sutan Martua Raja Siregar, penyusun berargumentasi bahwa teror yang dilakukan pasukan Padri dalam menyebarkan agama Islam Mazhab Hambali telah membuat sejarah Batak menjadi cermin mengenai diri mereka sendiri, tentang siapa mereka dan apa yang membuat kekerasan itu terjadi.

Dengan kreatif, penyusun berkonsultasi dengan pelbagai sumber tertulis, baik itu dokumen Tionghoa berusia 400 tahun dariklenteng Sam Po Kong Semarang hasil penyelidikan ResidenPoortman, maupun sumber-sumber Eropa hasil penelitian Willem Iskandar, yang berhubungan dengan perang Padri dan penyebaran Wahabi di Tanah Batak.

Di sinilah sesungguhnya letak menariknya buku ini, ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah itu sendiri ketimbangmenjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini. Naskah-naskah tertulis yang digunakan sumberbukuinitelah menjadi kekuatan pendorong bagi orang Batak untuk berupaya memahami masa lalu mereka. Ini jelas sebuah indikasi evolusi dalam alam kesadaran sejarah orangBatak masa itu. Mengacu pada Sutan Martua Raja, penyusun menjelaskan bahwa setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke TanahBatak tersebut dilakukan dengan kekerasandanteror;bahwa,selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan inijugadipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Dan Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, mengucapkan sumpah yang diikuti oleh seluruh marga Siregar, yaitu kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan SorbaDibanua dan seluruh keturunannya.

Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin oleh orang-orang Batak sendiri. Beberapa nama dapatdisebut: Pongkinangolngolan Sinambela yang bergelar Tuanku Rao dan Idris Nasution yang bergelar Tuanku Nelo, serta Jatengger SiregaryangbergelarTuankuAli Sakti.

Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap dan incest antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak dariSingamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah,Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakankeponakannya (hlm. 355).

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkan di Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan malah terselamatkan arus hingga mencapai sungai Asahan dan ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh lalu dikirim ke Mekkah dan Syria dan sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleriJanitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815 Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Padri dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun.Kekejaman inisengajadilakukandan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan guna menyebarkanagamaIslam MazhabHambali.

Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X diBenteng Bakkara, dilaksanakanpada 1819. Orang-orangSiregarSalakdari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregarikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan SorbaDibanua,yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.

Penyerbuan pasukan Padri terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000orang tentara Padri yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun TuankuImam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran dengan Belanda di Air Bangis pada 5 September 1821.

Selain mengisahkan Tuanku Rao, buku ini juga memberikan porsi yang cukup banyak tentang kekejaman Tuanku Lelo, kakek buyut penyusun (hlm. 358), dalam menyebarkan Islam Mazhab Hambali diTanah Batak. Dikisahkan bahwa pasukan yang dipimpin Tuanku Lelo membakari rumah-rumah penduduk yang tidak mau masuk Islam dan menangkapi wanita-wanita untuk dijadikan selir. Akhirnya, pada 15 Muharram 1249 H (1833 M) Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh HalimahRangkuti,salahsatu tawananyangdijadikan selirnya (hlm. 348).

Hadirnya buku ini jelas telah membuat pemahaman kita akan sejarah Batak makin mendalam dan bernuansa. Penyusunnya harus dihargai atas upayanya melebarkan horizon penelitian berspektrum luas, walau dengan pelbagai kendala subjektivitas yang menyertainya dan dari segi metodologi masih patut dipertanyakan.Takpelak,Prof. Hamka pun menulis buku: Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) sebagai sanggahan atas karya M.O. Parlindungan.

Meskipun kita tak perlu menyetujuikeseluruhan ulasan penyusun maupun perdebatan-perdebatan yang kemudian menyertainya, buku bertebal 691 halaman ini demikian berharga, terutama untuk beberapa aspek atau dimensinya. Dengan keruntutan bahasanya, buku ini jelas sangat imajinatif. Diperkaya dengan 34 lampiranyangantaralain berisi silsilah raja-raja Batak, serta dimuati serangkaian kritik terhadap sejarah konvensional, prestasi kesejarahan yang telah dicapai M.O. Parlindungan lewat buku ini sayang diabaikan, terutama bagi yang memerlukan bahan rujukan atau karya pembanding tema ini.

Buku ini merupakan satu dari sedikit karya sejarah lokal Indonesia yang telah menyulut perdebatan di kalanganlintas disiplin, dalam cara melihat, menafsirkan, dan memahami kompleksitas sejarah kelam Tanah Batak pada awal abad ke-19, di mana sejarah Indonesia termasuk di dalamnya.

Read More..

STUDI AL-QUR’AN NASHR HAMID ABU ZAYD

Muqodimah

Al-Qur’an adalah kitab suci pegangan hidup umat Islam yang sakral. Kaum Muslimin meyakini, bahwa al-qur’an dari ayat pertama hingga akhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw secara verbatin (lafdzan) maupun maknanya (ma’nan). Sehingga ajaran-ajaran, perintah-perintah serta larangan yang terdapat di dalamnya, menjadi suatu hal yang harus dipegang teguh dan dilaksanakan oleh umat manusia secara universal.

Sejak awalnya diturunkannya Al-Qur’an hingga sepeninggal nabi Muhammad saw berlanjut pada era modern dan postmodern saat ini, eksistensinya selalu mendapatkan gangguan-gangguan, baik dari kalangan luar maupun dari dalam Islam sendiri. Sebut saja Musyailamah Al-Kadzab dengan membuat Al-Qur’an palsu dan tandingan-tandingannya. Gustav Flugel dengan mushaf “Corroni Textus Arabic”, Arthur Jeffery dengan Al-Qur’an Edisi Kritis, dan kasus terakhir yaitu kasus Luxenberg dan bukunya “Die Suro-aramaismshe Lesart des Koran” (cara membaca Al-Qur’an dengan bahasa Syiro-armaik: sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesukaran memahami bahasa Al-Qur’an).

