STUDI AL-QUR’AN NASHR HAMID ABU ZAYD

Muqodimah

Al-Qur’an adalah kitab suci pegangan hidup umat Islam yang sakral. Kaum Muslimin meyakini, bahwa al-qur’an dari ayat pertama hingga akhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw secara verbatin (lafdzan) maupun maknanya (ma’nan). Sehingga ajaran-ajaran, perintah-perintah serta larangan yang terdapat di dalamnya, menjadi suatu hal yang harus dipegang teguh dan dilaksanakan oleh umat manusia secara universal.

Sejak awalnya diturunkannya Al-Qur’an hingga sepeninggal nabi Muhammad saw berlanjut pada era modern dan postmodern saat ini, eksistensinya selalu mendapatkan gangguan-gangguan, baik dari kalangan luar maupun dari dalam Islam sendiri. Sebut saja Musyailamah Al-Kadzab dengan membuat Al-Qur’an palsu dan tandingan-tandingannya. Gustav Flugel dengan mushaf “Corroni Textus Arabic”, Arthur Jeffery dengan Al-Qur’an Edisi Kritis, dan kasus terakhir yaitu kasus Luxenberg dan bukunya “Die Suro-aramaismshe Lesart des Koran” (cara membaca Al-Qur’an dengan bahasa Syiro-armaik: sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesukaran memahami bahasa Al-Qur’an).

Ironisnya, sakralitas Al-Qur’an pun berusaha untuk dihilangkan oleh kalangan umat Islam sendiri. Salah satu diantaranya adalah Nashr Hamid Abu Zaid, seorang pemikir modernis asal Mesir. Ia mengenalkan studi al-Qur’annya dengan proposisi hubungan antara teks (nash) dan interpretasi (takwil). Menurutnya, teks dan interpretasi adalah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi mata uang. Menurutnya, selama ini ulama selalu memisahkan antara teks dan takwil, takwil dianggap sebagai suatu yang tabu dan dilarang. Ini mengkibatkan teks menjadi tertutup dan makna-makna yang terkandung menjadi tidak tercapai. Sehingga menurutnya, perlu untuk meninggalkan metode yang menurutnya tradisional, dengan meletakan “konsep teks” (mafhum al-nash) sebagai pusat pengkajian, sehingga penggunaan teori heemeneutika menjadi keniscayaan.dengan demikian dapat meminimalisasikan subyektifitas dan kepentingan-kepentingan ideoogis dalam interpretasi.[1]

Menurut Nashr Hamid, Al-Qur’an merupakan teks manusiawi. Proses pemanusiaan ini, menurutnya, sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad saw menuturkan firman-firman “verbal” Tuhan itu dalam bentuk-bentuk bahasa arab (bahasa orang Jazirah Arab). Tanpa berpretensi mendesakralisasikan teks Al-Qur’an secara mutlak, Nashr hamid sebenarnya hendak meneguhkan ke-imanesian Al-Qur’an sehingga bisa dicandra oleh pemahaman manusia tanpa harus menampik asal-usul transedensialnya.
Dalam konteks ini sebenarnya, Nashr Hamid hendak mengulang ‘manifesto’ guru in absentia-nya, Amin Al-Khuli, yang mengatakan “bahwa Al-Qur’an adalah kitab agung berbahasa arab” (kitab al’arabiyah al-akbar).[2] Perkataan “kitab berbahasa arab” mengindikasikan sisi imanensi Al-Qur’an, dan “kitab agung” mengindikasikan aspek transendennya. Dengan meyakini bahwa Al-Qur’an adalah teks berbahasa arab yang menyejarah, Abu Zayd lalu mendudukan Al-Qur’an sebagai teks yang mungkin dianalisis melalui perangkat kajian linguistik dan historis.

Di samping itu, dengan menegaskan tekstualitas Alqur’an. Abu Zayd hendak mengkaitkan kembali kajian ilmu Alqur’an dengan konteks studi kritik sastra. Artinya, menurutnya, layaknya seperti teks-teks lain, Alqur’an mungkin didekati dengan pelbagai perangkat kajian tekstual modern.[3] Sebagaimana dikatakannya, Alqur’an adalah teks bahasa (nashs lughawiy) yang bisa digambarkan sebagai teks sentral (nashs mihwariy) dalam peradaban Arab. Jika demikian, mendudukan Alqur’an sebagai teks histories tidak berarti mereduksi keilahiannya. Justru historisitas tekslah yang menjadikan Alquran sebagai subjek pemahaman dan takwil. Dengan demikian lanjutnya, analis sosiohistoris diperlukan dalam proses pemahan Alqur’an, dan pemanfaatan metodelogi linguistik modern menjadi sesuatu yang niscaya dalam praktik takwil. Di sinilah  arti penting tekstualitas dan historisitas Alqur’an. Mengabaikan tekstualitas Alqur’an hanya mengarahkan pada pembekuan makna pesan. Ketika makna pesan dibekukan, maka ia akan sangat gampang dilacurkan pada arah dan kepentingan ideologis sang pembaca.[4]

Berpijak dari dua hal tersebut, ada dua tema besar yang diusung oleh Nashr Hamid, dan hendak diungkapan dalam makalah ini. Pertama, konsep Alqur’an yang kita kenal selama ini sebuah produk budaya (muntaj tsaqafi). Dan yang kedua adalah penggunaan metode pengkajian linguistik dalam pemahaman atau penafsiran Alqur’an. Pemahaman ini akan menjadi pijakan bagi pelibatan realitas sosial-budaya (muntaj tsaqafi) dikarenakan teks Alqur’an terbentuk dalam realitas budaya selam dua puluh tahun. Oleh karena itu, dalam pandangan Nashr Hamid perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks Alqur’an dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Alqur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan.[5] Disamping itu karena teks Alqur’an menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain, maka kemudian Alqur’an juga menjadi produsen budaya (muntaj al-tsaqafi).

