Alquran; Wahyu, Ide, dan Teks


Dalam versi ajaran Islam, alquran diartikan sebagai wahyu Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Bila dilihat dari definisi ini terlihat alquran diartikan ketika kejadiannya Si Penerima wahyu masih dalam keadaan hidup atau proses terjadinya turunnya wahyu masih terjadi. Namun bila dikondisikan dengan alquran yang saat ini dibukukan menjadi satu mushaf adalah kumpulan teks-teks yang tadinya bertebaran dan berserakan yang sengaja dibukukan. Sehingga proses perwahyuan al-Qur`an sudah selesai sejak berabad-abad silam. Beriringan dengan berhentinya proses perwahyuan, al-Qur`an hanya teks “mati” sehingga tidak bisa berkembang lagi guna merespons perkembangan kehidupan manusia sebagaimana terjadi pada saat proses perwahyuan. Di sisi lain, perkembangan kehidupan manusia semakin berkembang, bahkan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan pada saat proses perwahyuan.

Atas fakta ini, maka yang berlaku saat ini adalah bagaimana menafsirkan teks mati ini, bukan mentermahkannya menjadi tafsir yang kaku (mukamad). Namun, sayangnya umat Islam sudah terlanjur menjadikan teks ini menjadi sumber teks Islam yang paling utama dan high priority. Padahal seorang penafsir yang berhak hanya lah Muhammad. Dialah yang mendapatkan wahyu (ide) dan dialah yang berhak menyampaikan wahyu yang didapatkan berdasarkan interpretasi sesuai intelektual yg dia miliki dengan penafsiran yang senantiasa mengacu pada setting sosial saat wahyu turun dan saat penafsir menafsirkannya. Oleh sebab itu, beliau kadang memberi dua solusi berbeda untuk satu pertanyaan atau satu peristiwa tergantung kondisi penanya dan konteksnya. Jadi, Alquran dipertahankan hingga saat ini hanya berfungsi sebagai:

1. Pelestarian sebuah tradisi yang terhenti karena sebab kematian seorang figur penafsir yang lebih berhak (Muhammad) sehingga tradisi ini bisa diingat kisahnya.
2. Sebagai artefak sejarah yang menunjukkan sebuah awal peradaban bangsa.
3. Karya Sastra yang tadinya berserakan telah berhasil direkonstruksi penyusunannya menjadi sebuah ontologi.
4. Kumpulan arsip sebuah bangsa pada masa Muhammad hidup,
5. Diary Muhammad.
Alquran yang dibukukan saat ini sama saja dengan teks-teks kuno yang lainnya, seperti Kitab Sutasoma, Darmo gandhul, Kitab Talmud, Kitab Injil, dll, karena hanyalah sebuah kumpulan teks tertulis yang kedudukannya sejajar dengan teks-teks yang lain. Alquran yang suci itu hanya ketika teks ini masih dalam tataran wahyu. Wahyu ini saya anggap sebagai ide yang masih ada pada Muhammad yang akhirnya Muhammad dengan intelejensianya menafsirkan ide (wahyu) tadi dalam rangkaian kata-kata yang akhirnya dituliskan menjadi kumpulan ayat-ayat. Nah, Ide tadi lah yang masih suci dan original, tapi ketika terujar dan mejadi tertulis, maka wahyu tadi menjadi tidak suci karena sudah terjadi campur tangan manusia (ucapan Muhammad dan si Penulis). Oleh karena itu, Teks tersebut menjadi sama saja dengan teks-teks yang lain.
Dengan demikian, Alquran wajar saja berfungsi dalam 5 kategori tadi., dan yg namanya peninggalan sejarah itu wajar jika dilestarikan, dimasukan ke dalam museum, sehingga bisa dijadikan objek wisata. Alquran sekarang yg beredar itu hanyalah souvenir yang menduplikat alquran, dan indah dipajang aja di tembok atau di lemari. Seandainya ada keris empu gandring yg konon katanya mempunyai kesaktian, tidak usah terlalu dipikirkan bagaimana membuat keris itu, cukup dijadikan pengetahuan saja dan dimuseumkan dari pada harus membuat keris yang serupa karena tidak efektif lagi untuk digunakan dalam berperang lawan, tapi lebih mempunyai nilai lebih jika dijadikan pajangan di museum walaupun dulunya mempunyai kesaktian, sakral, dan suci. Lebih baik bagaimana mempelajar dan membuat senjata dengan konteks kekinian yang lebih efektif untuk dijadikan sebagai senjata.
Tentu hal ini akan menimbulkan reaksi negatif bagi yang meyakini Alquran sebagai wahyu Allah yang suci dan sakral, tapi lebih rasional bila kesakralan dan kesucian ini adalah ketika alquran ini masih dalam tataran wahyu atau ide. Ada pertanyaan: “Kalo qur'an dimuseumkan, lalu mau pakai apa? Modal satu2nya kok dimuseumkan?” Jawabannya adalah ganti modalnya saja, kalau memang alquran itu dianggap menjelaskan tentang sains, masih banyak kitab-kitab sains yg lebih bervariasi dan lebih bisa menjelaskan lebih luas lagi, sehingga manfaatnya bisa lebih terasa lagi. Wahyu dalam alquran itu sudah terputus semenjak Muhammad meninggal, sudah tergantikan oleh wahyu-wahyu yg lain. Tugas alquran hanya mengabarkan berita pada saat Muhammad ada hingga meninggal, kemudian wahyunya berlanjut pada edisi-edisi yang baru dan berlanjut terus menerus. Memang alquran bukanlah sains, dulu sesuatu yg bersifat sains itu masih dianggap ghaib, seperti gerhana matahari masih dianggap jika Tuhan sedang marah.
Salah satu contohbahwa alquran hanya sebagai artefak kuno yg perlu dimuseumkan telah dicontohkan oleh Umar Bin Khatab. Umar ibn al-Khattāb membuat beberapa keputusan yg bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Ia menangguhkan hukuman poton...g tangan bagi pencuri selama masa kelaparan; dia juga memberlakukan lagi talak tiga (dengan pertimbangan karena disalahgunakan oleh orang-orang Arab setelah penaklukan Syiria, Mesir, dan Persia); dia menghentikan penjualan budak perempuan (ibunya anak-anak, umm al-walad); dia tidak mendistribusikan tanah taklukaan kepada umat Islam (meskipun al-Qur`an dan sunnah mengizinkannya). Secara lahiriah, beberapa keputusan ‘Umar ibn al-Khattāb tersebut bertentangan dengan al-Qur`an.

Penangguhan hukum tangan bagi pencuri, misalnya, bertentangan dengan ayat 38 surat al-Mā`idah yang dengan jelas memerintahkan sanksi hukum potong tangan bagi pencuri. Faktor kondisi psiko-sosiologis masyrakat dan kemaslahatan saat itu yang mendorongnya bersikap demikian. Ia tidak berpatokan pada makna lahir ayat, tetapi lebih mengutamakan kemaslahatan walaupun harus bertentangan dgn alquran sekalipun.
Begitulah seharusnya yang harus dilakukan bila kita ingin rasionalitas terus kita lakukan tanpa harus takut dengan hal-hal yang mungkin dianggap bertentangan dengan sebuah mitologi yang dianggap sakral, sehingga membentuk suatu kesadaran karena ini memang rasionalitas yang hadir dari akal yang sehat. Suatu diskursus yang terjadi; kalau kitab sains A disalahkan oleh kitab sains B karena perkembangan jaman, semua umat saintis yg berakidah Sains A dengan sadar dan tanpa harus ribut dan berdarah-darah mereka langsung masuk ke dalam akidah B, namun sangat berbeda keadaannya bila berhubungan dengan sesuatu yang sakral seperti kitab suci, tanya kenapa?

0 Response to "Alquran; Wahyu, Ide, dan Teks"

Posting Komentar