Ironisnya, sakralitas Al-Qur’an pun berusaha untuk dihilangkan oleh kalangan umat Islam sendiri. Salah satu diantaranya adalah Nashr Hamid Abu Zaid, seorang pemikir modernis asal Mesir. Ia mengenalkan studi al-Qur’annya dengan proposisi hubungan antara teks (nash) dan interpretasi (takwil). Menurutnya, teks dan interpretasi adalah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi mata uang. Menurutnya, selama ini ulama selalu memisahkan antara teks dan takwil, takwil dianggap sebagai suatu yang tabu dan dilarang. Ini mengkibatkan teks menjadi tertutup dan makna-makna yang terkandung menjadi tidak tercapai. Sehingga menurutnya, perlu untuk meninggalkan metode yang menurutnya tradisional, dengan meletakan “konsep teks” (mafhum al-nash) sebagai pusat pengkajian, sehingga penggunaan teori heemeneutika menjadi keniscayaan.dengan demikian dapat meminimalisasikan subyektifitas dan kepentingan-kepentingan ideoogis dalam interpretasi.[1]

Menurut Nashr Hamid, Al-Qur’an merupakan teks manusiawi. Proses pemanusiaan ini, menurutnya, sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad saw menuturkan firman-firman “verbal” Tuhan itu dalam bentuk-bentuk bahasa arab (bahasa orang Jazirah Arab). Tanpa berpretensi mendesakralisasikan teks Al-Qur’an secara mutlak, Nashr hamid sebenarnya hendak meneguhkan ke-imanesian Al-Qur’an sehingga bisa dicandra oleh pemahaman manusia tanpa harus menampik asal-usul transedensialnya.
Dalam konteks ini sebenarnya, Nashr Hamid hendak mengulang ‘manifesto’ guru in absentia-nya, Amin Al-Khuli, yang mengatakan “bahwa Al-Qur’an adalah kitab agung berbahasa arab” (kitab al’arabiyah al-akbar).[2] Perkataan “kitab berbahasa arab” mengindikasikan sisi imanensi Al-Qur’an, dan “kitab agung” mengindikasikan aspek transendennya. Dengan meyakini bahwa Al-Qur’an adalah teks berbahasa arab yang menyejarah, Abu Zayd lalu mendudukan Al-Qur’an sebagai teks yang mungkin dianalisis melalui perangkat kajian linguistik dan historis.

Di samping itu, dengan menegaskan tekstualitas Alqur’an. Abu Zayd hendak mengkaitkan kembali kajian ilmu Alqur’an dengan konteks studi kritik sastra. Artinya, menurutnya, layaknya seperti teks-teks lain, Alqur’an mungkin didekati dengan pelbagai perangkat kajian tekstual modern.[3] Sebagaimana dikatakannya, Alqur’an adalah teks bahasa (nashs lughawiy) yang bisa digambarkan sebagai teks sentral (nashs mihwariy) dalam peradaban Arab. Jika demikian, mendudukan Alqur’an sebagai teks histories tidak berarti mereduksi keilahiannya. Justru historisitas tekslah yang menjadikan Alquran sebagai subjek pemahaman dan takwil. Dengan demikian lanjutnya, analis sosiohistoris diperlukan dalam proses pemahan Alqur’an, dan pemanfaatan metodelogi linguistik modern menjadi sesuatu yang niscaya dalam praktik takwil. Di sinilah  arti penting tekstualitas dan historisitas Alqur’an. Mengabaikan tekstualitas Alqur’an hanya mengarahkan pada pembekuan makna pesan. Ketika makna pesan dibekukan, maka ia akan sangat gampang dilacurkan pada arah dan kepentingan ideologis sang pembaca.[4]

Berpijak dari dua hal tersebut, ada dua tema besar yang diusung oleh Nashr Hamid, dan hendak diungkapan dalam makalah ini. Pertama, konsep Alqur’an yang kita kenal selama ini sebuah produk budaya (muntaj tsaqafi). Dan yang kedua adalah penggunaan metode pengkajian linguistik dalam pemahaman atau penafsiran Alqur’an. Pemahaman ini akan menjadi pijakan bagi pelibatan realitas sosial-budaya (muntaj tsaqafi) dikarenakan teks Alqur’an terbentuk dalam realitas budaya selam dua puluh tahun. Oleh karena itu, dalam pandangan Nashr Hamid perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks Alqur’an dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Alqur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan.[5] Disamping itu karena teks Alqur’an menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain, maka kemudian Alqur’an juga menjadi produsen budaya (muntaj al-tsaqafi).

A. Riwayat Hidup Nashr Hamid Abu Zayd[6]

Nashr Hamid Abu Zayd adalah seorang tokoh modernis Islam yang berkeinginan untuk menjadikan hermeneutika sebagai satu-satunya metode interpretasi al-Qur’an. Nashr Hamid mengklaim bahwa interpretasi al-Qur’an selama ini merupakan interpretasi yang karena dipenuhi oleh kepentingan-kepentingan ideologis, serta metode interpretasi yang dipakai kalangan ulama selama ini tidak ilmiah. Menurutnya pendekatan yang layak dan niscaya dilakukan adalah pendekatan kritik historis dan kritik sastra.

Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Quhafa, beberapa Km 120 dari Kairo, dekat Tanta, Mesir pada tanggal 10 Juli 1943. Pemikir kontroversial Mesir dan profesor Studi Arab Nasr Hamid Abu Zaid pada hari senin pagi  5 Juli 2010 meninggal di sebuah rumah sakit Kairo akibat serangan virus yang dijelaskan oleh para dokter sebagai penyakit yang “jarang dan langka.” Pada usia 12 tahun, Abu Zayd pernah dipenjarakan karena diduga bersimpati dengan Ikhwanul Muslimin. Setelah menerima pelatihan teknis ia bekerja untuk National Komunikasi Organisasi di Kairo. At the same time, he started studying at Cairo University , where he obtained his BA degree in Arabic Studies (1972), and later his MA (1977) and PhD degrees (1981) in Islamic Studies , with works concerning the interpretation of the Qur’an . Pada saat yang sama, ia mulai belajar di Universitas Kairo , di mana ia memperoleh gelar BA gelar dalam bahasa Arab Studi (1972), dan kemudian hari MA (1977) dan PhD derajat (1981) dalam Studi Islam. Pada tahun 1982, ia bergabung dengan staf pengajar dari Departemen Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo sebagai asisten profesor. He became an associate professor there in 1987. Ia menjadi profesor di sana pada tahun 1987.

Pada tahun 1993, ia divonis murtad oleh para ulama Islam khususnya Al-Azhar dan menikah dengan Yunis yang secara resmi pernikahannya itu dibatalkan oleh pengadilan keluarga Mesir dengan alasan bahwa seorang wanita Muslim tidak bisa menikah dengan orang yang sesat dan murtad. Di antara karya Abu Zaid yang dianggap terbaik oleh kalangan pemujanya berjudul “The Founding of Medieval Ideology and A Critique of Religious Discourse” (Pendirian Ideologi Abad Pertengahan dan Kritik Wacana Keagamaan.)

