Bab 2 KAPAN MEKKAH ADA ?
by Badra Naya on Tuesday, July 12, 2011 at 2:52am
Banyak sarjana Barat, khususnya Patricia Crone dalam bukunya - Meccan Trade And The Rise of Islam ( Perdagangan Mekah Dan Kebangkitan Islam), menyelidiki asal-usul kota suci Islam ini, dan akhirnya menemukan tidak ada tempat yang dikenal sebagai Mekkah di abad 7 M, meskipun Thaif, kota terdekatnya, pernah tertulis dalam laporan-laporan bersama dengan Khaybar dan Yathrib (Madinah).
Menurut Tradisi Islam, Mekkah, yang dipimpin oleh suku terkuat 'Quraish', sudah menjadi pusat perdagangan besar serta tempat peziarahan,. Namun tidak ada satu prasasti apapun di seluruh Arab yang ditemukan sebelum Islam terbentuk di awal abad ke-8 untuk menyokong klaim-klaim tersebut. Hal semacam itu diberikan dalam prasasti yang ditemukan di seluruh Saudi, sebelum Islam mapan, di awal abad ke-8. Kita telah melihat dalam prasasti Abrahah bahwa tidak ada apapun yang menyebutkan Mekkah, atau Quraisy, jika tempat dan suku itu benar-benar ada dan berpengaruh.
Quran tidak pernah menyebutkan kata ‘Mekkah’ dengan nama kecuali dalam QS 48:24 yang konon merupakan surah yang diturunkan di Madinah di tahun-tahun belakangan (surah ke-111), jadi saya bertanya-tanya. Namun berkat situs Koran-Only, jawabannya ditemukan . Pelafalan MK ata MKK bukan berarti suatu kota, melainkan kata dalam bahasa Arab yang berarti penghancuran / kehancuran, sama sekali runtuh.
Mari kita lihat kutipan yang luar biasa ini: http://www.free-minds.org/language
Banyak sarjana Barat, khususnya Patricia Crone dalam bukunya - Meccan Trade And The Rise of Islam ( Perdagangan Mekah Dan Kebangkitan Islam), menyelidiki asal-usul kota suci Islam ini, dan akhirnya menemukan tidak ada tempat yang dikenal sebagai Mekkah di abad 7 M, meskipun Thaif, kota terdekatnya, pernah tertulis dalam laporan-laporan bersama dengan Khaybar dan Yathrib (Madinah).
Menurut Tradisi Islam, Mekkah, yang dipimpin oleh suku terkuat 'Quraish', sudah menjadi pusat perdagangan besar serta tempat peziarahan,. Namun tidak ada satu prasasti apapun di seluruh Arab yang ditemukan sebelum Islam terbentuk di awal abad ke-8 untuk menyokong klaim-klaim tersebut. Hal semacam itu diberikan dalam prasasti yang ditemukan di seluruh Saudi, sebelum Islam mapan, di awal abad ke-8. Kita telah melihat dalam prasasti Abrahah bahwa tidak ada apapun yang menyebutkan Mekkah, atau Quraisy, jika tempat dan suku itu benar-benar ada dan berpengaruh.
Quran tidak pernah menyebutkan kata ‘Mekkah’ dengan nama kecuali dalam QS 48:24 yang konon merupakan surah yang diturunkan di Madinah di tahun-tahun belakangan (surah ke-111), jadi saya bertanya-tanya. Namun berkat situs Koran-Only, jawabannya ditemukan . Pelafalan MK ata MKK bukan berarti suatu kota, melainkan kata dalam bahasa Arab yang berarti penghancuran / kehancuran, sama sekali runtuh.
Mari kita lihat kutipan yang luar biasa ini: http://www.free-minds.org/language
Makka(t) atau Mekkah
Tidaklah mengherankan jika prasasti Abrahah tidak menyebutkan atau
bahkan menyinggung sebuah kota bernama Makka (t). Sama sekali tidak ada
bukti tentang sebuah kota bernama Makka (t) yang melatar-belakangi
cerita pewahyuan besar dari Jibril kepada Muhammad. Bahkan semua
pengkaji setuju bahwa nama Maka (t) tidak pernah muncul dalam naskah
pra-quran manapun.
