Isa

ADA yang menyebutnya ”Napoleon”. Ia memang pendek, bulat, berkibar-kibar dalam tiap konfrontasi, tangkas, dan agresif. Kini tak banyak orang yang masih mengingat sosok dan namanya, tapi pada tahun 1950-an, Kiai Haji Isa Anshary, tokoh Partai Masyumi dari Jawa Barat itu, merupakan tonggak tersendiri di Indonesia: orang mengaguminya atau memandangnya dengan cemas. Terutama waku itu, ketika gagasan untuk mendirikan ”negara Islam” dipergulatkan dalam perdebatan politik dan persaingan yang terbuka.
Pada tahun 1955, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum pertama secara nasional. Para sejarawan mencatatnya sebagai ikhtiar besar pertama kita yang berhasil dalam kehidupan demokrasi, sebab tak tercatat kecurangan dan praktis tak terjadi kekerasan selama kompetisi politik itu berlangsung.

api tak berarti api tak mulai merayap dalam sekam kehidupan masyarakat. Retorika bisa begitu berkobar dan percikannya bukannya lekas padam di ruang hampa. Dalam hal ini, ucapan-ucapan Isa Anshary punya efek bakar yang agaknya jauh—yang mungkin kelak ikut membuat suasana eksplosif di Indonesia setelah 1959.

Read More..

Zizou - Zinedine Zidane

JIKA huruf Arab yang mengeja namanya di-Latin-kan dengan lafal Inggris, ia adalah Zayn ad-Dien. Di Indonesia ia akan dipanggil Zainuddin. Konon itu berarti “ornamen iman”.

Orang tuanya datang dari Dusun Taguemoune, di bukit-bukit Aljazair yang jauh. Seperti banyak orang dari wilayah Afrika yang dilecut niat memperbaiki nasib, Smayl Zidane, si ayah, pergi merantau ke Paris. Tapi kemiskinan tetap menggilas, dan ia pindah ke Marseille, di selatan, sebuah kota yang tak teramat jauh dari negeri asal.

Pada pertengahan 1960-an itu, Smayl bekerja sebagai petugas gudang, sering dalam giliran malam. Ia ingat Zainuddin mudah bermimpi buruk bila si bapak tak pulang. Sebab itu pada waktu senggangnya ia penuhkan perhatian bagi anak yang lembut hati yang dipanggilnya Yazid atau “Yaz” itu.

Read More..

Bencana, Demokrasi, Fundamentalisme, Kekerasan, Politik, Tokoh, Tuhan.

Dunia harus hancur, kata mereka. Tuhan menghendaki itu. Telah dinubuatkan perang penghabisan akan pecah, kata mereka. Iblis akan dihadapi dalam Armagedon itu, surga akan terkuak, dan ”Yang Setia dan Yang Benar” akan turun mengendarai seekor kuda putih.

… memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan
nama-Nya ialah: ”Firman Allah”. Dan semua pasukan
yang di surga mengikuti Dia, mereka menunggang
kudapu-tih dan memakai lenan halus yang putih bersih.
Dan da-ri mulut-Nya keluarlah sebilah pedang tajam
yang akan memukul semua bangsa….

Gambaran yang seram itu dikutip dari Wahyu, bagian ter-akhir Alkitab. Saya tak tahu apa hubungannya dengan- zaman ini. Tapi mereka—orang-orang fundamentalis Kristen di Amerika—menganggap itulah ramal yang pasti. Armagedon bukan hanya pasti terjadi, tapi juga, kata mereka, akan meletus di masa kini, di Timur Tengah, sebelum datang ”Yerusalem yang Baru” di mana tak akan ada lagi laknat.

Read More..

Perempuan

Seorang isteri guru ditangkap polisi di Tangerang. Ia berada di jalan di sekitar pukul tujuh malam. Ia harus membuktikan dirinya bukan pelacur. Peraturan Daerah mengharuskan itu. Tuan-tuan yang berkuasa di Tangerang tampaknya berpendapat, tiap perempuan yang berada di luar rumah dalam remang itu perlu dicurigai sebagai “jalang”…

Bisakah Tuan-Tuan itu memperkirakan, kini “kaum perempuan di Tangerang dicengkram ketakutan”?.

Tapi mereka mungkin tak mengacuhkan pernyataan Forum Solidaritas Perempuan Banten, 22 Maret 2006 itu – juga tak membayangkan para ibu yang cemas bila anak mereka pulang terlambat dari kursus di malam hari dan saudara mereka kembali dari pabrik setelah senja.

Mungkin Tuan-Tuan itu akhirnya akan menjawab (dengan dukungan Majelis Ulama): perempuan memang harus tinggal di rumah, “dilindungi”. Tuan-Tuan itu pasti bukan kelas bawah yang perlu dapat tambahan penghasilan dari upah isteri yang jadi pemijat, penunggu kios rokok atau bakul jamu. Lagipula ayat suci bisa dikutip, sebagaimana di Arab Saudi Qur’an dan Hadith dikutip untuk memutuskan: perempuan tak boleh berpakaian lain selain purdah, perempuan tak boleh menyetir mobil, dan tentu saja tak boleh jual jamu…

Perempuan selalu dekat dengan dosa – itulah mungkin pikir Tuan-Tuan di Tangerang, seraya mendengar agama berbicara.