B. Al-Qur’an Dalam Pandangan Nashr hamid Abu Zayd
Teori interpretasi menurut Nash Hamid harus terbangun dan sesuai dengan konsep Alqur’an itu sendiri. Itulah mengapa proposisi hubungan antara teks (nash) dan interpretasi (takwil) menurutnya tidak bisa dipisahkan. Sehingga penggunaan teori tersebut merupakan suatu keniscayaan, karena sesuai dengan hakekat dari keberadaan nash tersebut. Berikut beberapa anasir untuk memahami pandangan Abu Zayd tentang Alqur’an yang telah melahirkan teori tafsirnya, antara lain :


  1. Al-Qur’an Sebagai Teks
Nashr Hamid tidak mendifinisikan secara eksplisit yang dimaksud dengan teks dalam bukunya Mafhum al-Nash (Konsep Teks).[7] Hanya saja dalam bukunya tersebut, Nashr hamid mengungkapkan perbedaan antara nash (teks) dan mushhaf (buku). Menurutnya, nash (teks) berarti makna (dalalah) dan memerlukan pemahaman, penjelasan, dan interpretasi. Sedangkan mushhaf (buku) tidaklah demikian, karena ia mentransformasikan menjadi ‘sesuatu’ (say’), baik suatu karya estetik (tastakhdimu li al-zinah), atau alat untuk mendapatkan berkah Tuhan.[8]

Nashr Hamid dalam hal ini mengambil distingsi Roland Barthes tentang ‘teks’ dan ‘karya’ (work) dengan mengubah sedikit interpretasi dan istilahnya. Menurut Barrthes, karya (work) adalah sebuah obyek yang sudah selesai, sesuatu yang dapat dihitung (computable), yang menempati suatu ruang fisik. Sedangkan teks adalah sebuah ranah metodelogis (methodological field). “Karya dipegang dalam tangan, teks dipegang dalam bahasa” (The work is held in hand, the text in language).[9] Artinya, teks yang diungkapkan oleh Barthes adalah teks atau karya yang dimaksudkan di atas, adalah teks-teks serta karya-karya sastra sebagaimana buatan manusia.

Pengembangan teori tentang teks, oleh Nashr Hamid, dikaitkan dengan bahasa dan budaya, yaitu dengan menghilangkan ‘dimensi ilahiyah teks’ dari kajian. Sehingga sebagaimana teks-teks yang lain, kajian terhadap Al-Qur’an yang sudah merupakan teks manusiawi dengan menggunakan analisa wacana (discourse analysis) dan semiotika adalah suatu hal yang niscaya. Dalam analisis wacana, teks didefinisikan sebagai system tanda linguistik yang memproduksi makna, sementara dalam semiotik, teks mencakup segala macam sistem tanda yang memproduksi makna, seperti simbol, patung, iklan, karikatur, dan film. Oleh karena itu, analisis wacana adalah bagian dari semiotik yang mengkaji tanda-tanda linguistik.[10] Selanjutnya dalam analisis wacananya, Nash Hamid membagi teks menjadi dua tipe, yaitu teks primer dan sekunder. Adapun yang dimaksud dengan teks primer adalah Alqur’an, sedangkan sekunder adalah sunnah dan pendapat-pendapat sahahabat dan para ulama.

Untuk memuluskan konsep teksnya, Nashr Hamid mendekonstruksi proses pewahyuan dan konsep Alqur’an kepada nabi Muhammad saw melalui dua tahapan. Pertama adalah adalah tahap tanzil yaitu proses turunnya teks Alqur’an dari Allah swt kepada malakiat Jibril, teks masih berupa teks non bahasa.[11] Konsep “menurunkan atau tanzil” disini dipahami sebagai “menurunkan” kepada manusia melalui dua perantara; pertama, malaikat, dan yang kedua adalah Muhammad yang berbentuk manusia.[12] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ayat-ayat Alqur’an dalam tahap ini masih berupa makna saja. Kedua adalah, proses takwil yaitu proses dimana Nabi Muhammad saw menyampaikan teks Alqur’an dengan bahasanya yaitu bahasa Arab. Dalam proses ini, nash Alqur’an berubah dari teks Illahi kepada teks Insani atau dari tanzil menjadi takwil.[13]

Menurut Nashr Hamid, penekanan yang terlalu berlebihan pada dimensi Ilahi (divine dimension) menjadikan pemikiran Islam menjadi stagnan.[14] Dia menyatakan : “Bagaimanapun, kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri dan menjadi manusiawi karena Tuhan ingin berkomunikasi dengan manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti. (The Word of God needed to adapt itself become human because God wanted to communicate to human beings. If God spoke God-language, human beings would understand nothing).[15]


Allah swt Jibril Muhammad Umat


Tanzil Takwil

Nashr Hamid mengungkapkan bahwa teks ketika turun kepada nabi Muhammad saw berupa makna, karena problema bahasa. Sebagaimana diungkapkannya “Wahyu adalah bentuk komunikasi antara Tuhan dan manusia. Tapi dalam komunikasi ini, Tuhan berada dalam sebuah kategori dan manusia dikategori yang lain. Tuhan adalah kekuatan supranatural, sedangkan manusia makhluk duniawi. Bahasa apa yang dipakai dan dengan saluran (chanel) apa?.[16] Dengan kata lain Nashr Hamid mengungkapkan bahwa karena manusia dan Allah berada pada dimensi yang berbeda, maka dengan sendirinya masing-masing mempunyai sistem bahasa yang berbeda. Dengan demikian Jibril menerima makna dari Allah yang nantinya akan dibahasa yang digunakan oleh nabi Muhammad.

Menurut Nashr Hamid menginterpretasikan pesan dengan bahasanya, nabi Muhammad telah dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, budaya setempat ketika itu. Karena beliau adalah produk dari masyarakat dimana beliau tinggal. Beliau tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak yatim, didik dalam suku Bani sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui.[17] Sehingga dalam pandangannya al-Qur’an merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus dieksprsikan dalam batas kemampuan linguistik beliau yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya setempat.

Dengan definsi tersebut diatas, Nashr Hamid memandang bahwa nabi Muhammad saw sebagai seorang ummy, bukanlah penerima pasif wahyu, tetapi juga mengolah reaksi al-Qur’an sesuai dengan kondisinya sebagai manusia biasa. Konsep yang menyatakan bahwa teks al-Qur’an sebagai spirit wahyu dari Tuhan identik dengan konep teks bible, bahwa “The Whole Bible is given by inspiration of God”.[18]
Selanjutnya dalam bukunya Mafhum al-Nass, Nashr Hamid menyatakan bahwa al-Qur’an adalah teks linguistik (nash lughawiy). Diakuinya bahwa memperlakukan Al-Qur’an sebagai sebuah teks bukanlan idenya sendiri, tetapi sudah diungkapkan terlebih dahulu oleh Amin Al-kulli yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah “kitab agung berbahasa Arab”.[19]