A. Riwayat Hidup Nashr Hamid Abu Zayd[6]

Nashr Hamid Abu Zayd adalah seorang tokoh modernis Islam yang berkeinginan untuk menjadikan hermeneutika sebagai satu-satunya metode interpretasi al-Qur’an. Nashr Hamid mengklaim bahwa interpretasi al-Qur’an selama ini merupakan interpretasi yang karena dipenuhi oleh kepentingan-kepentingan ideologis, serta metode interpretasi yang dipakai kalangan ulama selama ini tidak ilmiah. Menurutnya pendekatan yang layak dan niscaya dilakukan adalah pendekatan kritik historis dan kritik sastra.

Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Quhafa, beberapa Km 120 dari Kairo, dekat Tanta, Mesir pada tanggal 10 Juli 1943. Pemikir kontroversial Mesir dan profesor Studi Arab Nasr Hamid Abu Zaid pada hari senin pagi  5 Juli 2010 meninggal di sebuah rumah sakit Kairo akibat serangan virus yang dijelaskan oleh para dokter sebagai penyakit yang “jarang dan langka.” Pada usia 12 tahun, Abu Zayd pernah dipenjarakan karena diduga bersimpati dengan Ikhwanul Muslimin. Setelah menerima pelatihan teknis ia bekerja untuk National Komunikasi Organisasi di Kairo. At the same time, he started studying at Cairo University , where he obtained his BA degree in Arabic Studies (1972), and later his MA (1977) and PhD degrees (1981) in Islamic Studies , with works concerning the interpretation of the Qur’an . Pada saat yang sama, ia mulai belajar di Universitas Kairo , di mana ia memperoleh gelar BA gelar dalam bahasa Arab Studi (1972), dan kemudian hari MA (1977) dan PhD derajat (1981) dalam Studi Islam. Pada tahun 1982, ia bergabung dengan staf pengajar dari Departemen Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo sebagai asisten profesor. He became an associate professor there in 1987. Ia menjadi profesor di sana pada tahun 1987.

Pada tahun 1993, ia divonis murtad oleh para ulama Islam khususnya Al-Azhar dan menikah dengan Yunis yang secara resmi pernikahannya itu dibatalkan oleh pengadilan keluarga Mesir dengan alasan bahwa seorang wanita Muslim tidak bisa menikah dengan orang yang sesat dan murtad. Di antara karya Abu Zaid yang dianggap terbaik oleh kalangan pemujanya berjudul “The Founding of Medieval Ideology and A Critique of Religious Discourse” (Pendirian Ideologi Abad Pertengahan dan Kritik Wacana Keagamaan.)

B. Al-Qur’an Dalam Pandangan Nashr hamid Abu Zayd
Teori interpretasi menurut Nash Hamid harus terbangun dan sesuai dengan konsep Alqur’an itu sendiri. Itulah mengapa proposisi hubungan antara teks (nash) dan interpretasi (takwil) menurutnya tidak bisa dipisahkan. Sehingga penggunaan teori tersebut merupakan suatu keniscayaan, karena sesuai dengan hakekat dari keberadaan nash tersebut. Berikut beberapa anasir untuk memahami pandangan Abu Zayd tentang Alqur’an yang telah melahirkan teori tafsirnya, antara lain :


  1. Al-Qur’an Sebagai Teks
Nashr Hamid tidak mendifinisikan secara eksplisit yang dimaksud dengan teks dalam bukunya Mafhum al-Nash (Konsep Teks).[7] Hanya saja dalam bukunya tersebut, Nashr hamid mengungkapkan perbedaan antara nash (teks) dan mushhaf (buku). Menurutnya, nash (teks) berarti makna (dalalah) dan memerlukan pemahaman, penjelasan, dan interpretasi. Sedangkan mushhaf (buku) tidaklah demikian, karena ia mentransformasikan menjadi ‘sesuatu’ (say’), baik suatu karya estetik (tastakhdimu li al-zinah), atau alat untuk mendapatkan berkah Tuhan.[8]

Nashr Hamid dalam hal ini mengambil distingsi Roland Barthes tentang ‘teks’ dan ‘karya’ (work) dengan mengubah sedikit interpretasi dan istilahnya. Menurut Barrthes, karya (work) adalah sebuah obyek yang sudah selesai, sesuatu yang dapat dihitung (computable), yang menempati suatu ruang fisik. Sedangkan teks adalah sebuah ranah metodelogis (methodological field). “Karya dipegang dalam tangan, teks dipegang dalam bahasa” (The work is held in hand, the text in language).[9] Artinya, teks yang diungkapkan oleh Barthes adalah teks atau karya yang dimaksudkan di atas, adalah teks-teks serta karya-karya sastra sebagaimana buatan manusia.

Pengembangan teori tentang teks, oleh Nashr Hamid, dikaitkan dengan bahasa dan budaya, yaitu dengan menghilangkan ‘dimensi ilahiyah teks’ dari kajian. Sehingga sebagaimana teks-teks yang lain, kajian terhadap Al-Qur’an yang sudah merupakan teks manusiawi dengan menggunakan analisa wacana (discourse analysis) dan semiotika adalah suatu hal yang niscaya. Dalam analisis wacana, teks didefinisikan sebagai system tanda linguistik yang memproduksi makna, sementara dalam semiotik, teks mencakup segala macam sistem tanda yang memproduksi makna, seperti simbol, patung, iklan, karikatur, dan film. Oleh karena itu, analisis wacana adalah bagian dari semiotik yang mengkaji tanda-tanda linguistik.[10] Selanjutnya dalam analisis wacananya, Nash Hamid membagi teks menjadi dua tipe, yaitu teks primer dan sekunder. Adapun yang dimaksud dengan teks primer adalah Alqur’an, sedangkan sekunder adalah sunnah dan pendapat-pendapat sahahabat dan para ulama.