Tentu saja agama yang datang dari Timur Tengah.

Saya tak tahu persis kenapa di sana perempuan selalu ditilik demikian. Mungkinkah karena sebuah pengalaman, yang kemudian jadi paradigma, juga metafor – yaitu dahsyatnya gurun pasir?

Siapa tahu. Sebab ada seorang tua bernama Apa Sisoes. Ia seorang biarawan di Mesir abad ke-4.

…murid Apa Sisoes itu berkata kepadanya, “Bapa, bapa telah tua. Mari kita pindah sedikit ke dekat tanah yang telah dihuni.“ Orang Tua itu menyahut, “Di mana tak ada perempuan, ke tempat itulah kita harus pergi”. Murid itu pun berkata kepadanya, “Tempat apa lagi yang tak ada perempuannnya, kecuali gurun pasir?”. Dan Orang Tua itu berkata, “Bawa aku ke gurun pasir”. Kisah itu diceritakan kembali oleh Peter Brown, gurubesar sejarah di Princeton University, dalam The Body and Society, sebuah paparan penting tentang iman dan seksualitas, ketika perempuan ditampilkan sebagai sumber godaan yang tak habis-habisnya di masa awal agama Kristen — ketika seorang biarawati yang menepuk kaki bapak uskup yang sepuh dan sakit sudah bisa dianggap merangsang untuk bersetubuh. Maka tak mengherankan bila di Mesir masa itu ada seorang rahib yang mencelupkan jubahnya ke bangkai seorang perempuan yang sudah membusuk; ia berharap, bau baseng itu tak akan membuatnya mau berfantasi tentang wanita.

Bahkan ada seorang calon biarawan yang menggendong ibunya yang tua menyeberangi sungai seraya membungkus tangannya dengan kain, sebab ia tak mau bersentuhan dengan kulit ibunya sendiri. “Daging semua perempuan adalah api”.

Perempuan adalah api — daya yang bisa merusak, bagian dari “dunia”, begitulah waktu itu ada petuah agama yang berkata. Wanita harus dijauhi dan dijauhkan. Ia tak termasuk “gurun pasir”.

“Gurun pasir”, bentangan alam yang garang itu, waktu itu punya makna tersendiri. Gurun pasir, dalam catatan Brown, “muncul sebagai tempat yang tak tertandingi dalam heroisme Kristen”. Di sanalah laki-laki bisa hidup keras dan khusyuk melatih diri bebas dari nafsu apapun. Dalam kekhusyukan itu, batas harus tegas antara “gurun pasir” dan “dunia”.

Maka ketika dunia diliputi “dosa”, di gurun itu — terbentang dari tepi Danau Maryût sampai ke arah Iskandariah, terutama di Wadi Natrûn — tinggallah ratusan apotaktikoi, “para penampik” yang tak menghendaki hidup dengan panca indera yang mencicipi nikmat bumi.

Penampikan itu tentu saja akhirnya tak hanya terbatas di gurun pasir, dan juga tak hanya di Mesir. Bahkan sejak abad ke-2, para alim Masehi memandang perempuan sebagai pangkal kematian. Di bawah pengaruh ajaran Tatian, pelbagai kelompok Gereja Kristen Suriah meyakininya.

…dan mereka bilang, Juru Selamat sendiri berkata: “Aku datang untuk membatalkan kerja perempuan”… “Perempuan” di situ ditafsirkan sebagai hasrat seksual, “kerja” diartikan kelahiran dan maut. Demikianlah dengan was-was komunitas Kristen yang terserak sampai ke kaki-kaki bukit
Iran memandang “dunia”: kelahiran, perempuan, kematian. Tapi tak hanya mereka sebenarnya. Juga dari sekitar gurun pasir Timur Tengah, agama Yahudi mengawali rasa was-was itu. Aliran ortodoksnya menggariskan kol isha yang melarang lelaki mendengarkan perempuan menyanyi.

Ada yang hanya mengharamkan mereka menyaksikan pertunjukan nyanyi yang “sugestif”..

Ada yang lebih ketat: mereka melarang lelaki mendengarkan suara perempuan bahkan dalam rekaman. Dan tak cuma itu. Dalam komunitas Yahudi ortodoks zaman modern sekalipun, perempuan tak boleh berbaju tanpa lengan, memakai blouse dengan potongan krah rendah. Celana ketat dilarang. Lutut harus ditutupi. Halacha, syariat Yahudi, mengharuskan perempuan yang sudah menikah menutup rambutnya…

Saya tak tahu, kenapa dari sekitar gurun pasir Tuhan bertitah agar perempuan diperlakukan demikian. Kenapa di Bali, misalnya, tidak? Mungkinkah karena di sini tak berlaku paradigma “gurun pasir”: para pertapa tak mengalami alam yang kosong dan garang, melainkan hutan tropis yang semarak, gua yang dirias pohon dan rumpun, akar dan kembang, bunyi burung dan biru gunung? Dengan kata lain: sebuah “dunia”, di mana yang indrawi tak ditampik, hingga pertapaan bukianlah tempat apotaktikoi? Dalam cerita wayang, di situ malah lahir ksatria Bambang Sumantri dan gadis Shakuntala.yang gemulai.

Apapun sebabnya, di kesunyian hidup brahmana dan resi tak tampak rasa was-was kepada “dunia”, kepada perempuan. Di sana, tafakur adalah bersyukur.

