Egoisme Psikologis dan Etis

“Once a hypothesis is accepted, everything may be interpreted to support it.”

Moralitas mengajarkan kita untuk berbuat tidak demi tujuan atau kepentingan pribadi atau egonya. Tetapi, apakah jiwa mampu berbuat sesuatu tidak untuk tujuan atau kepentingan pribadi dan egonya?
Pendukung Egoisme Psikologis percaya bahwa manusia tidak mampu berbuat sesuatu yang tidak bertujuan atau mengandung manfaat tertentu untuk egonya. Bagi mereka, semua orang yang berbuat baik untuk sesama, dan terlihat seolah-olah tidak ada kepentingan atau pamrih, dalam analisis psikologis yang lebih dalam dan motif di baliknya tersimpan kepentingan untuk dirinya. Strategi para pendukung Egoisme Psikologis adalah dengan menafsirkan ulang semua motif orang yang tampak berbuat baik kepada sesama secara tulus dan altrustik.
Thomas Hobbes menganggap bahwa Egoisme Psikologis boleh jadi benar, tapi dia tidak suka dengan pendekatan setelah kejadian, yang bisa jadi terjebak dengan kesalahan berpikir yang disebut dengan post hoc, ergo propter hoc. Hobbes mendaftar sejumlah motif umum manusia, lalu memberikan penilaian tentangnya, dengan memusatkan perhatian pada motif2 ‘altruistik’ manusia.

Kemurahan hati atau kedermawanan (charity), bagi Hobbes, adalah ‘hasrat manusia bukan saja untuk mencapai keinginan2nya sendiri, tapi membantu orang lain untuk mencapainya’. Jadi, bagi Hobbes, kedermawanan tidak lain daripada kesenangan yang dicapai seseorang dengan menunjukkan kemampuan dan kekuasaan dirinya untuk melakukan sesuatu.
Belas kasih (pity) kepada orang lain, bagi Hobbes, tidak lain adalah ‘imajinasi atau khayalan kita akan kesengsaraan yang mungkin datang kepada kita, berdasarkan apa yang telah menimpa orang lain’. Menurut pendukung Egoisme Psikologis, analisis terhadap ‘kemurahan hati’ dan ‘belas kasih’ seperti ini lebih kuat daripada analisis2 lain. Oleh karena itu, ‘kemurahan hati’ dan ‘belas kasih’ itu akan terasa lebih kuat saat berhubungan dengan seseorang yang kita anggap baik atau kerabat kita, yang kepentingan kita terhadapnya lebih dekat.
Metode Hobbes untuk menafsirkan ulang motif2 manusia ini tampak begitu menghimbau kita, terutama mengimbau sinisisme tertentu dalam diri kita, atau kecurigaan bahwa pelaku ‘kemurahan hati’ dan ‘belas kasih’ itu tidak semulia seperti yang terlihat.
Selain strategi di atas, Egoisme Psikologis mempunyai dua dalil lain untuk mendukung teorinya.

7. 1. Setiap manusia, dalam keadaan sukarela atau tanpa paksaan, berbuat untuk sesuatu yang paling ingin dia lakukan. Karena itu, dia tidak bisa dianggap berbuat sesuatu secara tulus atau tidak egoistis. Namun, argumen ini memiliki, setidaknya, dua kelemahan. Pertama, ada banyak tindakan yang kita lakukan sekalipun kita tidak menginginkannya. Misalnya, tindakan memenuhi janji yang telah kita ikrarkan. Seringkali, pemenuhan janji itu tidak kita lakukan karena sangat kita inginkan, melainkan karena hal itu memang seharunya kita lakukan. Kedua, argumen ini terlalu memperbesar lingkup motif2 egoistis, tanpa melihat sisi2 lainnya. Umpamanya, bila seseorang bersedekah kepada fakir miskin, sekalipun sedekah itu sesuatu yang paling suka dia lakukan, tapi tindakan mengeluarkan harta pribadinya untuk orang lain adalah sesuatu yang berciri altruistik, sebab di situ ada pengorbanan dari dirinya untuk pihak lain yang belum tentu memberikan keuntungan baginya.