Mereka yang mempromosikan historisitas Mekah dipaksa untuk membawa referensi satu-satunya dari Ptolmey (sejarawan Romawi) tentang sebuah kota dengan nama Macoraba dan bukan Makka, untuk satu alasan sederhana yang mereka tahu betul bahwa sama sekali tidak ada referensi yang dianggap penting tentang kota Makka. Fakta bahwa ada kota-kota yang kurang begitu penting dibanding Mekkah namun tertulis dalam prasasti Raja Abraha, membuat kita bertanya mengapa kota Mekkah, yang konon begitu penting, tidak pernah muncul dalam prasasti itu.
Menurut kamus bahasa Arab klasik, kata "Maka (t)" utamanya berarti "penghancuran / luruh”. Hal ini tercantum dalam kamus bahasa Arab klasik baik itu dengan kata dasar MKK atau MK. Al-Mohit menuliskannya dengan kata ‘MKK’, dan arti yang diberikannya adalah kehancuran dan luruh, yang konsisten dengan konteks suatu kebuntuan di QS 48:24. Ia juga mendaftarkan arti lain dari MKK sebagai : ‘desakan musuh terhadap sesuatu’, yang juga konsisten dengan suasana penyanderaan seperti yang dilukiskan dalam QS 48:24.
Lisan Al-Arab mendaftarkan MK dan makna MK (t) sebagai "kehancuran" dan TMK sebagai "menghancurkan". Al-Wasit mendaftar MK, dengan makna : (bumi) mengisap semuanya, meneguhkan arti dari “balas dendam dari musuh”, dan hal semua benda dihancurkan. Al-Ghani mendaftarkan makna kata MKK sebagai : (bumi) menghisap, bersikeras dengan tuntutan pada musuh.
Berikut adalah terjemahan dari QS 48:24 dengan menggunakan kamus-kamus Klasik dan konteks perang dari ayat-ayat untuk menerjemahkan deskripsi umum "Makka(t)":
Mereka yang mempromosikan historisitas Mekah dipaksa untuk membawa referensi satu-satunya dari Ptolmey (sejarawan Romawi) tentang sebuah kota dengan nama Macoraba dan bukan Makka, untuk satu alasan sederhana yang mereka tahu betul bahwa sama sekali tidak ada referensi yang dianggap penting tentang kota Makka. Fakta bahwa ada kota-kota yang kurang begitu penting dibanding Mekkah namun tertulis dalam prasasti Raja Abraha, membuat kita bertanya mengapa kota Mekkah, yang konon begitu penting, tidak pernah muncul dalam prasasti itu.
Menurut kamus bahasa Arab klasik, kata "Maka (t)" utamanya berarti "penghancuran / luruh”. Hal ini tercantum dalam kamus bahasa Arab klasik baik itu dengan kata dasar MKK atau MK. Al-Mohit menuliskannya dengan kata ‘MKK’, dan arti yang diberikannya adalah kehancuran dan luruh, yang konsisten dengan konteks suatu kebuntuan di QS 48:24. Ia juga mendaftarkan arti lain dari MKK sebagai : ‘desakan musuh terhadap sesuatu’, yang juga konsisten dengan suasana penyanderaan seperti yang dilukiskan dalam QS 48:24.
Lisan Al-Arab mendaftarkan MK dan makna MK (t) sebagai "kehancuran" dan TMK sebagai "menghancurkan". Al-Wasit mendaftar MK, dengan makna : (bumi) mengisap semuanya, meneguhkan arti dari “balas dendam dari musuh”, dan hal semua benda dihancurkan. Al-Ghani mendaftarkan makna kata MKK sebagai : (bumi) menghisap, bersikeras dengan tuntutan pada musuh.