Tapi itu dulu. Siapa tahu kita telah berubah, dan Tuan-Tuan Tangerang lebih suka paradigma baru: “
padang pasir”..
~Majalah Tempo Edisi. 45/XXXIV/02 - 8 Januari 2006

Read More..

Kahyangan - Di surga, tak ada tahun baru. Waktu tak hadir, juga perbuatan

Kahyangan
Di surga, tak ada tahun baru. Waktu tak hadir, juga perbuatan

Dalam tiap adegan kahyangan pada pertunjukan wayang purwa, keabadian digambarkan dengan kalimat ini: ‘Ana padhang dudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi’. Yang ada adalah ‘terang yang bukan terangnya siang’ dan ‘gelap yang bukan gelapnya malam’. Tak ada waktu, tak ada ruang, hanya keluasan yang tanpa tepi — mung alam tumlawung ngalangut datan patepi.

Yang menarik – seperti saya temukan dalam buku yang disusun Anom Sukatno, Janturan lan Pocapan Ringgit Purwo — dalam janturan yang dilantunkan ki dalang, kahyangan adalah keadaan tak ada subyek. Maka tak ada obyek. Yang ada suwung.

Kata ‘suwung’ berbeda dengan ‘kosong’ atau ‘hampa’. ‘Suwung’ sebenarnya bukanlah sebuah defisit. ‘Suwung’ punya wilayahnya sendiri. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ronggowarsito menampilkan sebuah keadaan paradoksal dalam meditasi: ‘suwung sakjatining isi’, suwung namun sesungguhnya berisi.

Maka bila kahyangan digambarkan sebagai ‘suwung’ dan tak ada ‘rasa pribadi,’ yang dimaksudkan bukanlah sebuah gambaran kekurangan. Bahkan sebaliknya. ‘Cipta, rasa dan karsa’ tak ada karena tak dibutuhkan. Keheningan itu total – yang juga berarti kebebasan dari pengaruh perasaan suka dan sedih: datan kaprabawaning rasa bungah lan susah.

Mungkin pengaruh Budhisme ikut membentuk imajinasi para pencipta wayang purwa dalam adegan ‘Alang-Alang Kumitir’: surga adalah sesuatu yang berada di luar wilayah pancaindera, seperti yang dilambangkan dengan stupa di pucuk Borobudur itu — polos, ugahari, tanpa ruang, tanpa celah.

Saya ingat Sanusi Pane. Dalam perjalanannya di India, ia mengagumi Syiwa Nataraja, dewa yang menari dalam lingkaran api. Beginilah dilukiskannya dalam sebuah puisi panjang dalam Madah Kelana:

Natésa berdiri
Di atas buta, kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan Patung Syiwa itu ‘dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperi’, dan di hadapan Natésa itulah Sanusi menemukan satu kearifan, tatkala sesaat seakan-akan didengarnya sebuah suara halus-merdu yang menyeru:

‘Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar…’ Maka tarian Syiwa-Nataraja bagi Sanusi Pane adalah ‘jalan ringkas…mencapai kemerdekaan’. Jiwa akan merdeka jika kita membiarkan diri menari dan ‘membakar segala ikatan buta’ yang kita bikin, jika dalam gerak itu, sang penari tak dijajah oleh hasil, oleh ‘tujuan’. Seperti ketika, dalam sebuah sajaknya yang lain, ia merasa di atas biduk dan merasa hening dan tenteram, dibawa gelombang tanpa kehendak tanpa arah, menyimak getar keabadian di langit dan melenyapkan diri ke dalam alam…

Di sini, tindakan berada di titik nol. ‘Diam, hatiku, jangan bercita’, tulis Sanusi dalam Candi Mendut, ‘Jangan kau lagi mengandung rasa/Mengharap bahagia dunia Maya’.

Maka tindakan jadi ‘laku’: ada di antara posisi yang bukan pasif dan juga bukan aktif. Sajak Syiwa-Nataraja melukiskan dua gerakan untuk mencapai kemerdekaan: yang satu dengan metafora ‘menari’, dan pada saat yang sama juga ‘tinggal samadi’.

Tapi persoalannya tetap: bagaimana laku ini menyiapkan sesuatu yang berarti bagi sejarah. Di dunia, manusia ada dalam keadaan terlempar. Ia tak siap, ia sebuah kekurangan: ikan langsung dapat berenang begitu ke luar dari indung telur, tapi manusia tidak.

Sebab itulah ia merasa terancam terhimpit oleh dunia sekitarnya. Ia pun mencoba mengendalikan alam, termasuk jasmaninya sendiri. Untuk itu ia harus berada di atasnya dan membebaskan diri darinya.

Maka kebudayaan pun terbentuk, dengan produksi dan teknik yang diperbaiki terus menerus. Tapi juga dengan kesengsaraan dan penindasan.

Dan di koloni orang-orang yang tertindas, seperti Indonesia di tahun 1930-an ketika Sanusi Pane menuliskan sajak-sajak yang terkumpul dalam Madah Kelana, tampaknya harus diakui bahwa konflik-lah yang membentuk manusia. Mungkin sebab itu penyair penganut theosofi ini tertumbuk pada ruang buntu. Baru beberapa tahun kemudian ia menemukan sebuah jalan keluar.