وإذا كنا لا نستيع أن نتجاهل هذا التراث و نسقطه من حسبنا ، فإننا بنفس القدر لا نستطيع أن نتقبله كما هو ، بل علينا أن نعيد سياغاته فنتره عنه ما هو غير ملائم لعصرنا ونعقد فيه الجوانب الإجابية و نجددها و نصوغها بلغة مناسبة لعصرنا
(Kita tidak mungkin mengabaikan warisan budaya dan tidak mungkin menghilangkannya dari pertimbangan kita, oleh karena itu kita dengan kadar yang sama tidak dapat menerimanya begitu saja, tetapi kita harus merumuskan kembali dan membuang apa yag tidak sesuai dengan masa kita. Dan di sini kita enegaskan aspek-aspek positifnya, memperbahuruinya, dan merumuskannya dengan bahasa yang sesuai dengan masa kita).[20]

Amin al-Kulli sendiri adalah seorang pemikir Muslim pertama yang mengaplikasikan metode pendekatan sastra dalam pengkajian al-Qur’an.[21] Al-Kulli dalam bukunya Manahij Tajdid fi al-Nahwu wa al-Balagha wa al-Tafsir wa al-Adab menyatakan, sebelum melakukan penafsiran, seorang mufasir harus mempunyai anggapan bahwa al-Qur’an adalah kitab agung berbahasa Arab dan pengaruhnya sangat besar terhadap sastra (kitab al’arabiyya al-akbar wa atharuha al-adabi al-a’zam).[22]

Metode kritik sastra yang diterapkan Nashr Hamid merupakan bagian dari teori-teori hermeneutika, yang dikenalnya ketika berada di Universitas Pennsylvania Philadelphia.[23] Hal ini diakuinya dengan mengatakan “ I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brandnew word for me”.[24] Artinya kurang lebih adalah (saya banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu untuk menafsirkan teks-teks, yang telah membuka cakrawala dunia bagiku). Setelah akrab dengan literature hermeneutika Barat, Nashr hamid kemudian membahas mengeni hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, yang sudah membuka cakrawala dunia baru bagiku. Setelah akrab dengan literatur hermeneutika Barat, Nashr Hamid kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeneutika.[25]

2. Al-Qur’an sebagai Produk Budaya
Disamping sebagai teks sastra, Nashr Hamid juga menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (muntaj tsaqofi). Hal ini karena al-Qur’an terbentuk atas realitas sosial dan budaya selama dua puluh tahun, proses kemunculan dan interaksinya dengan realitas budaya selama dua puluh tahun tersebut adalah merupakan fase “keterbentukan” (marhalah al-takawwun wa a-tasyakul). Fase berikutnya adalah fase “pembentukan” (marhlah al-takin wa al-tasyakul), dimana al-Qur’an selanutnya membentuk suatu budaya baru, sehingga al-Qur’an dengan sendirinya juga menjadi “produsen budaya” (muntij al-tsaqofi). Nash Hamid beralasan bahwa ketika Allah mewahyukan al-Qur’an kepada nabi Muhammad dengan memilih bahasa manusia sebagai kode dari wahyu tersebut.

Pemilihan sistem bahasa dikaitkan dengan sarana sistem sosial yang paling penting dalam menangkap dan menyusun dunia (tajassad). Atas dasar ini, tidaklah mungkin untuk berbicara bahasa terpisah dari budaya dan relitas, sebagaimana teks yang tidak bisa dipisahkan dengan budaya dan realitas juga.[26] Kedua fase tersebut bisa dijelaskan dengan skema sebagai berikut :

Fase “Keterbentukan”





Budaya Teks Budaya






Fase “Pembentukan”

Pada fase pertama yaitu fase keterbentukan, budaya adalah sebagai subyek, sementara teks adalah obyek (teks sebagai muntaj tsaqofi). Sedangkan pada fase selanjutnya, teks menjadi subyek yang membentuk obyek, yaitu budaya baru (teks sebagai muntij al-thaqofi).[27]Dan akhirnya karena realitas budaya tidak bisa dipisahkan dengan bahasa maka dengan sendirinya al-Qur’an merupakan teks bahasa (nash lughawi).[28]

Dari pandangan adanya hubungan dialektis antara teks al-Qur’an dan relitas budaya tersebut, Nashr Hamid menyimpulkan bahwa dalam penggunaan metode linguistik, juga diperlukan penggunaan metode kritik sejarah (historical criticism) dalam menginterpretasikan al-Qur’an. Dalam arti, pendekatan kajian al-Qur’an berpijak dari kesadaran epistimologi akan keterkaitannya yang bersifat dialektis dengan realitas sosial budayanya. Metode kajian ini implikasi teoritisnya sangat berbeda dengan metode teosentris seperti yang dipahami oleh ulama kebanyakan. Sehingga menurut Nashr Hamid, penafsiran al-Qur’an bisa lebih obyektif, tidak a-historis dan bebas dari bias ideology atau kepentingan tertentu.[29]

Pada saat yang sama, Nash Hamid mengatakan bahwa al-Qur’an juga merupakan teks manusia (nass insani) karena teks sejak awal diturunkan yaitu ketika teks diwayuhkan dan dibaca oleh Nabi Muhammad sa ia berubah dari sebuah teks Ilahi (Nash Ilahi) karenanya dia berubah dari tanzil menjadi takwil. Seperti yang diungkapkan dalam bukunya “Naqd al-Khitab al-Dini” :

إن القرآن – محوار حديثنا حتى الآن – نص ديني ثابت من حيث منطوقه، لكنه من حيث يتعرض له العقل الإنساني ويصبح “مفهوما” يفقد صفة الثابت ، إنه يتحرك يتعدد دلالته. إن الثابت من صفة المطلق والمقدس ، أم الإنساني نسبي متغير. والقرآن نص مقدس من ناحية منطوقة، لكنه يصبح مفهوما بالنسبي والمتغير ، أي من جهة الإنسان ويتحول إلى نص إنساني “يتأنس”. ومن الضروري هنا أن نؤكد أن حالة االنص الخام المقدس حالة ميتافيزقية لا ندري عنها شيأ إلا ماذكره النص عنها والفقهه بالضرورة من زاوية الإنسان المتغير والنسبي. النص منذ لحظة نزوله الأولى – أي مع قرائة النبي له لحظة الوحي – تحول من كونه (نص إلاهيا) و صار فهما (نص إنسانيا). لأنه تحول من التنزيله إلي التأويل.[30]
(Sesungguhnya al-Qur’an yang menjadi poros pembicaraan kita sampai saat ini, adalah teks keagamaan yang tetap (thabit, fixed) dari sisi lafadnya, namun dari sisi saat berinteraksi dengan akal manusia dan menjadi sebuah konsep, maka hilanglah sifat ketetapannya. Kemudian teks yang tetap itu bergeser menjadi makna ragam. Karena sesungguhnya sifat yang tetap itu adalah bagian sifat absolut yang sacral. Namun secara manusiawi, dia adalah relative dan berubah. Maka al-Qur’an adalah teks sacral lafadznya, tetapi kemudian dia menjadi konsep yang relative dan berkembang, yaitu dari sisi pandangan manusia dan bergeser menjadi teks manusiawi, berinkarnasi (yata’anasu). Jadi patut kita tekankan bahwa kedudukan teks yang mentah dan sakaral adalah bentuk manifistasisnya yang tidak kita ketahui sedikitpun tentangnya, melainkan yang disebutkan oleh teks itu sendiri dan kita fahaminya secara urgensi dari sudut pandang manusia yag berubah dan relative, teks sejak waktu turunnya atau bersamaan dengan pembacanya, dengan pembacaannya oleh Nabi saat turunnya telah bergeser kedudukannya dari Tek’s Tuhann, menjadi sebuah pemahaman (teks manusia). Hal ini disebabkan al-Qur’an telh brgeser dari wahyu (tanzil) menjadi interpretasi (ta’wil)).