Untuk memuluskan konsep teksnya, Nashr Hamid mendekonstruksi proses pewahyuan dan konsep Alqur’an kepada nabi Muhammad saw melalui dua tahapan. Pertama adalah adalah tahap tanzil yaitu proses turunnya teks Alqur’an dari Allah swt kepada malakiat Jibril, teks masih berupa teks non bahasa.[11] Konsep “menurunkan atau tanzil” disini dipahami sebagai “menurunkan” kepada manusia melalui dua perantara; pertama, malaikat, dan yang kedua adalah Muhammad yang berbentuk manusia.[12] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ayat-ayat Alqur’an dalam tahap ini masih berupa makna saja. Kedua adalah, proses takwil yaitu proses dimana Nabi Muhammad saw menyampaikan teks Alqur’an dengan bahasanya yaitu bahasa Arab. Dalam proses ini, nash Alqur’an berubah dari teks Illahi kepada teks Insani atau dari tanzil menjadi takwil.[13]

Menurut Nashr Hamid, penekanan yang terlalu berlebihan pada dimensi Ilahi (divine dimension) menjadikan pemikiran Islam menjadi stagnan.[14] Dia menyatakan : “Bagaimanapun, kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri dan menjadi manusiawi karena Tuhan ingin berkomunikasi dengan manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti. (The Word of God needed to adapt itself become human because God wanted to communicate to human beings. If God spoke God-language, human beings would understand nothing).[15]


Allah swt Jibril Muhammad Umat


Tanzil Takwil

Nashr Hamid mengungkapkan bahwa teks ketika turun kepada nabi Muhammad saw berupa makna, karena problema bahasa. Sebagaimana diungkapkannya “Wahyu adalah bentuk komunikasi antara Tuhan dan manusia. Tapi dalam komunikasi ini, Tuhan berada dalam sebuah kategori dan manusia dikategori yang lain. Tuhan adalah kekuatan supranatural, sedangkan manusia makhluk duniawi. Bahasa apa yang dipakai dan dengan saluran (chanel) apa?.[16] Dengan kata lain Nashr Hamid mengungkapkan bahwa karena manusia dan Allah berada pada dimensi yang berbeda, maka dengan sendirinya masing-masing mempunyai sistem bahasa yang berbeda. Dengan demikian Jibril menerima makna dari Allah yang nantinya akan dibahasa yang digunakan oleh nabi Muhammad.

Menurut Nashr Hamid menginterpretasikan pesan dengan bahasanya, nabi Muhammad telah dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, budaya setempat ketika itu. Karena beliau adalah produk dari masyarakat dimana beliau tinggal. Beliau tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak yatim, didik dalam suku Bani sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui.[17] Sehingga dalam pandangannya al-Qur’an merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus dieksprsikan dalam batas kemampuan linguistik beliau yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya setempat.

Dengan definsi tersebut diatas, Nashr Hamid memandang bahwa nabi Muhammad saw sebagai seorang ummy, bukanlah penerima pasif wahyu, tetapi juga mengolah reaksi al-Qur’an sesuai dengan kondisinya sebagai manusia biasa. Konsep yang menyatakan bahwa teks al-Qur’an sebagai spirit wahyu dari Tuhan identik dengan konep teks bible, bahwa “The Whole Bible is given by inspiration of God”.[18]
Selanjutnya dalam bukunya Mafhum al-Nass, Nashr Hamid menyatakan bahwa al-Qur’an adalah teks linguistik (nash lughawiy). Diakuinya bahwa memperlakukan Al-Qur’an sebagai sebuah teks bukanlan idenya sendiri, tetapi sudah diungkapkan terlebih dahulu oleh Amin Al-kulli yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah “kitab agung berbahasa Arab”.[19]

وإذا كنا لا نستيع أن نتجاهل هذا التراث و نسقطه من حسبنا ، فإننا بنفس القدر لا نستطيع أن نتقبله كما هو ، بل علينا أن نعيد سياغاته فنتره عنه ما هو غير ملائم لعصرنا ونعقد فيه الجوانب الإجابية و نجددها و نصوغها بلغة مناسبة لعصرنا
(Kita tidak mungkin mengabaikan warisan budaya dan tidak mungkin menghilangkannya dari pertimbangan kita, oleh karena itu kita dengan kadar yang sama tidak dapat menerimanya begitu saja, tetapi kita harus merumuskan kembali dan membuang apa yag tidak sesuai dengan masa kita. Dan di sini kita enegaskan aspek-aspek positifnya, memperbahuruinya, dan merumuskannya dengan bahasa yang sesuai dengan masa kita).[20]

Amin al-Kulli sendiri adalah seorang pemikir Muslim pertama yang mengaplikasikan metode pendekatan sastra dalam pengkajian al-Qur’an.[21] Al-Kulli dalam bukunya Manahij Tajdid fi al-Nahwu wa al-Balagha wa al-Tafsir wa al-Adab menyatakan, sebelum melakukan penafsiran, seorang mufasir harus mempunyai anggapan bahwa al-Qur’an adalah kitab agung berbahasa Arab dan pengaruhnya sangat besar terhadap sastra (kitab al’arabiyya al-akbar wa atharuha al-adabi al-a’zam).[22]

Metode kritik sastra yang diterapkan Nashr Hamid merupakan bagian dari teori-teori hermeneutika, yang dikenalnya ketika berada di Universitas Pennsylvania Philadelphia.[23] Hal ini diakuinya dengan mengatakan “ I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brandnew word for me”.[24] Artinya kurang lebih adalah (saya banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu untuk menafsirkan teks-teks, yang telah membuka cakrawala dunia bagiku). Setelah akrab dengan literature hermeneutika Barat, Nashr hamid kemudian membahas mengeni hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, yang sudah membuka cakrawala dunia baru bagiku. Setelah akrab dengan literatur hermeneutika Barat, Nashr Hamid kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeneutika.[25]

2. Al-Qur’an sebagai Produk Budaya
Disamping sebagai teks sastra, Nashr Hamid juga menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (muntaj tsaqofi). Hal ini karena al-Qur’an terbentuk atas realitas sosial dan budaya selama dua puluh tahun, proses kemunculan dan interaksinya dengan realitas budaya selama dua puluh tahun tersebut adalah merupakan fase “keterbentukan” (marhalah al-takawwun wa a-tasyakul). Fase berikutnya adalah fase “pembentukan” (marhlah al-takin wa al-tasyakul), dimana al-Qur’an selanutnya membentuk suatu budaya baru, sehingga al-Qur’an dengan sendirinya juga menjadi “produsen budaya” (muntij al-tsaqofi). Nash Hamid beralasan bahwa ketika Allah mewahyukan al-Qur’an kepada nabi Muhammad dengan memilih bahasa manusia sebagai kode dari wahyu tersebut.