Di tahun 1940 ia menulis lakon Manusia Baru, sebuah cerita tentang perjuangan buruh di Madras,
India. Surendranath Dash, aktivis dari Benggali itu datang membantu para buruh tekstil untuk menuntut perbaikan nasib. Di sana ia bertemu dengan anak-anak muda kelas menengah, Sarawaswati Wadia, misalnya. Karena kata-katanya yang menggugah untuk membangun sebuah India yang baru, yang tak lagi bersifat ‘tenang’ tapi ‘bergerak dalam ketenangan’, Dash mengubah pandangan orang-orang itu..

Dalam keadaan tertindas, orang memang tak bisa menjalani laku sang kelana yang hanyut dalam keheningan laut. Ia harus meletakkan diri sebagai subyek. Ia bukan hanya ‘laku’. Ia ‘tindakan’.

Dalam proses itu pula, sang kelana tak lagi menggunakan bahasa ‘pemikiran meditatif’ dan tak pula memakai bahasa ‘pemikiran puitis’ – bentuk-bentuk yang dipujikan Heidegger sebagai alternatif bagi ‘pemikiran kalkulatif.’ Telah ditinggalkannya bahasa yang selaras dengan suara angin di daun-daun. Surendranath Dash tak menulis sajak..

Tapi hidup di tengah dunia yang belum berubah, ‘manusia baru’ hanyalah sekedar model. Lakon Sanusi Pane tak melukiskan liku-liku psikologi yang pelik dan pergulatan jasmani yang pasang surut dalam proses transformasi dari yang ‘lama’ menjadi ‘baru’. Manusia Baru praktis sebuah lakon tanpa tubuh tanpa laku.

Di saat itu Sanusi lupa bahwa hidup adalah hidup dalam keterbatasan jasmani dan keasyikan tubuh. Dash jadi seperti Faust, yang berkata kepada Ruh: ‘Aku, aku Faust, sejawatmu!’ Ia tak mau mengaku, bahwa ia berada dalam sejarah.

Di dalam sejarah, di luar surga, manusia harus siap kecewa, tapi mensyukuri apa yang fana..

Read More..

Iblis - Saya suka memandangi gambar kuno

Ada satu yang mengerikan dari Italia pada abad ke-17. Dicetak di kertas dengan teknik cukilan kayu, ilustrasi itu merekam sebuah adegan di Milano pada tahun 1630. Inilah rinciannya:

Pes merebak, dan sejumlah penduduk dituduh menyebarkan wabah itu. Mereka, disebut para untori, ditangkap dan diarak dengan kereta lembu keliling kota. Seraya disiksa.

Mula-mula tubuh mereka dirobek dengan kakaktua. Setiba di Avenue Carrabio, tangan kanan mereka dipotong. Sesampai di halaman mahkamah, mereka ditelanjangi; tulang kaki, lengan, dan pinggang mereka dipatahkan di atas roda. Roda-roda yang menopang tubuh mereka itu kemudian diangkat di atas galah, dan dalam kesakitan itu mereka terpentang selama enam jam. Lalu leher mereka dipenggal, jasad mereka dibakar.

Read More..

Bencana

Pada suatu hari, Leon Wieseltier berlayar di dekat Pulau Shelter, di sebuah selat di Alaska. Tiba-tiba perahunya diguncang angin keras, begitu keras. Ia ketakutan. Ia sendirian. Badai dan gelombang menodongkan ajal ke hadapannya.

Pada saat genting itu, seekor camar turun dan hinggap di buritan. Burung laut itu menatapnya, tapi pandangnya tak acuh. Ketika itulah—seperti kemudian dituliskannya—Wieseltier baru menyadari betapa tak pedulinya alam kepada manusia yang sedang celaka.

”Belum pernah aku dipandang dengan begitu tak berperikemanusiaan, belum pernah aku sebelumnya membayangkan bagaimana diriku tampak sendirian dalam pandangan alam. Menjijikkan…. Tujuanku tampak bukan apa-apa. Hidup dan matiku hanya gerak materi….”

Dengan kata lain: pada saat seperti itu, alam—yang mengancam manusia—adalah sehimpun tenaga yang tak peduli. Sebab begitulah yang berlaku dalam kancah fisik: sebagaimana ombak yang diguncang badai dan layar yang patah di tengah, manusia yang terancam binasa (setelah ia bersembahyang sekalipun) hanya hadir sebagai ”gerak materi, pengulangan yang netral dari arus zat”.

Ada yang getir dalam kalimat Wieseltier itu. Tapi ia menuliskannya dalam The New Republic, 17 Januari 2005, tak lama setelah tsunami meluluh-lantakkan Asia. Menyaksikan ribuan kematian yang terjadi dan kesengsaraan yang meluas, ia tersentuh. Ia bertanya: bagaimana orang yang percaya kepada Tuhan tak akan salah-tingkah, atau guncang, oleh bencana seperti itu? ”Jika tak mungkin menghormati alam karena kebaikannya,” kata Wieseltier, ”tak mungkin pula menghormati ia yang dianggap sebagai ’sang pengarang’ karena kebaikannya pula.”