Berikut adalah terjemahan dari QS 48:24 dengan menggunakan kamus-kamus Klasik dan konteks perang dari ayat-ayat untuk menerjemahkan deskripsi umum "Makka(t)":
And it is He Who has restrained their hands from you and your hands from them in the midst of destruction after that He gave you the victory over them. And Allah sees well all that ye do.”
terjemahan bahasa indonesia :
''Dan Dialah yang telah menahan tangan mereka dari kalian dan tangan kalian dari mereka di tengah-tengah kehancuran setelah itu Ia memberi kalian kemenangan atas mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan''
Saya menggunakan terjemahan Yusuf Ali tapi sementara dia meninggalkan kata “Makka (t)” tetap
tidak diterjemahkan, saya justru menerjemahkan artinya. Seperti yang
anda dapat dilihat, makna bahasa Arab klasik jelas cocok dalam konteks
kebuntuan militer di QS 48:24.
Berdasarkan konteks dari Quran, bukti linguistik dari kamus bahasa Arab, dan tidak adanya bukti yang mendukung bahwa ada kota "pra-Quranik" kota dengan nama Maka (t), satu-satunya kesimpulan logis berisi adalah bahwa "Maka (t)" bukan nama kota "pra-Quran", tapi hanyalah sebuah kata benda umum biasa ( yang menyatakan suatu kehancuran, keluruhan) seperti ribuan kata benda lain dalam Quran.
Sekarang artikel di bawah ini, yang saya ambil dari web yang sama di atas, membahas tentang Kaabah, atau juga Kaaba dan Kaaba(t) yang konon berada di kota ‘Mekkah’ .
Berdasarkan konteks dari Quran, bukti linguistik dari kamus bahasa Arab, dan tidak adanya bukti yang mendukung bahwa ada kota "pra-Quranik" kota dengan nama Maka (t), satu-satunya kesimpulan logis berisi adalah bahwa "Maka (t)" bukan nama kota "pra-Quran", tapi hanyalah sebuah kata benda umum biasa ( yang menyatakan suatu kehancuran, keluruhan) seperti ribuan kata benda lain dalam Quran.
Sekarang artikel di bawah ini, yang saya ambil dari web yang sama di atas, membahas tentang Kaabah, atau juga Kaaba dan Kaaba(t) yang konon berada di kota ‘Mekkah’ .
Kaabah
Benar-benar tidak ada bukti secuilpun tentang sebuah kuil "pra-Quran"
yang disebut Kaa'bah (t). Ada banyak kuil-kuil suci sebelum jaman Quran ,
namun tak satupun disebutkan tentang Kaabah di Mekkah dalam ribuan
inskripsi di kuil-kuil tersebut atau sekitarnya. Bahkan, nama Kaa'bah
(t) tidak ditemukan dalam manuskrip dan inskripsi pra-Quran.
Kita tahu bahwa pada jaman "pra-Quran" orang-orang Arab memuja berhala bernama Allat, Aluzza, dan Manwat (lihat QS 53: 19-20) . Mereka semua adalah berhala Nabatea. Sementara orang-orang Yunani-Romawi selalu menghadirkan dewa-dewi mereka dengan bentuk manusia, kaum Nabataean mencitrakan dewa-dewi mereka dengan bentuk-bentuk geometris seperti blok batu persegi, meteorit suci, atau bentuk-bentuk persegi yang diukir ke dalam dinding batu dan kadang-kadang ditingkatkan dengan gambar mata dan hidung. Sumber-sumber sejarah, seperti Leksikon Suda, menyatakan bahwa patung berhala Nabatea Dhu al-Shaara adalah bangunan batu persegi hitam polos (unworked square black stone). Maximus dari Tirus pada abad ke-2 ,dalam bukunya Philosophoumena, berkomentar bahwa orang Arab memiliki patung-patung berupa batu persegi. Ada bukti arkeologis yang melimpah bahwa batu batu seperti yang ada di kota saat ini disebut Makka (t) yang tingginya sedikit lebih panjang dari ukuran dimensi lain yang adalah representasi dari berhala Dhu Al-Shaara. Gambar di bawah ini menggambarkan beberapa bukti arkeologi di Utara Saudi dan Nabatea pos terdepan.