Pemilihan sistem bahasa dikaitkan dengan sarana sistem sosial yang paling penting dalam menangkap dan menyusun dunia (tajassad). Atas dasar ini, tidaklah mungkin untuk berbicara bahasa terpisah dari budaya dan relitas, sebagaimana teks yang tidak bisa dipisahkan dengan budaya dan realitas juga.[26] Kedua fase tersebut bisa dijelaskan dengan skema sebagai berikut :

Fase “Keterbentukan”





Budaya Teks Budaya






Fase “Pembentukan”

Pada fase pertama yaitu fase keterbentukan, budaya adalah sebagai subyek, sementara teks adalah obyek (teks sebagai muntaj tsaqofi). Sedangkan pada fase selanjutnya, teks menjadi subyek yang membentuk obyek, yaitu budaya baru (teks sebagai muntij al-thaqofi).[27]Dan akhirnya karena realitas budaya tidak bisa dipisahkan dengan bahasa maka dengan sendirinya al-Qur’an merupakan teks bahasa (nash lughawi).[28]

Dari pandangan adanya hubungan dialektis antara teks al-Qur’an dan relitas budaya tersebut, Nashr Hamid menyimpulkan bahwa dalam penggunaan metode linguistik, juga diperlukan penggunaan metode kritik sejarah (historical criticism) dalam menginterpretasikan al-Qur’an. Dalam arti, pendekatan kajian al-Qur’an berpijak dari kesadaran epistimologi akan keterkaitannya yang bersifat dialektis dengan realitas sosial budayanya. Metode kajian ini implikasi teoritisnya sangat berbeda dengan metode teosentris seperti yang dipahami oleh ulama kebanyakan. Sehingga menurut Nashr Hamid, penafsiran al-Qur’an bisa lebih obyektif, tidak a-historis dan bebas dari bias ideology atau kepentingan tertentu.[29]

Pada saat yang sama, Nash Hamid mengatakan bahwa al-Qur’an juga merupakan teks manusia (nass insani) karena teks sejak awal diturunkan yaitu ketika teks diwayuhkan dan dibaca oleh Nabi Muhammad sa ia berubah dari sebuah teks Ilahi (Nash Ilahi) karenanya dia berubah dari tanzil menjadi takwil. Seperti yang diungkapkan dalam bukunya “Naqd al-Khitab al-Dini” :

إن القرآن – محوار حديثنا حتى الآن – نص ديني ثابت من حيث منطوقه، لكنه من حيث يتعرض له العقل الإنساني ويصبح “مفهوما” يفقد صفة الثابت ، إنه يتحرك يتعدد دلالته. إن الثابت من صفة المطلق والمقدس ، أم الإنساني نسبي متغير. والقرآن نص مقدس من ناحية منطوقة، لكنه يصبح مفهوما بالنسبي والمتغير ، أي من جهة الإنسان ويتحول إلى نص إنساني “يتأنس”. ومن الضروري هنا أن نؤكد أن حالة االنص الخام المقدس حالة ميتافيزقية لا ندري عنها شيأ إلا ماذكره النص عنها والفقهه بالضرورة من زاوية الإنسان المتغير والنسبي. النص منذ لحظة نزوله الأولى – أي مع قرائة النبي له لحظة الوحي – تحول من كونه (نص إلاهيا) و صار فهما (نص إنسانيا). لأنه تحول من التنزيله إلي التأويل.[30]
(Sesungguhnya al-Qur’an yang menjadi poros pembicaraan kita sampai saat ini, adalah teks keagamaan yang tetap (thabit, fixed) dari sisi lafadnya, namun dari sisi saat berinteraksi dengan akal manusia dan menjadi sebuah konsep, maka hilanglah sifat ketetapannya. Kemudian teks yang tetap itu bergeser menjadi makna ragam. Karena sesungguhnya sifat yang tetap itu adalah bagian sifat absolut yang sacral. Namun secara manusiawi, dia adalah relative dan berubah. Maka al-Qur’an adalah teks sacral lafadznya, tetapi kemudian dia menjadi konsep yang relative dan berkembang, yaitu dari sisi pandangan manusia dan bergeser menjadi teks manusiawi, berinkarnasi (yata’anasu). Jadi patut kita tekankan bahwa kedudukan teks yang mentah dan sakaral adalah bentuk manifistasisnya yang tidak kita ketahui sedikitpun tentangnya, melainkan yang disebutkan oleh teks itu sendiri dan kita fahaminya secara urgensi dari sudut pandang manusia yag berubah dan relative, teks sejak waktu turunnya atau bersamaan dengan pembacanya, dengan pembacaannya oleh Nabi saat turunnya telah bergeser kedudukannya dari Tek’s Tuhann, menjadi sebuah pemahaman (teks manusia). Hal ini disebabkan al-Qur’an telh brgeser dari wahyu (tanzil) menjadi interpretasi (ta’wil)).

Firman Tuhan yang berupaa sifat-sifat tindakan Tuhan, merupakan fenomen sejarah. Sebab, semua tindakan Tuhan adalah tindakan di dunia yang tercipta dan hadits, dengan kata lain, bersifat historis. Demikian pula al-Qur’an merupakan fenomena sejarah dari segi bahwa ia merupakan salah satu manifestasi firman Tuhan, hanya saja al-Qur’an merupakan manifestasi yang paling komprehensif, karena ia paling akhir.[31] Oleh sebab itu, menurutnya, al-Qur’an adalah teks historis (a historical text). Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah teks manusiawi (nash insani).
Dengan segala kreteria al-Qur’an yang diyakininya, Nashr Hamid menegaskan, bahwa teks-teks keagamaan adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks lainnya di dalam budaya. Sebagaimana diungkapkannya :

أن النصوص الدينية نصوص لغوية شأنها شأن أية نصوص الأخري في الثقافة.[32]

Dari sini terlihat betapa pemikiran Nashr Hamid terpengaruh oleh Schleirmacher, yang dikenal sebagai bapak hermeneutika modern, yang berpendpat bahwa penafsiran kitab suci tidaklah membutuhkan metode khusus karean jika dibutuhkan metode khusus maka hanya sebagia orang saja yang bisa memahaminya.[33] Dengan menyamakan al-Qur’an dengan teks-teks lainnya, maka dengan sendirinya membebaskan siapa saja boleh menafsirkan al-Qur’an sebagaimana ditegaskannya “saya mengkaji al-Qur’an sebagai teks berbhasa Arab agar dikaji oleh kaum Muslimin, Kristen maupun Atheis”.[34] Dengan demikain dalam pandangan Nashr Hamid, titik berangkat penafsiran al-Qur’an tidaklah berpijak dari keimanan tapi lebih kepada kesusastraan saja.