Firman Tuhan yang berupaa sifat-sifat tindakan Tuhan, merupakan fenomen sejarah. Sebab, semua tindakan Tuhan adalah tindakan di dunia yang tercipta dan hadits, dengan kata lain, bersifat historis. Demikian pula al-Qur’an merupakan fenomena sejarah dari segi bahwa ia merupakan salah satu manifestasi firman Tuhan, hanya saja al-Qur’an merupakan manifestasi yang paling komprehensif, karena ia paling akhir.[31] Oleh sebab itu, menurutnya, al-Qur’an adalah teks historis (a historical text). Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah teks manusiawi (nash insani).
Dengan segala kreteria al-Qur’an yang diyakininya, Nashr Hamid menegaskan, bahwa teks-teks keagamaan adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks lainnya di dalam budaya. Sebagaimana diungkapkannya :

أن النصوص الدينية نصوص لغوية شأنها شأن أية نصوص الأخري في الثقافة.[32]

Dari sini terlihat betapa pemikiran Nashr Hamid terpengaruh oleh Schleirmacher, yang dikenal sebagai bapak hermeneutika modern, yang berpendpat bahwa penafsiran kitab suci tidaklah membutuhkan metode khusus karean jika dibutuhkan metode khusus maka hanya sebagia orang saja yang bisa memahaminya.[33] Dengan menyamakan al-Qur’an dengan teks-teks lainnya, maka dengan sendirinya membebaskan siapa saja boleh menafsirkan al-Qur’an sebagaimana ditegaskannya “saya mengkaji al-Qur’an sebagai teks berbhasa Arab agar dikaji oleh kaum Muslimin, Kristen maupun Atheis”.[34] Dengan demikain dalam pandangan Nashr Hamid, titik berangkat penafsiran al-Qur’an tidaklah berpijak dari keimanan tapi lebih kepada kesusastraan saja.

3. Problem Humanitas Teks
Prinsip dasar interpretasi, bagi Nashr Hamid adalah, “al-Qur’an tidaklah dimaksudkkan untuk menjawab semua problem manusia”. Al-Quran tidak mengandung segalanya. Bayak hal yang harus diperoleh dari luar al-Quran. Menurutnya, jika interpretasi al-Qur’an selalu utuk mengaktualisasikan segala macam kebutuhan dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, maka interpretasi akan dengan mudah dimanipulasi. Sehingga interpretasi akan menjadi upaya pembenaran atas suatu opini atau posisi tertentu. Mengenai adanya ayat al-Qur’an yang menyatakan :

وَنَزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ
“… dan Kami turunkan al-Qur’an sebagai penjelasan atas segala sesuatu dan petunjuk, rahmat serta berita gembira bagi orang-orang Muslimin.”[35]

Dan ayat :
مَا فَرَطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْء
“… tidaklah kami alpakan sesuatupun dari kitab ini…”[36]

Dalam menginterpretasikan ayat-ayat ini Nashr Hamid mengatakan, bahwa “ segala sesuatu” dalam ayat-ayat ini berarti “(segala) sesuatu dalam kerangka agama”, karena al-Qur’an adalah kitab agama, bukan buku filsfat, sains atau teknik”.[37]

Implikasi paling nyata dari kerangka yag diletakkan Nashr Hamid ketika merealisasikan teks dengan bahasa, budaya dan sejarah tersebut adalah termanusiawikannya al-Qur’an sebagaiman teks kebahasaan umumnya. Dengan istilahnya lain, al-Qur’an telah menjadi sebuah produk budaya (cultural product) yang berada dalam genggaman manusia (textus receptus), serta terbuka terhadap kerja-kerja penafsiran. Proposisi ini tidak lantas berarti Nashr Hamid menafikkan keyakinan bahwa Allah sebagia sumber ide ontologism al-Qur’an. Dasarnya antara lain dapat ditemukan ktika ia memetakan pengertiannya Kalam dan Lughah.

Dalam konstruk pemikirannya, terdapat distansi (jarak) ontologism antara realitas Tuhan yang supranatural dan manusia yag natural. Pda saat Kalam Allah, sebagai sesuatu integral dengan dzat ketuhananNya, terfirmankan melalui perantaraan malaikat Jibril, kepaada Muhammad dengan medium komunikasi lughah (bahasa Arab), maka pada detik yang sama, sesungguhnya wahyu tersebut telah tersejarahkan oleh intervensi budaya yang ada.[38] Suara Tuhan yang Illahi terkonversikan sudah menjadi simbol-simbol kosa kata bahasa Arab yang manusiawi, produk dari konvensi suatu budaya masyarakat tertentu di priode zaman yang tertentu pula. Ide tuhan yang absolut kini telah menjelma kedalam bentuk teks kebahasaan manusia yang relatif.

Dengan demikian, bagi Abu Zayd, al-Qur’an sepatutnyalah dilihat sebagai teks yang berkarakter kutural
sehingga terbuka terhadap pemahaman dan interpretasi yang bersifat histories.[39] Dengan demikian sudah tidak ada sakralitas pada al-Qur’an karena al-Qur’an tidaklah lebih dari teks-teks sastra biasa. Al-Qur’an adalah teks bahasa Arab yang muncul dalam konteks sejarah melalui diaolog intensif dalam setiap peristiwa sejarahnya.

Abu Zayd tampak menghindari diskusi mengenai dimensi Tuhan dalam studi al-Qur’an, Karena menurutnya hal itu berada di luar investigasi ilmiah (scientific investigation), atau termasuk kategori mythological insight. Pada konteks ini, dengan menunjuk sebuah teori sastra, ia mengemukakannya sebagai kematian sang pengarang (the death of the author).[40] Tatkala teks lahir, sesungguhnya ia telah lepas dari penulisnya, zamannya, dan juga realitas yag memproduksinya. Teks menjadi otonom dan dapat diakses oleh aktivitas nalar di luar pengarangya sendiri.[41] Dan jika al-Qur’an yang dimaksudkan di sini, maka maksud al-muallinya Abu Zayd tidak lain adalah “kematian” Tuhan dalam proses pemahaman dan penafsiran teks.

