Jejak Syariah dan Khalifah di Indonesia II

Dalam bidang pertanahan, terutama tentang hak pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari telah menjelaskan ketentuannya dalam kitab Fathul Jawad yang isinya memuat ketentuan fikih yang diantarannya ihyaul mawat. Dalam pasal 28 UU Sultan Adam Kerajaan Banjar, dijelaskan bahwa tanah pertanian yang subur di daerah Halabiu dan Negara adalah dibawah kekuasaan kerajaan. Karena itu, tidak boleh seorangpun melarang orang lain menggarap tanah tersebut kecuali memang diatas tanah itu ada tanaman atau bukti lainnya bahwa tanah itu sudah menjadi milik penggarap terdahulu. Ketentuan ini memang sesuai dengan ketentuan fikih Islam yang menyatakan bahwa tanah liar atau tanah yang belum digarap adalah dibawah kekuasaan raja (negara) dan siapa saja yang menggarapnya adalah yang memilikinya. Dengan demikian nampak jelas bahwa Islam dan syariatnya sudah menyatu dan terimplementasi secara menyeluruh dan sistemis.


Hubungan dengan Khilafah

Institusi politik yang ada di Nusantara ini kelihatan memiliki hubungan dengan Khilafah Islamiyah. Diantara yang menunjukkan hal ini adalah saat Islam masuk ke Indonesia diantara para pengemban dakwahnya merupakan utusan langsung yang dikirim oleh khalifah melalui walinya. Misalnya, pada tahun 808H/1404M pertama kali para ulama utusan Sultan Muhammad I (juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani) ke pulau Jawa (dan kelak dikenal dengan nama walisongo). Setiap periode ada utusan yang tetap dan ada pula yang diganti. Pengiriman ini dilakukan selama lima periode.

Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra-Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa. Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga dai ulama ke Jawa menggantikan dai yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Jafar Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati). Mulai tahun 1463M makin banyak dai ulama keturunan Jawa yang menggantikan dai yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu Putri Prabu Menak Sembuyu Raja Blambangan, Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qasim (Sunan Drajad) dua putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit. Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.

Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah mau menolong mereka. Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung. Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjaata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki.

Hubungan ini nampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah. Hasil misi ke Mekah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten sejak awal memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada dibawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari syarif mekah.(bersambung)


Hubungan erat ini nampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani (1300-1922). Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567 Sultan Salim II mengirim sebuah armada ke Sumatra, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan snouck Hourgroye menyatakan, Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk muslimin di Indonesia. Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki. Di istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam. Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki. Pada masa itu, yang disebut-sebut sultan Turki tidak lain adalah Khalifah pemimpin Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu Snouck Hurgrounye sebagaimana yang dkutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol [Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah] masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir tetapi masih dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah. Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani.

Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah. Dengan mengacu pada format sistem kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat khilafah Utsmaniyah di Turki.

Redupnya Penerapan Islam

Berkembangnya dan diterapkannya syariat Islam oleh hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia menyebabkan pemerintah Belanda berupaya sekuat tenaga untuk menghancurkannya. Upaya-upaya sistematis segera disusun untuk merealisir rencana tersebut. Salah satu langkah pentingyang dilakukannya adalah infiltrasi pemikiran dan politik melalui Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama melainkan Islam sebagai doktrin politik. Selain itu juga Snouck Hurgronye, dalam ceramahnya di depan Civitas akademika NIBA (Nederlands Indische Bestuurs Academie), Delft tahun 1911 memberikan penjelasan tentang politik Islam, yaitu: (1) Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama hendaknya pemerintah bersikap netral, (2) Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam menuntut penghormatan (3) Tiada satu pun bentuk Pan Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa. Doktrin ketiga ini yang akhirnya mengilhami pemerintah Belanda memberangus setiap kelompok atau gerakan Islam yang berbasis pada politik.

Dari pandangan Snouck tersebut selanjutnya diformulasikan strategi yang dipakai untuk melemahkan dan menghancurkan Islam yang meliputi 3 kategori. Pertama: memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan oleh VOC. Setelah VOC dibubarkan tahun 1799, dan diambilalih langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka keluarlah Ordonansi yang mencabut penerapan Islam di Banten, dan bahkan kemudian menghapuskan kekuasaan Kesultanan Banten. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial.

Kedua, melalui kerjasama antara raja/sultan dengan penjajah Belanda. Pelaksanaan syariat Islam tergantung pada sikap sultannya. Di kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.

Ketiga: Soft power, yakni dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasehat pemerintah dalam masalah pribumi). Secara kasat mata nampak memperhatikan umat, tapi banyak mengeluarkan ordonansi (UU) yang seakan-akan Islami padahal mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye. Kantor ini selanjutnya mengeluarkan Ordonansi-ordonansi yang menghambat Islam dan perkembangannya. Sebagai contoh adalah Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882 yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri masalah agama (sekulerisasi). Ordonansi Perkawinan tahun 1905 yang memberikan kesempatan seseorang kawin di catatan sipil, mewajibkan seseorang beristri satu dengan menutup pintu poligami, sedang perceraian hanya jatuh bila dilakukan melalui peradilan. Ordonansi Pendidikan yang bertujuan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Islam dianggap tidak pernah ada usaha ke arah kemajuan, melainkan justeru menuju kebekuan. Peraturan Islam dianggap merupakan rintangan paling besar. Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh ijin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923 merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.

Demikianlah secara langsung maupun tidak, syariat Islam mulai diganti. Dalam bidang Politik, pemerintahan dan kriminal pemerintah Belanda langsung mengganti Syariat Islam dengan memberlakukan hukum Hindia Belanda. Sedangkan hal-hal yang bersifat privasi menggunakan ordonansi yang fungsinya melemahkan syariat Islam, mulai pernikahan hingga pendidikan.(bersambung)

0 Response to "Jejak Syariah dan Khalifah di Indonesia II"

Posting Komentar