3. Problem Humanitas Teks
Prinsip dasar interpretasi, bagi Nashr Hamid adalah, “al-Qur’an tidaklah dimaksudkkan untuk menjawab semua problem manusia”. Al-Quran tidak mengandung segalanya. Bayak hal yang harus diperoleh dari luar al-Quran. Menurutnya, jika interpretasi al-Qur’an selalu utuk mengaktualisasikan segala macam kebutuhan dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, maka interpretasi akan dengan mudah dimanipulasi. Sehingga interpretasi akan menjadi upaya pembenaran atas suatu opini atau posisi tertentu. Mengenai adanya ayat al-Qur’an yang menyatakan :

وَنَزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ
“… dan Kami turunkan al-Qur’an sebagai penjelasan atas segala sesuatu dan petunjuk, rahmat serta berita gembira bagi orang-orang Muslimin.”[35]

Dan ayat :
مَا فَرَطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْء
“… tidaklah kami alpakan sesuatupun dari kitab ini…”[36]

Dalam menginterpretasikan ayat-ayat ini Nashr Hamid mengatakan, bahwa “ segala sesuatu” dalam ayat-ayat ini berarti “(segala) sesuatu dalam kerangka agama”, karena al-Qur’an adalah kitab agama, bukan buku filsfat, sains atau teknik”.[37]

Implikasi paling nyata dari kerangka yag diletakkan Nashr Hamid ketika merealisasikan teks dengan bahasa, budaya dan sejarah tersebut adalah termanusiawikannya al-Qur’an sebagaiman teks kebahasaan umumnya. Dengan istilahnya lain, al-Qur’an telah menjadi sebuah produk budaya (cultural product) yang berada dalam genggaman manusia (textus receptus), serta terbuka terhadap kerja-kerja penafsiran. Proposisi ini tidak lantas berarti Nashr Hamid menafikkan keyakinan bahwa Allah sebagia sumber ide ontologism al-Qur’an. Dasarnya antara lain dapat ditemukan ktika ia memetakan pengertiannya Kalam dan Lughah.

Dalam konstruk pemikirannya, terdapat distansi (jarak) ontologism antara realitas Tuhan yang supranatural dan manusia yag natural. Pda saat Kalam Allah, sebagai sesuatu integral dengan dzat ketuhananNya, terfirmankan melalui perantaraan malaikat Jibril, kepaada Muhammad dengan medium komunikasi lughah (bahasa Arab), maka pada detik yang sama, sesungguhnya wahyu tersebut telah tersejarahkan oleh intervensi budaya yang ada.[38] Suara Tuhan yang Illahi terkonversikan sudah menjadi simbol-simbol kosa kata bahasa Arab yang manusiawi, produk dari konvensi suatu budaya masyarakat tertentu di priode zaman yang tertentu pula. Ide tuhan yang absolut kini telah menjelma kedalam bentuk teks kebahasaan manusia yang relatif.

Dengan demikian, bagi Abu Zayd, al-Qur’an sepatutnyalah dilihat sebagai teks yang berkarakter kutural
sehingga terbuka terhadap pemahaman dan interpretasi yang bersifat histories.[39] Dengan demikian sudah tidak ada sakralitas pada al-Qur’an karena al-Qur’an tidaklah lebih dari teks-teks sastra biasa. Al-Qur’an adalah teks bahasa Arab yang muncul dalam konteks sejarah melalui diaolog intensif dalam setiap peristiwa sejarahnya.

Abu Zayd tampak menghindari diskusi mengenai dimensi Tuhan dalam studi al-Qur’an, Karena menurutnya hal itu berada di luar investigasi ilmiah (scientific investigation), atau termasuk kategori mythological insight. Pada konteks ini, dengan menunjuk sebuah teori sastra, ia mengemukakannya sebagai kematian sang pengarang (the death of the author).[40] Tatkala teks lahir, sesungguhnya ia telah lepas dari penulisnya, zamannya, dan juga realitas yag memproduksinya. Teks menjadi otonom dan dapat diakses oleh aktivitas nalar di luar pengarangya sendiri.[41] Dan jika al-Qur’an yang dimaksudkan di sini, maka maksud al-muallinya Abu Zayd tidak lain adalah “kematian” Tuhan dalam proses pemahaman dan penafsiran teks.

4. Problem Tekstulaitas Al-Qur’an
Nashr Hamid berusaha untuk membuktikan bahwa al-Qur’an adalah teks yang menyejarah, hal ini menurutnya diindikasikan oleh karekteristik al-Qur’an itu sendiri. Pertama, al-Qur’an memuat pesan-pesan ajaran Allah untuk manusia yag diwujudkan dalam sebuah teks berbahasa Arab yang dirutunkan (wahyu) kepada utusanNya, Muhammad saw, dengan cara diwahyukan, dari balik tabir dan diutus satu utusan. Dari sini Nashr Hamid membuat konfigurasi tentang proses turunnya ahyu dari Allah ke malaikat, kemudian dari malaikat ke Rasul engan saling bertemu, denngan menggunakan alat komunikasi berupa bahasa arab. Karena wahyu secara semantic sejajar dengann perkataan Tuhan (kalam Allah) dalam al-Qur’an dan karena al-Qur’an juga merupakan sebuah pesan, maka tidak berarti salah apabila masyarakat Muslim mengaitkan al-Qur’an sebagai sebuah teks.[42]