4. Problem Tekstulaitas Al-Qur’an
Nashr Hamid berusaha untuk membuktikan bahwa al-Qur’an adalah teks yang menyejarah, hal ini menurutnya diindikasikan oleh karekteristik al-Qur’an itu sendiri. Pertama, al-Qur’an memuat pesan-pesan ajaran Allah untuk manusia yag diwujudkan dalam sebuah teks berbahasa Arab yang dirutunkan (wahyu) kepada utusanNya, Muhammad saw, dengan cara diwahyukan, dari balik tabir dan diutus satu utusan. Dari sini Nashr Hamid membuat konfigurasi tentang proses turunnya ahyu dari Allah ke malaikat, kemudian dari malaikat ke Rasul engan saling bertemu, denngan menggunakan alat komunikasi berupa bahasa arab. Karena wahyu secara semantic sejajar dengann perkataan Tuhan (kalam Allah) dalam al-Qur’an dan karena al-Qur’an juga merupakan sebuah pesan, maka tidak berarti salah apabila masyarakat Muslim mengaitkan al-Qur’an sebagai sebuah teks.[42]

Jika diperhatikan lebih jauh, penyimpulan diatas terlihat lebih jelas ketika Nashr Hamid menegaskan bahwa istilah wahyu (wahyu, revalation) dan risalah (pesan, message) sebagai pusat penandaan al-Qur’an, khususnya dalam usahanya untuk mendefinisikan al-Qur’an sebagai sebuah teks.[43] Ia memandang bahwa teks merupakan hasil pewahyuan yang merupakan bentuk komunikasi.[44] Selanjutnya Nashr Hamid membagi element komunikasi tersebut menjadi enam elemen, yaitu risalah (pesan), Mukhatib/Mursil (pengirim), Mukhatab/Mustaqbil (penerima), ‘alaqat ittishal (jenis hubungan), shifra/nizam lughawi (kode) dan waqi’ wa thaqafah (kontek).[45] Pengaruh Roman Jakobson’s (1896-1982) dalam pembagian elemen tersebut tampak jelas walaupun dengan istilah yang berbeda, yaitu addresser, addresse, message, contxt, code, dan contact.[46]


C. Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd
Menurut Nashr Hamid, pembacaan teks-teks kegamaan (al-Qur’an dan haits) hingga saat ini msih belum menghasilkann interpretasi yang bersifat ilmiah objektif (‘ilmi-madlu’i)[47], bahkan terpasung dengan pewarnaan (talwin) unsure-unsur mistik (usthurah), khurafat dan interpretasi literal yang mengatasnamakan agama. Penyimpulan Nashr Hamid ini didasarkan pada pengamatanya terhadap fenomena dan gerakan perkembangan keagamaan. Oleh Karena itu, dalam meujudkan interpretasi yag hidup dan saintifik terhadap teks-teks keagamaan, Nashr Hamid menaarkan interpretasi rasional dan menekankan pentingnya kesdaran ilmiah dalam berinteraksi dengan teks-teks keagamaan. Hal ini dilakukan untuk membersihkan teks keagamaan dari unsure-usur yang berbau mistik, khurafat, dan bercorak interpretasi literal yang digemoni oleh aspek ideologis.[48]

Dengan pendekatan ini, Nashr Hamid berusaha mewujudkan sebuah proyek penyelidikan (al-masyru’ al-istiksyafi). Keterpasungan interpretasi yag tidak sejalan dengan tabiat dan sifat dasar teks, sehingga makna yang dihasikannya tidak melalui mekanisme sebuah penafsiran. Baginya corak interpretasi ini lebih menonjolkan unsur ideologi dari pada unsur keilmiahan dan biasanya dimonopoli oleh kalangan fundamentalis yang mengabaikan indikasi peranan penguasa baik dalam isu-isu keadilan sosial, independensi ekonomi maupun politik. Kalangan pemsung interpretasi ini menurut Nashr Hamid, senantiasa beranggapan bahwa Islam adalah satu-satuya solusi (al-Islam Huwa al-hall) dan menganggapnya sebagai komponen substantif orisinil (mukawin Jawhari ashil) dalam pembentukan umat.

Slogan seperti ini dipandang Nashr Hamid sebagai ‘problem’ pembacaan teks-teks keagamaan yang paling tidak ilmiah dan objektif hingga saat ini.[49] Tidak mengherankan bila kemudian Abu Zayd menyayangkan peran ulama abad ke-4 dan ke-5 H yang telah membuat kreteria maqbul-mazhum (diterima-tercela) dibidang penafsiran. Menurutnya, criteria tersebut hanyalah akal-akalan ulama ahlisunnah. Interpretasi rasional yang dimaksud Nashr Hamid adalah corak pendekatan interpretasi yang dilakukan oleh golongan pencerah (tanwiriyyun) atau biasa disebut sebagai golongan sekuler. Sebab pada intinya sekularisme, bagi Nashr Hamid, tidak lain hanyalah ajaran tentang “interpretasi realistis dan pemahaman yang ilmiah terhadap agama” (al-ta’wil al-haqiqi wa l-fahm al-‘ilmi li l-din). Dengan demikian Abu Zayd menolak tegas tuduhan pra fundamentalis Islam yang memandang golongan sekuler sebagai atheis (mulhid) yang memisahkan agama dari masyarakat dan kehidupan.[50]

Interpretasi teks-teks keagamaan, menurutnya adalah bagian dari pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan hanya tunduk pada hukum yang mengatur gerak pemikiran manusia dan tidak berasumsi bahwa agama adalah sakral dan mutlak. Oleh karena itu, Nashr Hamid melakukan pemisahan antara ‘agama’ dan pemikiran ‘pemikiran keagamaan’. Agama dimaknai sebagai kumpulan teks-teks suci yang tetap secara historis. Sedangkan pemikiran keagamaan adalah usaha ijtihad pemikiran manusiawi untuk memahami teks-teks agama, menginterpretasikannya dan menemukan maknanya yang terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan menurut ruang lingkupnya. (al-din huwa majmu’atu l-nushush al-muqadasah al-tssabitah tarikhiyyan. Fi hini anna l-fikra dini huwa ijtihadat al-bashariyyah li fahmi tilka l-nushush wa ta’iluha wa istikhraj dalalatih).[51]