Perhatikan bahwa blok batu di sebelah kanan bertuliskan kata "Dusari", yaitu bahasa Latin dari Dhu al-Shaara . Nama Ka'bah (t) tidak pernah ditemukan pada atau berhubungan dengan salah satu kuil berbentuk kubus "pra-Quran" milik bangsa Arab. Di sisi lain kita melihat bahwa nama Dhu Al-Shaara dikaitkan dengan batu tersebut. Hal ini membawa kita kepada kesimpulan bahwa dalam jaman "pra-Quran" kubus batu itu tidak bernama Ka'bah (t) tapi bernama Dhu Al-Shaara.
Pada abad keempat Masehi, Epifanius, uskup Salamis, Siprus menulis surat yang menggambarkan sekte seperti sekte Nabatea dan perayaan festival mereka atas kelahiran Dhu al-Shaara di sekitar musim dingin pada saat titik balik matahari (solstice). Sangat menarik bahwa perayaan kelahiran ini memuncak pada acara membawa keluar dari bawah bumi patung bayi laki-laki, yang dijunjung dan dan diarak tujuh kali mengelilingi ruang dalam kuil pagan. [Lihat Langdon, S., Mitologi Semit, The Mitologi Semua Races, Vol. V. Boston: Arkeologi Institute of America, Marshall Perusahaan Jones, 1931, halaman 19]
Dengan mengubah nama Dhu al-Shaara menjadi Ka'bah, kaum pagan telah berhasil melanjutkan praktek berputar tujuh kali mengelilingi Dhu Al-Shaara sampai hari ini, di balik topeng ritual ‘mengikuti petunjuk Quran ’ (penerjemah : praktek Thawaf dalam ritual haji).
Seperti kota saat ini yang diberi nama Makka (t), kubus berhala batu itu pun diberi nama baru, dari Dhu Al-Shaara menjadi Kaa'bah (t) untuk mencocokkan kata benda umum "Ka'bah (t)" dalam Qur’an. Seperti halnya "Maka (t)", yang memiliki makna yang sesuai dalam konteks QS 48:24, yakni hanya sebagai kata benda umum, (yang hanya berarti kehancuran) , Kaaba (t)" memiliki arti yang cocok dalam konteks QS 5:97.
Istilah "Ka'ab" dalam bahasa Arab digunakan untuk menggambarkan tumit / dasar sepatu. Di daerah pedesaan Utara Saudi, orang masih menggunakan istilah "Ka'ab al-wadi" untuk menunjukkan dasar lembah. Oleh karena itu, makna "Ka'bah (t) adalah" dasar ".
Arti ini sesuai dengan konteks QS 5:95 & 97:
Kita tahu bahwa pada jaman "pra-Quran" orang-orang Arab memuja berhala bernama Allat, Aluzza, dan Manwat (lihat QS 53: 19-20) . Mereka semua adalah berhala Nabatea. Sementara orang-orang Yunani-Romawi selalu menghadirkan dewa-dewi mereka dengan bentuk manusia, kaum Nabataean mencitrakan dewa-dewi mereka dengan bentuk-bentuk geometris seperti blok batu persegi, meteorit suci, atau bentuk-bentuk persegi yang diukir ke dalam dinding batu dan kadang-kadang ditingkatkan dengan gambar mata dan hidung. Sumber-sumber sejarah, seperti Leksikon Suda, menyatakan bahwa patung berhala Nabatea Dhu al-Shaara adalah bangunan batu persegi hitam polos (unworked square black stone). Maximus dari Tirus pada abad ke-2 ,dalam bukunya Philosophoumena, berkomentar bahwa orang Arab memiliki patung-patung berupa batu persegi. Ada bukti arkeologis yang melimpah bahwa batu batu seperti yang ada di kota saat ini disebut Makka (t) yang tingginya sedikit lebih panjang dari ukuran dimensi lain yang adalah representasi dari berhala Dhu Al-Shaara. Gambar di bawah ini menggambarkan beberapa bukti arkeologi di Utara Saudi dan Nabatea pos terdepan.