Agaknya Wieseltier akan mengemukakan gugatan yang sama hari-hari ini, bila ia saksikan yang terjadi di Pakistan: 40 ribu manusia, di antaranya ratusan anak, mati terhantam gempa di tengah salju, cuaca beku, dan hujan yang bandel. Mereka miskin, mereka saleh, mereka ditakdirkan lahir dan hidup tawakal di sebuah negeri yang tak berpunya, dan kini…. Apa peduli alam dengan semua itu? Apa peduli-Nya? Bagi Wieseltier, mereka yang bilang bahwa bencana itu adalah iradah yang misterius dari Tuhan, adalah mereka yang ”terlalu siap menyambut tragedi”. Dari sini mala yang datang dianggap sah, dan itu sama artinya dengan ”pembenaran bagi pembunuhan anak-anak”.

Rasa gundah dan gugatan seperti ini tentu saja tak baru: kita teringat akan yang dikemukakan Voltaire pada abad ke-18. Mendengar betapa mengerikannya akibat hantaman tsunami di Kota Lisbon pada tahun 1775, Voltaire menulis sebuah sajak, Poeme sur la desastre de Lisbonne. Ia bukan hanya mencemooh mereka yang percaya bahwa Tuhan selalu punya ”alasan yang cukup” kapan saja, juga ketika Ia membuat manusia hancur. Voltaire juga menunjukkan betapa jauhnya jarak Tuhan dan kita.

Di akhir sajak itu, Voltaire menggambarkan seorang khalif yang di akhir hayatnya berdoa kepada Tuhan. Sang khalif menyebut empat hal yang bukan bagian dari Ilahi: ”Kesalahan, sesal, mala, dan kebodohan”. Dan ditambahkannya: ”harapan”.

Harapan, dengan kata lain, adalah sebuah cacat. Tampak betapa suramnya kondisi manusia bagi Voltaire—dan betapa tak terjembataninya celah antara makhluk dan Pencipta. Walhasil, seperti camar laut di perahu Wieseltier, dari sisi sana, Tuhan mungkin menatap ke kesengsaraan di Aceh dan Pakistan—dan Ia tak peduli.

Ada satu soal yang bisa dikemukakan kepada Wieseltier: bagaimana ia tahu bahwa camar itu, atau alam, atau Tuhan, acuh tak acuh? Tidakkah itu hanya karena ia tengah merasa sendirian, tak punya penolong? Bukankah apa yang kita simpulkan tentang Tuhan sering hanya gema dari apa yang kita rindukan atau takutkan di dunia?

Memang selalu terjadi ke-satu-sisi-an dalam soal pelik ini. Juga pada saat ”sang khalif” dalam sajak Voltaire berdoa dan menyebut ”Engkau” dalam ”kemahabesaran-Mu”, ”dans ton immensité”. Dalam baris-baris terakhir sajak itu itu, ”sang khalif” sebenarnya menggunakan ”kekurangan” manusia untuk melihat Tuhan, ketika ia dengan masygul menyaksikan yang tragis dalam hidup.

Dalam sejarah pemikiran Islam, ke-satu-sisi-an seperti itu bahkan terdapat dalam pandangan kaum Asy’ariah pada abad ke-10. Mereka ini mengemukakan bahwa Tuhan yang Mahakuasa tak terikat kepada penilaian adakah ia ”adil” atau ”tak adil” seperti yang dipakai manusia untuk menilai manusia lain. Maka tak dapat pula dikatakan benarkah Tuhan ”adil” (atau ”peduli”) ketika Ia menciptakan bencana alam di Pakistan dan pembantaian di Bosnia serta kesengsaraan di Palestina. Tapi kritik Ibnu Taymiyah (1263-1327) kepada kaum Asy’ariah menunjukkan bahwa sifat Mahakuasa itu juga cuma satu sisi. Kaum Asy’ariah, kata Ibnu Taymiyah, ”menegaskan kehendak [Tuhan] tanpa kearifan.”

Soalnya, tentu: adakah citra tentang Tuhan dari kitab-kitab suci yang tanpa kontradiksi? Yang Mahabaik selalu tampil sebagai juga Sang Pencipta kesengsaraan. Pada abad ke-21 ini ada yang merasa bisa memecahkan kontradiksi itu dengan menunjukkan: tak ada peran langsung-Nya di tengah alam. Seorang pemimpin masjid Lakemba di Sydney, Australia, misalnya, mengatakan: Tuhan memang Mahakuasa, tapi ”selama tsunami mengikuti hukum fisika”, kita tak bisa menyalahkan bencana itu kepada-Nya.

Jika tak ada intervensi Tuhan dalam hukum fisika, bisa dikatakan juga tak ada campur tangan-Nya dalam kebrutalan manusia. Tapi dengan begitu bukankah Ia akan tampil tidak sebagai pelaku, atau sebagai Ia yang tak peduli, seperti alam artik yang ganas dalam kisah Leon Wieseltier? Benar. Tapi berbeda dengan alam, kita tak bisa mengukur-Nya.

Mungkin itulah yang tak sempat menyentuh Wieseltier yang getir: tersirat erat di alam itu, dalam badai, dalam gelombang dan juga di kehadiran camar itu, ada isyarat ke-Maha-Lain-an yang tak tepermanai. (Tempo)

Read More..

Vatikan - Untuk Cak Nur

Pada suatu hari, kata orang, Stalin bertanya, “Berapa batalion, sih, Vatikan punya?”