Interpretasi rasional terhadap teks-teks agama, bagi Nashr Hamid dapat direalisasikan dengan ‘supremasi data empiris’, yaitu dengan cara menumbuhkan kesadaran historis ilmiah terhadap teks-teks keagamaan. Pengertian kata kesadaran (wa’y) di sini adalah segala aktivitas yang terus berkembang dan tidak mengenal bentuk kemapanan (formalisasi).[52] Sedangkan maksud menumbuhkan kesadaran historis ilmiah terhadap teks agama (al-Qur’an) yaitu dilakukan dengan pendekatan linguistik. Pendekatan linguistik versi Nashr Hamid tidak menempatkan peranan pencipta teks (Allah SWT)[53] dalam menafsirkan teks, tapi peranan tersebut secara mutlak diserahkan pada pembaca teks (manusia), dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya. Corak penafsiran teks Nashr Hamid lebih ditekankan paa superioritas data empiris dan menjadikannya sebagai landasan pokok berbudaya dan beragama.[54] Dengan demikian, interpretasi dn makna teks tidak pernah bepenghujung, bahkan ia senantiasa berkembang seiring dengaan berkembangnya realitas. Sebab teks berasal dari realitas, sehingga makna teks pun dengan sendirinya harus mengikuti perubahan realitas.

Dengan menggunkan prinsip ini, maka makna teks al-Qur’an pun tidak pernah sampai pada makna final. Sebab menurut Nashr Hamid yang bersifat final dan tetap hanyalah Allah. Inilah sejatinya paham realisme (al-waqi’iyyah) yang memandang bahwa realitas lahiriyah (material) dapat menggambarkan wujud hakiki, tanpa memerlukan pengetahuan akal.[55] Dengan menyelami realitas disekitar teks, maka Nashr Hamid mempromosikan mekanismenya dalam memaknai sebuah teks. Yaitu teks ditinjau dari latar belakang kondisi historisnya yang didukung oleh analisa linguistik. Inilah hakekat ‘proyek penyelidikan ilmiah’ versi Nashr Hamid. Sebab teks-teks agama bukanlah solusi akhir melainkan sekedar kumpulan teks-teks linguistik, yang berarti bahwa teks-teks tersebut bersandr pada kerangka kebudayaan terbatas, yang sempurna pembuatannya (diproduksi) sesuai dengan aturan legal kebudayaan tersebut dan memposisikan bahasa sebagai system pemaknaannya yang sentral.[56]

Dalam pendapatnya bahwa al-Qur’an sebagai teks manusiawi, kebenaran al-Qur’an tidak lagi dinyatakan mutlak, sebaliknya dianggap telah bergeser dari makna yang relatif. Maka bagi kaum Islam Liberal, hermeneutika dipandang perlu sebagai perangkat interpretasi keagamaan. Pendapat Nashr Haid ini diperkuat oleh muridnya Moch Nurikhwan dengan mengatakan bahwa hermeneutika dimaknai sebagai teori dan metode yang memfokuskan dirinya pada problem pemahaman teks. Dikataan problem, mengingat sejak diwahyukan, al-Quraan dirasakan sulit untuk dipahami dan dijelaskan. Problem itu rumit manakala Rasulullah wafat, sehingga tidak ada lagi otoritas tunggal yag menggantikannya. Oleh karena itu, penggunaan hermeneutika dalam studi al-Qur’an tidak bisa diabaikan lagi. Bahkan saat ini hermeneutika al-Qur’an dinyatakan telah menjelma menjadi kajian interdisiplin yang memerlukan penerapan ilmu-ilmu dan humanitas.

Nashr Hamid memandang al-Qur’an secaara dikhotomis yang memiliki dua dimensi: dimensi historis (nisbi, relative dan berubah) dan dimensi ketuhanan (mutlak dan tetap), lalu Nashr Hamid mempertanyakan “apakah setiap yang termaktub dalam al-Qur’an adalah firman Allah yang harus diaplikasikan?” pertanyaan ini dijawabnya dengan manganalogikan pada bible dalam pandangan Kristen, “according to christian doctrine, not everything that jesus said was said as the son of god. sometimes jesus behaved just as  man”.[57]


Akhiru-l kalam
Al-Qur’an kitab pegangan hidup umat Islam yang kita aminin bersama, dalam pemikiran Nashr Hamid merupakan kitab suci yang tidak lagi agung dalam artian kitab yang sakral. Hal ini dibuktikannya dengan memberikan pernyataan, bahwa apabila pernyataan al-Qur’an sebagai kitab suci tetap dipertahankan maka akan menghalangi pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Menurutnya, para ulama tradisional yang memberikan batasan penafsiran al-Qur’an, menjadikan penafsiran-penafsiran al-Qur’an yang mengandung kepentingan-kepentingan atau sebuah ideologi tertentu.

Oleh karenanya, sebuah keniscayan guna membongkar bangunan lama yang telah mengakar tersebut dengan menghadirkan metodelogi kritik bahasa dan sastra. Sehingga al-Qur’an yang kita percaya sebagai teks murni dari Tuhan, dapat ditafsirkan menurut pembacanya tanpa harus adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsirannya. Dan ia menyatakan, sebelum menafsirkan al-Qur’an, hendaknya kita memaknainya sebagai kitab agung berbahasa Arab.

Berawal dari makalah sederhana ini, penulis mengajak para pembaca untuk lebih dalam mempelajari lebih pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd. Dan dapat memberikan kritikan-kritikan yang membangun dalam setiap pendapatnya. Semoga makalah ini dapat memberikan inspirasi tersendiri buat pembaca, kekurangan dalam penulisan merupakan suatu keterbatasan dari penulis. Wallahu ‘alam bishowab.

Daftar Pustaka

Abu Zayd, Nashr Hamid, Naqd al-Khitab al-Dini, Kairo: Sina li al-Nashr, 1992, edisi 1
Abu Zayd, Nashr Hamid dan Nelson Esther R., Voice of an Exile: Reflection on Islaam: Westport, Connecticut, London, 2004
Abu Zayd, Nashr Hamid, al-Imam al Syafi’il wa Ta’sis al-Aidiulujiyyah al-Wasatiyyah, Matabah madbuli, Kairo, 2003
Abu Zayd, Nashr Hamid,  Al-Nash, al-Sulthah, al-haqiqah
Abu Zayd, Nashr Hamid, al-Qur’an Hermeneutika dan Kekuasaan, RQiS, Bandung, cetakan 1, 2003
Abu Zayd, Nashr Hamid, Mafhum al-Nass: Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, Markaz al-Shaqafi al-‘arabi, Beirut
Al-Kulli, Amin, Manahij Tajdid fi al-Nahwu wa al-Balagha wa al-Tafsir wa al-Adab, al-Hay’a al-Misriyya al-‘Amma li-al-Kitab, Kairo, cetakan I, 1995
Al-Qur’an al-Karim
Armas, Adnin, Metodelogi Bible dalam Studi Al-Qur’an Kjian Kritis, Gema Insani, Jakarta, Cetakan ketiga, 2007
Husaini, Adian dan Salahuddin Henri, Studi Komparatif: Konsep Al-Qur’an Nashr hamid dan Mu’tazilah, majalah Islamia, Th 1 No. 2/Juni-Agustus 2004.
Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd, Teraju, Jakarta, cet.pertama, 2003
Majalah Gatra, Nomor 44 beredar 44 Jum’at 10 September 2004
Rahman, Yusuf, The Hermeneutical Theory of Nashr Hamid Abu Zayd : An Analytical Study of His Method of Interpreting the Qu’an, A Thesis of the degree of  Doktor of Philosophy, Institute of Islamic Studies McGill University Montreal, Canada, 2001
www.wikipedia.org/…/wiki/nashr/_Abu_Zayd