Perhatikan bahwa blok batu di sebelah kanan bertuliskan kata "Dusari", yaitu bahasa Latin dari Dhu al-Shaara . Nama Ka'bah (t) tidak pernah ditemukan pada atau berhubungan dengan salah satu kuil berbentuk kubus "pra-Quran" milik bangsa Arab. Di sisi lain kita melihat bahwa nama Dhu Al-Shaara dikaitkan dengan batu tersebut. Hal ini membawa kita kepada kesimpulan bahwa dalam jaman "pra-Quran" kubus batu itu tidak bernama Ka'bah (t) tapi bernama Dhu Al-Shaara.
Pada abad keempat Masehi, Epifanius, uskup Salamis, Siprus menulis surat yang menggambarkan sekte seperti sekte Nabatea dan perayaan festival mereka atas kelahiran Dhu al-Shaara di sekitar musim dingin pada saat titik balik matahari (solstice). Sangat menarik bahwa perayaan kelahiran ini memuncak pada acara membawa keluar dari bawah bumi patung bayi laki-laki, yang dijunjung dan dan diarak tujuh kali mengelilingi ruang dalam kuil pagan. [Lihat Langdon, S., Mitologi Semit, The Mitologi Semua Races, Vol. V. Boston: Arkeologi Institute of America, Marshall Perusahaan Jones, 1931, halaman 19]
Dengan mengubah nama Dhu al-Shaara menjadi Ka'bah, kaum pagan telah berhasil melanjutkan praktek berputar tujuh kali mengelilingi Dhu Al-Shaara sampai hari ini, di balik topeng ritual ‘mengikuti petunjuk Quran ’ (penerjemah : praktek Thawaf dalam ritual haji).
Seperti kota saat ini yang diberi nama Makka (t), kubus berhala batu itu pun diberi nama baru, dari Dhu Al-Shaara menjadi Kaa'bah (t) untuk mencocokkan kata benda umum "Ka'bah (t)" dalam Qur’an. Seperti halnya "Maka (t)", yang memiliki makna yang sesuai dalam konteks QS 48:24, yakni hanya sebagai kata benda umum, (yang hanya berarti kehancuran) , Kaaba (t)" memiliki arti yang cocok dalam konteks QS 5:97.
Istilah "Ka'ab" dalam bahasa Arab digunakan untuk menggambarkan tumit / dasar sepatu. Di daerah pedesaan Utara Saudi, orang masih menggunakan istilah "Ka'ab al-wadi" untuk menunjukkan dasar lembah. Oleh karena itu, makna "Ka'bah (t) adalah" dasar ".
Arti ini sesuai dengan konteks QS 5:95 & 97:
The God has made the base the restriction house maintenance for the people and the restriction month and the gift/guidance and the means of control so that you know that The God knows what is in the heavens and the earth and that The God is knowledgeable with everything.
Terjemahan langsung dari ayat berbahasa Inggris di atas :
Allah telah membuat dasar rumah suci - pemeliharaan bagi orang-orang, dan bulan Larangan dan dan karunia / bimbingan dan alat kontrol sehingga kalian mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang di langit dan di bumi dan bahwa Allah maha mengetahui segala sesuatu.
Terjemahan menurut
http://m.alquran-indonesia.com yang saya lepaskan tanda kurung penjelasannya.
Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat bagi manusia, dan bulan Haram (had-ya, qalaid ), demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Rumah yang dimaksud di atas adalah "dasar" di mana orang dapat berkumpul dengan aman QS 2:125:
QS 2:125 wrote:And We made the house an assembly for the people and a safety and take from the persistence of Ibrahim a lesson and We made a covenant to Ibrahim and Ismail that cleanse my house for the passers by, and the remaining, and the humbly hearing and obeying.