Jika diperhatikan lebih jauh, penyimpulan diatas terlihat lebih jelas ketika Nashr Hamid menegaskan bahwa istilah wahyu (wahyu, revalation) dan risalah (pesan, message) sebagai pusat penandaan al-Qur’an, khususnya dalam usahanya untuk mendefinisikan al-Qur’an sebagai sebuah teks.[43] Ia memandang bahwa teks merupakan hasil pewahyuan yang merupakan bentuk komunikasi.[44] Selanjutnya Nashr Hamid membagi element komunikasi tersebut menjadi enam elemen, yaitu risalah (pesan), Mukhatib/Mursil (pengirim), Mukhatab/Mustaqbil (penerima), ‘alaqat ittishal (jenis hubungan), shifra/nizam lughawi (kode) dan waqi’ wa thaqafah (kontek).[45] Pengaruh Roman Jakobson’s (1896-1982) dalam pembagian elemen tersebut tampak jelas walaupun dengan istilah yang berbeda, yaitu addresser, addresse, message, contxt, code, dan contact.[46]


C. Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd
Menurut Nashr Hamid, pembacaan teks-teks kegamaan (al-Qur’an dan haits) hingga saat ini msih belum menghasilkann interpretasi yang bersifat ilmiah objektif (‘ilmi-madlu’i)[47], bahkan terpasung dengan pewarnaan (talwin) unsure-unsur mistik (usthurah), khurafat dan interpretasi literal yang mengatasnamakan agama. Penyimpulan Nashr Hamid ini didasarkan pada pengamatanya terhadap fenomena dan gerakan perkembangan keagamaan. Oleh Karena itu, dalam meujudkan interpretasi yag hidup dan saintifik terhadap teks-teks keagamaan, Nashr Hamid menaarkan interpretasi rasional dan menekankan pentingnya kesdaran ilmiah dalam berinteraksi dengan teks-teks keagamaan. Hal ini dilakukan untuk membersihkan teks keagamaan dari unsure-usur yang berbau mistik, khurafat, dan bercorak interpretasi literal yang digemoni oleh aspek ideologis.[48]

Dengan pendekatan ini, Nashr Hamid berusaha mewujudkan sebuah proyek penyelidikan (al-masyru’ al-istiksyafi). Keterpasungan interpretasi yag tidak sejalan dengan tabiat dan sifat dasar teks, sehingga makna yang dihasikannya tidak melalui mekanisme sebuah penafsiran. Baginya corak interpretasi ini lebih menonjolkan unsur ideologi dari pada unsur keilmiahan dan biasanya dimonopoli oleh kalangan fundamentalis yang mengabaikan indikasi peranan penguasa baik dalam isu-isu keadilan sosial, independensi ekonomi maupun politik. Kalangan pemsung interpretasi ini menurut Nashr Hamid, senantiasa beranggapan bahwa Islam adalah satu-satuya solusi (al-Islam Huwa al-hall) dan menganggapnya sebagai komponen substantif orisinil (mukawin Jawhari ashil) dalam pembentukan umat.

Slogan seperti ini dipandang Nashr Hamid sebagai ‘problem’ pembacaan teks-teks keagamaan yang paling tidak ilmiah dan objektif hingga saat ini.[49] Tidak mengherankan bila kemudian Abu Zayd menyayangkan peran ulama abad ke-4 dan ke-5 H yang telah membuat kreteria maqbul-mazhum (diterima-tercela) dibidang penafsiran. Menurutnya, criteria tersebut hanyalah akal-akalan ulama ahlisunnah. Interpretasi rasional yang dimaksud Nashr Hamid adalah corak pendekatan interpretasi yang dilakukan oleh golongan pencerah (tanwiriyyun) atau biasa disebut sebagai golongan sekuler. Sebab pada intinya sekularisme, bagi Nashr Hamid, tidak lain hanyalah ajaran tentang “interpretasi realistis dan pemahaman yang ilmiah terhadap agama” (al-ta’wil al-haqiqi wa l-fahm al-‘ilmi li l-din). Dengan demikian Abu Zayd menolak tegas tuduhan pra fundamentalis Islam yang memandang golongan sekuler sebagai atheis (mulhid) yang memisahkan agama dari masyarakat dan kehidupan.[50]

Interpretasi teks-teks keagamaan, menurutnya adalah bagian dari pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan hanya tunduk pada hukum yang mengatur gerak pemikiran manusia dan tidak berasumsi bahwa agama adalah sakral dan mutlak. Oleh karena itu, Nashr Hamid melakukan pemisahan antara ‘agama’ dan pemikiran ‘pemikiran keagamaan’. Agama dimaknai sebagai kumpulan teks-teks suci yang tetap secara historis. Sedangkan pemikiran keagamaan adalah usaha ijtihad pemikiran manusiawi untuk memahami teks-teks agama, menginterpretasikannya dan menemukan maknanya yang terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan menurut ruang lingkupnya. (al-din huwa majmu’atu l-nushush al-muqadasah al-tssabitah tarikhiyyan. Fi hini anna l-fikra dini huwa ijtihadat al-bashariyyah li fahmi tilka l-nushush wa ta’iluha wa istikhraj dalalatih).[51]

Interpretasi rasional terhadap teks-teks agama, bagi Nashr Hamid dapat direalisasikan dengan ‘supremasi data empiris’, yaitu dengan cara menumbuhkan kesadaran historis ilmiah terhadap teks-teks keagamaan. Pengertian kata kesadaran (wa’y) di sini adalah segala aktivitas yang terus berkembang dan tidak mengenal bentuk kemapanan (formalisasi).[52] Sedangkan maksud menumbuhkan kesadaran historis ilmiah terhadap teks agama (al-Qur’an) yaitu dilakukan dengan pendekatan linguistik. Pendekatan linguistik versi Nashr Hamid tidak menempatkan peranan pencipta teks (Allah SWT)[53] dalam menafsirkan teks, tapi peranan tersebut secara mutlak diserahkan pada pembaca teks (manusia), dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya. Corak penafsiran teks Nashr Hamid lebih ditekankan paa superioritas data empiris dan menjadikannya sebagai landasan pokok berbudaya dan beragama.[54] Dengan demikian, interpretasi dn makna teks tidak pernah bepenghujung, bahkan ia senantiasa berkembang seiring dengaan berkembangnya realitas. Sebab teks berasal dari realitas, sehingga makna teks pun dengan sendirinya harus mengikuti perubahan realitas.