Di negeri itu, kita tahu, hanya ada beberapa ratus orang Corpo della Garda Svizzera yang bertugas sebagai penjaga Paus. Vatikan cuma 44 hektare, lebih sempit dibandingkan dengan The Mall di Washington, DC; anggaran tahunannya sekitar US$ 500 juta, hanya 25 persen dari bujet Universitas Harvard.

Tapi di
sana duduk seorang tua yang ketika pekan lalu wafat dan dimakamkan, sekitar 200 pembesar tinggi dunia datang untuk berkabung dan memberi hormat.

Abad modern memang tak pernah kehabisan paradoks, dan agaknya inilah yang dilihat Stalin. Kita tahu Vatikan dengan gampang akan dimusnahkan oleh sembarang negeri dengan pasukan berpuluh-puluh divisi, tapi ternyata negeri-negeri yang besar bahkan tetap perlu bermanis-manis dengan takhta yang ringkih itu. Kini, ketika Amerika Serikat ingin mempraktekkan kembali asas Hobbesian bahwa “tiap orang diharapkan berjanji patuh kepada yang punya kekuasaan untuk menyelamatkan atau menghancurkan” Gedung Putih masih merasa perlu menyapa Paus yang tak akan bisa meruntuhkan siapa pun.

Read More..

Tsunami

Antara pukul 9 dan 10 pagi 1 November 1755 itu, kertas-kertas bergetar di atas meja seorang penghuni Kota Lisbon. Tak lama kemudian suara gemeretak terdengar. Tiba-tiba lantai atas ambruk. Perempuan itu pun lari keluar, dengan napas nyaris tercekik oleh debu puing yang tersembur dari mana-mana. Kota hancur. Teriakan terdengar dari pelbagai sudut. Ia lihat para padri berdoa dan gereja-gereja mulai runtuh.

Dalam tempo enam menit, 30 gereja ambruk. Tapi sesuatu menyusul. “Laut datang!” terdengar orang memekik.

Gulungan gelombang setinggi enam meter menggodam kota di tepi pantai itu dengan ganas: gempa melontarkan tsunami ke daratan. Ketika kemudian air kembali ke laut, ribuan bangkai tampak terapung, terangkut, lenyap. Kemudian bumi tak berguncang lagi, tapi api terbit. Lisbon—salah satu permata Eropa—terbakar selama lima hari. Seluruh bencana menewaskan puluhan, mungkin sampai 50 ribu. “Apa yang harus dilakukan, wahai, makhluk fana?”

Read More..

Van Gogh

Van Gogh--Bagaimana kita bisa bicara tentang Mohammad B.? Pada suatu hari di bulan November 2004 yang dingin, ia membunuh Theo Van Gogh dengan tenang dan brutal di sebuah jalan di Amsterdam. Ketika seniman film itu bersepeda, Mohammad B. menghadangnya, dan menembakkan pistolnya delapan kali. Terkena lutut, Van Gogh terjerembap. Ia diseret. Dalam keadaan luka itu ia memandang orang yang menembaknya dan mencoba berbicara. Tapi Mohammad B. tak menyahut. Dengan mantap tenggorokan Van Gogh dipotongnya, hampir putus. Setelah itu, satu statemen lima halaman dipasang ke tubuh Van Gogh, direkatkan dengan sebilah pisau yang menghunjam sampai tangkai ke jantung si mati.

Kesimpulan sementara: Mohammad B. membunuh karena Van Gogh dianggapnya menghina Islam. Delapan minggu sebelumnya film Submission diputar di TV. Kata orang yang telah melihatnya, salah satu adegan menunjukkan ayat-ayat Quran tertulis di atas tubuh perempuan-perempuan yang mengenakan pakaian menerawang, dengan buah dada tampak. Ayat-ayat itu konon menyebut perkenan Allah bagi laki-laki untuk memukul istrinya. Wajah perempuan-perempuan dalam film bikinan Van Gogh itu tampak bengap, runyam.

Read More..

JASIH

Jasih mati membakar diri, dan kita bersalah. Kita harus mengaku…. Kita mungkin ikut membunuhnya, atau kita berdiri di kamar kita dengan dosa sejenis itu, karena kita sampai tak tahu bahwa ada ibu berumur 39 tahun yang begitu berputus asa hingga ia menghabisi nyawanya sendiri dan nyawa Galuh, anaknya yang berumur 4 tahun, yang terserang kanker otak dan tak ada lagi biaya untuk mengobatinya. Kita bersalah karena Jasih begitu miskin–utangnya yang lima juta rupiah kepada para tetangga itu begitu menekan–dan kita selama ini ingkar. Kita tak pernah menengok. Kita tak pernah ingat.

Malapetaka itu tak dapat kita cegah, dan kita bersalah. Jasih tak hidup di negeri yang jauh. Ia mati tak di tempat yang jauh. Kejadian itu, di Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, pada pertengahan Desember 2004. Artinya, bukan masa lalu. Artinya, sebenarnya terjangkau dari tempat saya. Juga terjangkau dari tempat Anda. Lagoa bukan di seberang lautan dan di balik benua. Kecamatan itu hanya beberapa puluh kilometer saja dari orang-orang (mungkin teman-teman kita) yang baru membeli sebuah apartemen di Paris, menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado istri dengan berlian 500 juta, menyogok rekanan dengan 3 miliar, menyumbangkan uang untuk gereja sebesar 70 juta, naik haji ketiga kalinya seraya mentraktir 10 orang teman ke Mekkah, berjudi di London sampai kalah 1.000 poundsterling, atau hanya menyimpan uang beberapa miliar di bank seraya menunggui bunga sekian persen?. Daftar itu bisa diperpanjang. Dan bersama itu, kesalahan kita kian jelas.