Terjemahan langsung dari ayat berbahasa Inggris di atas :
QS 2:125 wrote:Dan Kami membuat rumah tempat perkumpulan bagi rakyat dan keselamatannya dan ambillah pelajaran dari kegigihan Ibrahim dan Kami membuat perjanjian dengan Ibrahim dan Ismail yang membersihkan rumah Kami untuk para pejalan kaki, dan sisanya, dan dengan rendah hati mendengar dan taat.
Sebagai perbandingan, ayat quran QS 2:125 menurut terjemahan http://m.alquran-indonesia.com
Dan ketika Kami menjadikan rumah itu tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".
(Jika kita melihat pada ayat-ayat dalam bahasa Inggris terjemahan Yusuf
Ali , maka jelas bahwa kaa’ba berarti dasar, rumah dan pertemuan dimana
ada mekanisme pengambilan keputusan.) Ini adalah arti alami yang tidak
dipaksakan, seperti halnya dalam bahasa Inggris “House of
Representatives” (Dewan Perwakilah Rakyat) adalah dasar bagi pembentukan
undang-undang di mana mereka merancang dan membuat undang-undang.
Dan itu belum seberapa. Kita akan melihat sanggahan mengenai ritual Haji. Ritual Haji benar-benar merupakan penemuan sepenuhnya yang dicangkokan ke dalam Islam oleh para Tradisionalis tanpa dasar Quran sama sekali.
Dan itu belum seberapa. Kita akan melihat sanggahan mengenai ritual Haji. Ritual Haji benar-benar merupakan penemuan sepenuhnya yang dicangkokan ke dalam Islam oleh para Tradisionalis tanpa dasar Quran sama sekali.
Membongkar Kesucian Ritual Haji
Masih dalam kutipan situs yang sama:
http://www.free-minds.org/language
, yang adalah hasil penelaahan seseorang yang menamakan dirinya
‘Ayman’, kita menemukan hal penjelasan tentang apa makna Haji / hajj itu
sebenarnya.
Seperti yang kita lihat sebelumnya, bahasa Arab adalah bahasa orang umum dan bukan bahasa ilmiah atau bahasa agama. Jadi, setiap makna religius yang melekat pada kata dalam bahasa Arab dapat dicurigai dan patut diselidiki secara menyeluruh sebelum kita menerimanya. Dalam Quran, kita menemukan sebuah fenomena menarik. Kata dengan konotasi relijius dalam bahasa Inggris modern seperti "doa" dan "menyembah" tidak muncul sama sekali dalam Quran. Misalnya, kata “dua'a”, yang secara tradisional dipahami sebagai “doa” ( atau “pray” dalam bahasa Inggris), sebenarnya tidak memiliki konotasi relijius dan digunakan berkali-kali dalam Quran dalam penggunaan biasa yang tidak ada hubungannya dengan "doa" (misalnya, lihat QS 28:25). Oleh karena itu, yang terbaik adalah menerjemahkan kata “dua’a” ini sebagai “memanggil” dan bukan sebagai “doa”. Demikian pula, kata “abad”, yang secara tradisional dipahami sebagai “ibadah”, lebih baik dipahami sebagai “melayani” (misalnya, lihat QS 16:75, 2:221).