Dengan menggunkan prinsip ini, maka makna teks al-Qur’an pun tidak pernah sampai pada makna final. Sebab menurut Nashr Hamid yang bersifat final dan tetap hanyalah Allah. Inilah sejatinya paham realisme (al-waqi’iyyah) yang memandang bahwa realitas lahiriyah (material) dapat menggambarkan wujud hakiki, tanpa memerlukan pengetahuan akal.[55] Dengan menyelami realitas disekitar teks, maka Nashr Hamid mempromosikan mekanismenya dalam memaknai sebuah teks. Yaitu teks ditinjau dari latar belakang kondisi historisnya yang didukung oleh analisa linguistik. Inilah hakekat ‘proyek penyelidikan ilmiah’ versi Nashr Hamid. Sebab teks-teks agama bukanlah solusi akhir melainkan sekedar kumpulan teks-teks linguistik, yang berarti bahwa teks-teks tersebut bersandr pada kerangka kebudayaan terbatas, yang sempurna pembuatannya (diproduksi) sesuai dengan aturan legal kebudayaan tersebut dan memposisikan bahasa sebagai system pemaknaannya yang sentral.[56]

Dalam pendapatnya bahwa al-Qur’an sebagai teks manusiawi, kebenaran al-Qur’an tidak lagi dinyatakan mutlak, sebaliknya dianggap telah bergeser dari makna yang relatif. Maka bagi kaum Islam Liberal, hermeneutika dipandang perlu sebagai perangkat interpretasi keagamaan. Pendapat Nashr Haid ini diperkuat oleh muridnya Moch Nurikhwan dengan mengatakan bahwa hermeneutika dimaknai sebagai teori dan metode yang memfokuskan dirinya pada problem pemahaman teks. Dikataan problem, mengingat sejak diwahyukan, al-Quraan dirasakan sulit untuk dipahami dan dijelaskan. Problem itu rumit manakala Rasulullah wafat, sehingga tidak ada lagi otoritas tunggal yag menggantikannya. Oleh karena itu, penggunaan hermeneutika dalam studi al-Qur’an tidak bisa diabaikan lagi. Bahkan saat ini hermeneutika al-Qur’an dinyatakan telah menjelma menjadi kajian interdisiplin yang memerlukan penerapan ilmu-ilmu dan humanitas.

Nashr Hamid memandang al-Qur’an secaara dikhotomis yang memiliki dua dimensi: dimensi historis (nisbi, relative dan berubah) dan dimensi ketuhanan (mutlak dan tetap), lalu Nashr Hamid mempertanyakan “apakah setiap yang termaktub dalam al-Qur’an adalah firman Allah yang harus diaplikasikan?” pertanyaan ini dijawabnya dengan manganalogikan pada bible dalam pandangan Kristen, “according to christian doctrine, not everything that jesus said was said as the son of god. sometimes jesus behaved just as  man”.[57]


Akhiru-l kalam
Al-Qur’an kitab pegangan hidup umat Islam yang kita aminin bersama, dalam pemikiran Nashr Hamid merupakan kitab suci yang tidak lagi agung dalam artian kitab yang sakral. Hal ini dibuktikannya dengan memberikan pernyataan, bahwa apabila pernyataan al-Qur’an sebagai kitab suci tetap dipertahankan maka akan menghalangi pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Menurutnya, para ulama tradisional yang memberikan batasan penafsiran al-Qur’an, menjadikan penafsiran-penafsiran al-Qur’an yang mengandung kepentingan-kepentingan atau sebuah ideologi tertentu.

Oleh karenanya, sebuah keniscayan guna membongkar bangunan lama yang telah mengakar tersebut dengan menghadirkan metodelogi kritik bahasa dan sastra. Sehingga al-Qur’an yang kita percaya sebagai teks murni dari Tuhan, dapat ditafsirkan menurut pembacanya tanpa harus adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsirannya. Dan ia menyatakan, sebelum menafsirkan al-Qur’an, hendaknya kita memaknainya sebagai kitab agung berbahasa Arab.

Berawal dari makalah sederhana ini, penulis mengajak para pembaca untuk lebih dalam mempelajari lebih pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd. Dan dapat memberikan kritikan-kritikan yang membangun dalam setiap pendapatnya. Semoga makalah ini dapat memberikan inspirasi tersendiri buat pembaca, kekurangan dalam penulisan merupakan suatu keterbatasan dari penulis. Wallahu ‘alam bishowab.

Daftar Pustaka

Abu Zayd, Nashr Hamid, Naqd al-Khitab al-Dini, Kairo: Sina li al-Nashr, 1992, edisi 1
Abu Zayd, Nashr Hamid dan Nelson Esther R., Voice of an Exile: Reflection on Islaam: Westport, Connecticut, London, 2004
Abu Zayd, Nashr Hamid, al-Imam al Syafi’il wa Ta’sis al-Aidiulujiyyah al-Wasatiyyah, Matabah madbuli, Kairo, 2003
Abu Zayd, Nashr Hamid,  Al-Nash, al-Sulthah, al-haqiqah
Abu Zayd, Nashr Hamid, al-Qur’an Hermeneutika dan Kekuasaan, RQiS, Bandung, cetakan 1, 2003
Abu Zayd, Nashr Hamid, Mafhum al-Nass: Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, Markaz al-Shaqafi al-‘arabi, Beirut
Al-Kulli, Amin, Manahij Tajdid fi al-Nahwu wa al-Balagha wa al-Tafsir wa al-Adab, al-Hay’a al-Misriyya al-‘Amma li-al-Kitab, Kairo, cetakan I, 1995
Al-Qur’an al-Karim
Armas, Adnin, Metodelogi Bible dalam Studi Al-Qur’an Kjian Kritis, Gema Insani, Jakarta, Cetakan ketiga, 2007
Husaini, Adian dan Salahuddin Henri, Studi Komparatif: Konsep Al-Qur’an Nashr hamid dan Mu’tazilah, majalah Islamia, Th 1 No. 2/Juni-Agustus 2004.
Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd, Teraju, Jakarta, cet.pertama, 2003
Majalah Gatra, Nomor 44 beredar 44 Jum’at 10 September 2004
Rahman, Yusuf, The Hermeneutical Theory of Nashr Hamid Abu Zayd : An Analytical Study of His Method of Interpreting the Qu’an, A Thesis of the degree of  Doktor of Philosophy, Institute of Islamic Studies McGill University Montreal, Canada, 2001
www.wikipedia.org/…/wiki/nashr/_Abu_Zayd