Read More..

Sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah mereka.

- sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah mereka.

Kelak, ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin baru akan bisa membaca surat ini, yang ditulis oleh seorang yang tak kalian kenal, tiga hari setelah ayahmu meninggalkan kita semua secara tiba-tiba, ketika kalian belum mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan hari jadi muram. Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di sebuah majalah tua: ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh, dan mudah-mudahan akan tahu bahwa tiap lilin adalah semacam doa: “Biarkan kami melihat gelap dengan terang yang kecil ini, biarkan kami susun cahaya yang terbatas agar kami bisa menangkap gelap.”

Ayahmu, Alief, seperti kami semua, tak takut akan gelap. Tapi ia cemas akan kelam. Gelap adalah bagian dari hidup. Kelam adalah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang mutlak. Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah.

Read More..

Surat buat Siapa Saja

Surat buat Siapa Saja
*Resensi Buku*
Goenawan Mohamad Selected Poems
Editor: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: Kerja Sama dengan Yayasan Lontar, 2004
Tebal: xv + 150 halaman

Antropolog Clifford Geertz mengutip T.S. Eliot: “Penyair yang buruk meminjam, penyair yang baik mencuri.” Apa pun soalnya, meminjam atau mencuri selalu berhubungan dengan pengalihan, yaitu dengan translation. Maka pikiran dapat tersentak membaca kalimat pembuka “introduction“ Laksmi Pamuntjak: “Translation is a form of betrayal“—terjemahan adalah sebentuk pengkhianatan.

Tentu saja ini hanya metafor. Penerjemahan puisi—misalnya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris sebagaimana yang dilakukan dalam kumpulan sajak yang dibahas ini—tidak pernah berarti menciptakan ekuivalen sajak itu dalam suatu bahasa lain. Sebuah terjemahan biasanya lebih jelek atau lebih baik dari yang asli, dan tak mungkin sama dalam segala sesuatunya dengan sajak yang asli. Kalau ide dapat dialihkan, mungkin liriknya yang tercecer; kalau liriknya dapat diselamatkan, barangkali daya evokatifnya yang terabaikan; dan kalau ini pun dikorbankan, barangkali muncul suatu versi yang serba prosais atau lahir orisinalitas baru yang cemerlang, sehingga sajak asli lebih berfungsi sebagai stimulus, tapi tidak lagi sepenuhnya menjadi bahan yang dialihkan ke dalam bahasa lain.

Read More..

NKRI

Aceh kini bukan hanya sebuah daerah yang dirajang perang, tapi juga sejumlah pertanyaan. Pertanyaan itu semuanya berkait dengan apa sebenarnya sebuah “Indonesia”—ya, apa sebenarnya “Indonesia” yang hendak dipertahankan.

Kata para jenderal dan politikus, keutuhan wilayah itulah yang harus dibela. Tapi apa arti “wilayah” sebuah negeri? Apa pula “keutuhan” itu? Kita acap lupa “wilayah” adalah sebuah tempat dalam ilmu bumi, yang terbentang antara sekian garis lintang dan sekian garis bujur. Ia sebuah ruang. Dalam riwayatnya yang panjang manusia membela ruang itu sebagai membela milik sendiri, tapi dalam hal “Indonesia”, apa artinya “milik”?

“Milik” pada akhirnya berarti kekuasaan, dan kekuasaan itu bergerak dalam sejarah. Seandainya Raffles, orang Inggris itu, terus berkuasa di Jawa dan tak menyerahkan pulau ini kepada Belanda pada tahun 1816, mungkin Singapura yang kemudian didirikannya akan jadi bagian dari sebuah wilayah yang kini disebut “Indonesia”. Atau sebaliknya: bisa juga Yogyakarta akan termasuk sebuah negeri yang disebut “Singapura”. Perang dan perdagangan—kedua-duanya bukan sesuatu yang sakral—yang membuat dan menetapkan peta bumi. Benarkah “wilayah” begitu berarti hingga hal-hal yang lain boleh dikorbankan? Benarkah begitu penting “keutuhan”?

Read More..

BUSH

Bagdad, 10 April 2003: dua lambang, dua momen, mungkin dua kekalahan. Menjelang pukul tiga, orang-orang bergerak ke arah Lapangan Firdaus, di tepi timur Sungai Tigris. Marinir Amerika sudah berada di sana. Beberapa buah tank berjaga di kedua sisi Jalan Sadoon, jalan utama wilayah itu.

Seorang Irak mendekat. Ia menunjuk ke arah patung Saddam Hussein yang setinggi tiga meter tegak di atas penopang. “Tembak saja, tembak!” katanya kepada seorang marinir. Orang Amerika itu menggeleng. “Tidak, terlalu banyak orang di situ.”