Istilah “dien” secara tradisional dipahami sebagai “agama”. Namun, kita dapat melihat bahwa kata ini digunakan dalam banyak hal yang berarti “kewajiban” (misalnya, lihat QS 56:86, 2:282, 4:11-12). Makna umum bahasa Arab yang non-religius dari “kewajiban” sebenarnya lebih cocok dari semua kemunculan kata "dien" dalam Quran. (lihat dalam bagian What’s In The Name http://www.free-minds.org/name )
Istilah “haji” secara tradisional dipahami sebagai “ziarah relijius”. Namun, sebuah penelitian Quran lebih dalam mengungkapkan bahwa istilah ini tidak ada hubungannya dengan ziarah keagamaan yang terorganisir. Misalnya, kita mendengar di QS 22:27:
Seperti yang kita lihat sebelumnya, bahasa Arab adalah bahasa orang umum dan bukan bahasa ilmiah atau bahasa agama. Jadi, setiap makna religius yang melekat pada kata dalam bahasa Arab dapat dicurigai dan patut diselidiki secara menyeluruh sebelum kita menerimanya. Dalam Quran, kita menemukan sebuah fenomena menarik. Kata dengan konotasi relijius dalam bahasa Inggris modern seperti "doa" dan "menyembah" tidak muncul sama sekali dalam Quran. Misalnya, kata “dua'a”, yang secara tradisional dipahami sebagai “doa” ( atau “pray” dalam bahasa Inggris), sebenarnya tidak memiliki konotasi relijius dan digunakan berkali-kali dalam Quran dalam penggunaan biasa yang tidak ada hubungannya dengan "doa" (misalnya, lihat QS 28:25). Oleh karena itu, yang terbaik adalah menerjemahkan kata “dua’a” ini sebagai “memanggil” dan bukan sebagai “doa”. Demikian pula, kata “abad”, yang secara tradisional dipahami sebagai “ibadah”, lebih baik dipahami sebagai “melayani” (misalnya, lihat QS 16:75, 2:221).
Istilah “dien” secara tradisional dipahami sebagai “agama”. Namun, kita dapat melihat bahwa kata ini digunakan dalam banyak hal yang berarti “kewajiban” (misalnya, lihat QS 56:86, 2:282, 4:11-12). Makna umum bahasa Arab yang non-religius dari “kewajiban” sebenarnya lebih cocok dari semua kemunculan kata "dien" dalam Quran. (lihat dalam bagian What’s In The Name http://www.free-minds.org/name )
Istilah “haji” secara tradisional dipahami sebagai “ziarah relijius”. Namun, sebuah penelitian Quran lebih dalam mengungkapkan bahwa istilah ini tidak ada hubungannya dengan ziarah keagamaan yang terorganisir. Misalnya, kita mendengar di QS 22:27:
And announce amongst people with the debate. They will come on foot and on every kind of lean transportation. They will come through every unobstructed passage.
Terjemahan ayat dalam bahasa Inggris di atas :
Dan umumkanlah di antara orang yang sedang dalam perdebatan. Mereka akan datang dengan berjalan kaki dan pada setiap jenis transportasi. Mereka akan datang melalui setiap bagian yang tak terhalangi.
Terjemahan menurut http://m.alquran-indonesia.com
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh
wa-adzdzin fii alnnaasi bialhajji ya/tuuka rijaalan wa'alaa kulli daamirin ya/tiina min kulli fajjin 'amiiqin.
Dalam QS 22:27 bahwa Ibrahim mengundang orang-orang dengan ( “bi”) perdebatan ( “al-haji” atau tidak (“li”) berdebat ("al-haji") untuk membuahkan suatu manfaat.
Dengan demikian, perdebatan("haji") atau dalam artian yang lebih tepat ‘tawar –menawar’ adalah alat untuk menarik orang yang berbeda dari semua lapisan masyarakat. Kita hanya bisa mengundang semua orang untuk sesuatu yang bermanfaat jika ada kesepakatan dan non-diskriminatif.
Mari kita beralih ke kasus Musa dan calon mertuanya.
QS 28:27 http://m.alquran-indonesia.com
Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik".
bahas arab latin :
qaala innii uriidu an unkihaka ihdaa ibnatayya haatayni 'alaa an ta/juranii tsamaaniya hijajin fa-in atmamta 'asyran famin 'indika wamaa uriidu an asyuqqa 'alayka satajidunii in syaa-a allaahu mina alshshaalihiina
Kita diberitahu dalam QS 28:27 bahwa Musa dipekerjakan untuk bekerja selama delapan tahun “Hijaj”. Untuk dipekerjakan sebagai apa? Jelas, ia disuruh untuk bekerja mengembalakan domba (28:23-24) dan bukan untuk ziarah keagamaan. Apa kaitannya antara bekerja menggembalakan domba dengan perdebatan atau tawar menawar (H'ajj)? Tentu, orang bekerja dan menghasilkan sesuatu kesepakatan sehingga mereka bisa berdebat dan tawar-menawar dengan produk mereka. Tawar-menawar adalah semacam perdebatan untuk menghasilkan manfaat bagi si penjual dan pembeli.