[1] Nashr Hamid, Mafhum al-Nass: Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, Markaz al-Shaqafi al-‘arabi, Beirut, p. 12-13
[2] Ibid, p. 10
[3] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd, Teraju, Jakarta, cet.pertama, 2003, p. 42
[4] Ibid, p. 71
[5] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 26
[6] www.wikipedia.org/…/wiki/nashr/_Abu_Zayd
[7] Moch. Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, p. 65
[8] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 15
[9] Moch. Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, p. 65
[10] Ibid, p. 68
[11] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 56-57
[12] Ibid, p. 69
[13] Nash Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini, Kairo: Sina li al-Nashr, 1992, edisi 1
[14] Nash Hamid Abu Zayd dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflection on Islam (London: Westport, Connecticut, 2004), p. 96
[15] Ibid, p. 97
[16] Wawancara, Gatra, Nomor 44 beredar 44 Jum’at 10 September 2004
[17] Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-nass…, p. 59, 65
[18] Adian Husaini dan Henri Salahuddin, Studi Komparatif: Konsep Al-Qur’an Nashr hamid dan Mu’tazilah, majalah Islamia, Th 1 No. 2/Juni-Agustus 2004.
[19] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 10, 19
[20] Ibid,, p. 16
[21] Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nashr Hamid Abu Zayd : An Analytical Study of His Method of Interpreting the Qu’an, A Thesis of the degree of  Doktor of Philosophy, Institute of Islamic Studies McGill University Montreal, Canada, 2001, p. 48
[22] Amin Al-Kulli, Manahij Tajdid fi al-Nahwu wa al-Balagha wa al-Tafsir wa al-Adab, al-Hay’a al-Misriyya al-‘Amma li-al-Kitab, Kairo, cetakan I, 1995, p. 203-243
[23] Adnin Armas, Metodelogi Bible dalam Studi Al-Qur’an Kjian Kritis, Gema Insani, Jakarta, Cetakan ketiga, 2007, p. 70
[24] Nashr Hamid Abu Zayd an Ester R. Nelson, Voice of fn Exile: Reflection of Islam, (London: Westport, Connecticut, 2004) p. 57
[25] Adnin Armas, Metodelogi Bible dalam Studi Al-Qur’an Kajian Kritis, p. 71
[26] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 24
[27] Moch. Nur Ichwan, A New Horizon in qur’anic Hermeneutic, p. 52
[28] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 10; 18
[29] Ibid, p. 26
[30] Nashr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Dini, Sina li l-Nashr, Kairo, cetakan pertama, p. 93
[31] Nashr Hamid Abu Zaid, Al-Nash, al-Sulthah, al-haqiqah, p. 86-95
[32] Nash Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Dini, p. 197
[33] Adnin Armas, Metodelogi Bible dalam Studi Al-Qur’an Kajian Kritis, p. 73
[34] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritik al-Qur’an : Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zaid, Teraju, Jakarta, cetakan pertama, 2003, p. 66-67
[35] Surat al-Nahl: 89
[36] Surat al-An’am: 38
[37] Moch. Nur Ichwan, A New Horizon in Qu’anic Hermeneutics, p. 96
[38] Nashr Hamid Abu Zayd, al-Nash, al-Shultah, al-Haqiqoh (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al’Arabi, 1995), p. 86-87
[39] Nashr Hamid, Mafhum al-nass…, p. 12
[40] Dalam “The Death of the Author”, Roland Barthes mengemukakan, pengarang seharusnya lepas keddalam teks utuk kemudian menghilang. Jadi, ketika pembaca dating untuk memaknai teks, ia tidak lagi menemukan jejak pengarang. Teks yang lahir menghalangi jarak pandang pembaca ke pengarang. Lihat juga; Moch. Nur Ichwan, A New Horizon in Qu’anic Hermeneutics, p. 50
[41] Nashr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini, p. 142
[42] Nashr Hamid Abu Zayd, al-Qur’an Hermeneutika dan Kekuasaan, RQiS, Bandung, cetakan 1, 2003, p. 91
[43] Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nashr Hamid Abu Zayd ; An Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur’an, A Thesis of the degree of Doktor of Philosophy, Institute Islamic Studies McGill University Montreal, Canada, 2001, p. 122
[44] Nashr Hamid Abu Zayd, mafhum al-Nass, p. 25
[45] Ibid, p. 24, 25
[46] Barbara A. Holdrege, veda and Torrah: Transending the Textuality of Scripture (Albany: State University of New York Press, 1996), p. 418-419, dikutip dalam buku Kritik Studi Al-Qur’an Nashr Hamid, pengarang; Lalu Nurul Bayanil Huda, penerbit, Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), Institut Studi Islam Darussalam Pondok Modern Darussalam Gontor, p. 35
[47] Nashr Hamid Abu Zayd, Naqdu l-Khitab al-Dini, p. 6
[48] Ibid, p. 8
[49] Ibid, p. 6-7
[50] Ibid, p. 9
[51] Ibid, p. 185
[52] Ibid, p. 16
[53] Peranan Pencipta Teks (Allah) dalam penafsiran adalah menafsirkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits yag dikenal dengan khazanah metodelogi tafsir al-qur’an. Metode ini ditolak oleh Nashr Hamid karena menurutnya tidak ilmiah dan tidak rasional.
[54] Nashr Hamid Abu Zayd, Naqdu l-Khitab al-Dini, p. 99
[55] Munir ba’albaki, al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, (Dar al-‘illm li- l-Malayin, Beirut:1995), p. 762
[56] Nashr Hamid Abu Zayd, Naqdu l-Khitab al-Dini, p. 193
[57] Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya, voice of an exile reflection on Islam (Conneticut/London, Praeger:2004), p. 174-175 dikutip oleh Henri Salahuddin, Serangan terhadap Konsep Wahyu dan Tafsir di Zaman Modern

Sumber: http://luznadamai.wordpress.com/2011/01/31/studi-al-qur%E2%80%99an-nashr-hamid-abu-zayd/

0 Response to "STUDI AL-QUR’AN NASHR HAMID ABU ZAYD"

Posting Komentar