[1] Nashr Hamid, Mafhum al-Nass: Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, Markaz al-Shaqafi al-‘arabi, Beirut, p. 12-13
[2] Ibid, p. 10
[3] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd, Teraju, Jakarta, cet.pertama, 2003, p. 42
[4] Ibid, p. 71
[5] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 26
[6] www.wikipedia.org/…/wiki/nashr/_Abu_Zayd
[7] Moch. Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, p. 65
[8] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 15
[9] Moch. Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, p. 65
[10] Ibid, p. 68
[11] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 56-57
[12] Ibid, p. 69
[13] Nash Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini, Kairo: Sina li al-Nashr, 1992, edisi 1
[14] Nash Hamid Abu Zayd dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflection on Islam (London: Westport, Connecticut, 2004), p. 96
[15] Ibid, p. 97
[16] Wawancara, Gatra, Nomor 44 beredar 44 Jum’at 10 September 2004
[17] Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-nass…, p. 59, 65
[18] Adian Husaini dan Henri Salahuddin, Studi Komparatif: Konsep Al-Qur’an Nashr hamid dan Mu’tazilah, majalah Islamia, Th 1 No. 2/Juni-Agustus 2004.
[19] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 10, 19
[20] Ibid,, p. 16
[21] Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nashr Hamid Abu Zayd : An Analytical Study of His Method of Interpreting the Qu’an, A Thesis of the degree of  Doktor of Philosophy, Institute of Islamic Studies McGill University Montreal, Canada, 2001, p. 48
[22] Amin Al-Kulli, Manahij Tajdid fi al-Nahwu wa al-Balagha wa al-Tafsir wa al-Adab, al-Hay’a al-Misriyya al-‘Amma li-al-Kitab, Kairo, cetakan I, 1995, p. 203-243
[23] Adnin Armas, Metodelogi Bible dalam Studi Al-Qur’an Kjian Kritis, Gema Insani, Jakarta, Cetakan ketiga, 2007, p. 70
[24] Nashr Hamid Abu Zayd an Ester R. Nelson, Voice of fn Exile: Reflection of Islam, (London: Westport, Connecticut, 2004) p. 57
[25] Adnin Armas, Metodelogi Bible dalam Studi Al-Qur’an Kajian Kritis, p. 71
[26] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 24
[27] Moch. Nur Ichwan, A New Horizon in qur’anic Hermeneutic, p. 52
[28] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 10; 18
[29] Ibid, p. 26
[30] Nashr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Dini, Sina li l-Nashr, Kairo, cetakan pertama, p. 93
[31] Nashr Hamid Abu Zaid, Al-Nash, al-Sulthah, al-haqiqah, p. 86-95
[32] Nash Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Dini, p. 197
[33] Adnin Armas, Metodelogi Bible dalam Studi Al-Qur’an Kajian Kritis, p. 73
[34] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritik al-Qur’an : Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zaid, Teraju, Jakarta, cetakan pertama, 2003, p. 66-67
[35] Surat al-Nahl: 89
[36] Surat al-An’am: 38
[37] Moch. Nur Ichwan, A New Horizon in Qu’anic Hermeneutics, p. 96
[38] Nashr Hamid Abu Zayd, al-Nash, al-Shultah, al-Haqiqoh (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al’Arabi, 1995), p. 86-87
[39] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 12
[40] Dalam “The Death of the Author”, Roland Barthes mengemukakan, pengarang seharusnya lepas keddalam teks utuk kemudian menghilang. Jadi, ketika pembaca dating untuk memaknai teks, ia tidak lagi menemukan jejak pengarang. Teks yang lahir menghalangi jarak pandang pembaca ke pengarang. Lihat juga; Moch. Nur Ichwan, A New Horizon in Qu’anic Hermeneutics, p. 50
[41] Nashr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini, p. 142
[42] Nashr Hamid Abu Zayd, al-Qur’an Hermeneutika dan Kekuasaan, RQiS, Bandung, cetakan 1, 2003, p. 91
[43] Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nashr Hamid Abu Zayd ; An Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur’an, A Thesis of the degree of Doktor of Philosophy, Institute Islamic Studies McGill University Montreal, Canada, 2001, p. 122
[44] Nashr Hamid Abu Zayd, mafhum al-Nass, p. 25
[45] Ibid, p. 24, 25
[46] Barbara A. Holdrege, veda and Torrah: Transending the Textuality of Scripture (Albany: State University of New York Press, 1996), p. 418-419, dikutip dalam buku Kritik Studi Al-Qur’an Nashr Hamid, pengarang; Lalu Nurul Bayanil Huda, penerbit, Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), Institut Studi Islam Darussalam Pondok Modern Darussalam Gontor, p. 35
[47] Nashr Hamid Abu Zayd, Naqdu l-Khitab al-Dini, p. 6
[48] Ibid, p. 8
[49] Ibid, p. 6-7
[50] Ibid, p. 9
[51] Ibid, p. 185
[52] Ibid, p. 16
[53] Peranan Pencipta Teks (Allah) dalam penafsiran adalah menafsirkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits yag dikenal dengan khazanah metodelogi tafsir al-qur’an. Metode ini ditolak oleh Nashr Hamid karena menurutnya tidak ilmiah dan tidak rasional.
[54] Nashr Hamid Abu Zayd, Naqdu l-Khitab al-Dini, p. 99
[55] Munir ba’albaki, al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, (Dar al-‘illm li- l-Malayin, Beirut:1995), p. 762
[56] Nashr Hamid Abu Zayd, Naqdu l-Khitab al-Dini, p. 193
[57] Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya, voice of an exile reflection on Islam (Conneticut/London, Praeger:2004), p. 174-175 dikutip oleh Henri Salahuddin, Serangan terhadap Konsep Wahyu dan Tafsir di Zaman Modern

Sumber: http://luznadamai.wordpress.com/2011/01/31/studi-al-qur%E2%80%99an-nashr-hamid-abu-zayd/

Read More..