Dengan demikian, perdebatan / "al-H'ajj" adalah seperti pameran tahunan di mana orang bekerja sepanjang tahun dan kemudian pergi untuk menjual dan, atau, membeli produk. Pertengahan musim panas - awal musim gugur adalah waktu alami untuk event pasar seperti itu karena saat itu produksi dan ternak berlimpah (lihat: Blind Dating versus Perfect Timing http://www.free-minds.org/timing).
Pertemuan besar perdebatan, atau tawar-menawar (H'ajj) memberikan kesempatan yang baik untuk mengingatkan orang sebanyak mungkin tentang Tuhan. Ini juga merupakan kesempatan bagi orang yang beruntung untuk menyumbang dan memberi kepada yang kurang beruntung. Hal ini dikonfirmasi oleh QS 22:28, di mana kita diberitahu tentang tujuan dari debat atau tawar-menawar (H'ajj) tersebut:
So that they may witness benefits for themselves and remember The God’s name in a few days over what He Has provided for them of the animal livestock. So eat from it and feed the needy and the poor. Then they would complete their duties and fulfill their vows, and would pass by the freeing house.
Terjemahan dari ayat berbahasa Inggris di atas:
Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan mengingat nama Allah pada hari yang sedikit itu atas apa yang Ia telah sediakan bagi mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan berikanlah untuk makanan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian mereka akan memenuhi kewajiban mereka dan menggenapi nazar mereka, dan melewati rumah yang membebaskan.
Terjemahan dari http://m.alquran-indonesia.com
Rumah yang disucikan (restricted house) hanyalah tempat di mana orang berkumpul dengan aman dan berdebat, atau tawar-menawar, tanpa takut penindasan. Rumah yang disucikan ini membantu menyebarkan pembebasan karena orang-orang tertindas yang datang ke sana bisa mengalami pengalaman debat dalam lingkungan yang terbebas dari penindasan, (penerjemah : ingat karena pada jaman itu perbudakan manusia sangat umum) dan mereka mengambil pengalaman yang bersama untuk disebarkan dalam komunitas mereka sendiri. Debat merupakan proses penting untuk akuntabilitas dan penyebaran ide-ide terbaik dalam masyarakat bebas. Dengan demikian, konsep debat, atau tawar-menawar ("haji") tidak ada hubungannya dengan ziarah keagamaan khusus. Ini adalah konsep yang sama sekali umum.supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu.
Sekarang kita ditinggalkan dengan fakta-fakta yang meluluh-lantakan:
- tanpa kejelasan tentang Tahun Gajah (tahun 552 M, bukan 570 M menurt Tradisi Islam) untuk menentukan kelahiran Muhammad.
- tanpa kota suci di abad ke-7 (kata ‘MK(t)’ berarti kehancuran di QS 48:24), dan tanpa Kabah seperti yang digambarkan oleh Tradisi Islam.
- lebih dari itu, ibadah haji adalah istilah umum dalam bahasa Arab untuk ‘berdebat, atau tawar-menawar’, tidak ada hubungannya dengan tempat Ritual Haji yang terkenal itu.
Sepertinya umat Muslim telah tertipu dari awal. Tapi kemudian bagaimana dengan Muhammad historis? Apakah ia benar-benar pernah ada? Jika dia memang pernah ada, dari mana ia paling mungkin berasal kalau bukan dari 'Mekkah' ? Quran berbicara tentang Bekka di QS 3:96 sebagai tempat perlindungan awal dari semua orang
percaya. Kita akan melihat itu dan banyak hal lainnya di bagian berikutnya
(sumber:http://islamsejarah.blogspot.com/2011/09/muhammad-mitos-atau-fakta-sejarah-bab-2.html)
0 Response to "Muhammad : Mitos atau Fakta Sejarah ? Bab 2"
Posting Komentar