Orang-orang Irak itu kini mencoba cara lain. Seseorang kurus mencopot pelat tembaga yang dipasang pada pedestal. Seseorang yang lebih kekar menghantamnya dengan palu. Beberapa orang lain mendapatkan tali. Sebuah tangga dipasang. Dua orang marinir naik. Tali dan rantai besi dikalungkan ke leher Saddam. Dalam beberapa menit, Sersan Edward Chin, marinir AS keturunan Cina dari Myanmar, menutup wajah patung itu dengan bendera Amerika. Tak lama—tapi ia telah telanjur masuk ke dalam sebuah adegan yang bersejarah. Setelah Bendera Bintang-dan-Garis dicopot, selembar bendera Irak berkibar—tapi di sana tak ada lagi tulisan tangan Saddam yang menyebut “Allahu Akbar”.

Read More..

BAKU

BAKU, perbatasan, kematian. Ini sebuah cerita yang terjadi kurang-lebih 100 tahun yang lalu, ketika Eropa bersentuhan dengan Asia, dan seorang bangsawan muslim jatuh cinta pada Nino. Gadis ini teman sekolahnya, beragama Kristen, dan semua itu terjadi di sebuah tempat yang pas untuk cerita seperti ini: di Baku, di tepi Laut Kaspia itu, di mana Georgia, Armenia, dan Azerbaijan bertemu, di sebuah wilayah yang berada di bawah kemaharajaan Rus dan bersentuh batas dengan Persia. Agaknya novel Ali und Nino ini memang ditulis, oleh seorang pengarang misterius bernama Kurban Said, dengan arah seperti itu: Eropa bersentuhan dengan Asia, dan segala kerumitan, juga cinta dan kematian, meruyak.

Novel itu terbit dalam bahasa Jerman pertama kali di Wina pada tahun 1937. Kemudian perang meletus, dan karya yang pernah disambut hangat itu pun dilupakan, sampai akhirnya, di puing-puing Berlin, di sebuah toko buku bekas, seorang penerjemah menemukannya kembali. Pada tahun 1971 versi Inggrisnya terbit. Pada tahun 2000 ia muncul lagi dalam terbitan Anchor Books, dengan kata akhir oleh novelis Paul Theroux.

Read More..

Jenar

Jenar
- untuk Ulil Abshar Abdalla

SIAPA yang menghukum mati seseorang karena iman dan pendirian akan mendengar sepotong kepala yang ketawa. Konon itulah yang terjadi setelah Sunan Kudus, di hadapan para wali dan para pembesar istana, memancung seorang cendekia yang dianggap sesat, pada suatu hari Jumat di abad ke-15, di halaman masjid keraton, setelah salat selesai.

Orang itu bernama Jenar. Nama lengkapnya Syekh Siti Jenar—sebuah nama yang tak henti-hentinya jadi legenda di masyarakat Jawa. Ia memikat karena ia melambangkan perlawanan yang dianggap sah terhadap kekuasaan para ulama dan penguasa yang mengunggulkan ortodoksi. Literati Jawa yang berpengaruh pada umumnya memang tak bersahabat dengan mereka yang gemar membalut hidup dengan syariat serta merasuk ke pemikiran agama yang legalistis—yang oleh penulis Wedatama di abad ke-19 diejek sebagai orang yang anggubel sarengat.

Read More..

Sekuler

Sekuler -- Sebuah negeri mustahil berhenti menjadi plural tanpa pembunuhan. Terutama di awal abad ke-21. Persoalan yang kemudian dihadapi adalah apa artinya ”plural”, dan apa gerangan pula arti ”sebuah negeri”.

Jawabannya bukannya tak ada. Di Amerika Serikat dan Inggris, ”plural” berarti ”multikultural”. Majemuk berarti menghormati dan menjaga perbedaan adat-istiadat pelbagai paguyuban yang ada dalam negeri itu. Majemuk berarti tidak mengasimilasikan penduduk atau warga negara ke dalam satu kesatuan identitas yang baru setelah yang lama dilupakan.

Dalam pandangan ini, ”asimilasi” membuat bulu kuduk berdiri, seakan-akan sebuah penindasan, ketika akar-akar budaya seseorang dibabat dan pelbagai manusia dilebur ke dalam sebuah panci, untuk membentuk sebuah kebersamaan baru yang utuh dan sama rata sama rasa—sebuah keseragaman yang represif. Namun, pandangan multikulturalisme ini hanya salah satu jawaban bagi persoalan-persoalan kemajemukan di abad ke-21.

Read More..

Menopause

Menopause
… ada godaan dari politik yang seperti itu–baik kita seorang fasis atau bukan. Sebab, di sana banyak hal jadi tegas, lurus, tak bisa ditawar-tawar. Seperti halnya pertempuran: ketika dua seteru berhadapan dengan bayonet terhunus…

Jika revolusi bukanlah sebuah jamuan makan, demokrasi bukanlah sebuah lapo tuak. Aforisme itu tentu saja tak amat segar, tapi kadang-kadang kita perlu ingat lagi bahwa demokrasi–betapapun ia sebuah cita-cita yang memikat–adalah seonggok beban. Sistem (ataukah proses?) ini bukan sebuah ruang tempat orang bisa asyik berdebat, berembuk, minum-minum, main catur, kalah dengan sebal, dan menang dengan riang, asal membayar. Ketika sejumlah orang berada bersama di suatu tempat dan hendak mengupayakan hidup yang tanpa penindasan, mereka akan segera tahu bahwa dalam sebuah demokrasi, politik adalah sebuah jalan yang musykil. Bahkan kadang-kadang agak aib, menjengkelkan, dan membosankan.

Read More..