7.2 Argumen kedua yang sering diajukan pendukung Egoisme Psikologis adalah asumsi bahwa tindakan altruistik sering dilakukan untuk memberikan ketenangan batin pelakunya, sehingga dengan demikian pada akhirnya egoisme-lah yang menjadi motif terdalam tindakan tersebut. Padahal, ketenangan batin yang diperoleh pelakunya itu adalah analisis motif yang terjebak pada post hoc, ergo propter hoc. Karena, faktanya, seorang egois justru tidak akan peduli pada orang lain, entah kepedulian pada orang lain itu membawa manfaat baginya atau tidak. Lagi pula, bila semua tindakan altruistik buat orang lain dianggap mendatangkan ketenangan batin pelakunya, maka tentu saja ada asumsi yang tertanam bahwa perbuatan itu pasti selalu berakhir dengan baik dan suskes. Sebab, apabila tindakan altruistik buat orang lain itu ternyata berakhir tidak sukses, tentu saja asumsi yang menjadi motif perbuatan ini tidak akan muncul. Jadi, saat pelaku itu berbuat, yang ada di benaknya bukanlah hasil perbuatannya, melainkan perbuatan itu sendiri, dan inilah yang disebut dengan ketidakegoisan. Apalagi, sejarah banyak menunjukkan para pelaku tindakan altruistik yang tidak berakhir bahagia dengan meraup segundang imbalan setimpal.

8. Ada masalah besar dalam Egoisme Psikologis yang dapat disimpulkan dengan kata2 berikut: “Once a hypothesis is accepted, everything may be interpreted to support it.”

Egoisme Etis

J. Rachels: “We should care about the interests of other people for the same reason we care about our own interests; for their needs and desires are comparable to our own.”

Perbedaan antara Egoisme Psikologis dan Egoisme Etis adalah bahwa Egoisme Psikologis berbicara tentang sifat perbuatan manusia, sedangkan Egoisme Etis berbicara tentang bagaimana seharusnya kita berbuat. Egoisme Etis adalah sebuah teori normatif yang menyatakan bahwa tiap orang harus mencari kebahagiaan dan pemuasaan egonya masing-masing.
Ada tiga argumen yang mendukung Egoisme Etis.

2.1 Setiap manusia paling tahu tentang kemampuan dan keinginan dirinya. Tindakan seseorang menolong orang lain seringkali justru berakhir dengan menambah beban orang yang hendak ditolongnya. Oleh sebab itu, kebijakan ‘peduli pada orang lain’ adalah menipu diri. Dalam kata2 Robert G. Olson, ‘The individual is most likely to contribute to social betterment by rationally pursuing his own best long-range interests’. Tapi, dalam kenyataannya, argumen ini tidak mendukung Egoisme Etis, sebab argumen ini hanya berujung dengan kesimpulan bahwa tiap orang harus memiliki kebijakan tertentu menyangkut tindakan2nya. Dengan demikian, semua kebijakan rasional yang kita lakukan pada gilirannya akan memberikan manfaat buat tiap orang. Artinya, kebijakan2 itu bukan semata-mata egoistis. Langkah2 kita pun pada puncaknya bertujuan demi kebaikan dan kemaslahatan bersama.

2.2 Egoisme Etis berpijak pada realitas tiap individual, kata Ayn Rand, yang banyak terkikis akibat ajakan kepada altruisme. Inti argumen ini: karena manusia hanya punya satu kehidupan yang paling berharga, sementara altruisme adakalanya membuat satu kehidupan yang paling berharga itu harus dikorbankan demi orang lain, Egoisme Etis berupaya mengembalikannya pada posisi puncaknya seperti semula. Namun, argumen ini memiliki cacat besar, karena altruisme bukan saja tidak menganggap kehidupan individual sebagai tidak berharga atau patut dikorbankan setiap kali ada kesempatan untuk itu, melainkan altruisme sangat menghargai kehidupan individual sehingga pengorbanannya membuahkan tindakan moral yang sangat tinggi atau demi tujuan yang lebih tinggi daripada harga kehidupan individual tersebut.

2.3 Egoisme Etis menyatakan bahwa kita harus memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Ini barangkali merupakan argumen terbaik untuk mendukung Egoisme Etis. Tapi, argumen ini tidak menggugurkan kemungkinan alasan lain di balik tindakan altruistik seseorang kepada orang lain. Banyak orang yang berbuat untuk orang lain bukan semata-mata berangkat dari motif agar orang memperlakukan dirinya dengan cara yang sama, melainkan juga demi alasan2 lain. Padahal, argumen ini benar bila hanya inilah satu-satunya alasan orang harus berbuat baik kepada sesama manusia.

Ada tiga argumen bantahan untuk Egoisme Etis.

1 Egoisme Etis tidak bisa memberikan solusi dalam kasus2 yang mengandung konflik kepentingan. Tapi, kaum egois etis dapat menyatakan bahwa hidup adalah serangkaian konflik kepentingan, agar tiap manusia berjuang untuk mencapai puncak.

3.2 Egoisme Etis berujung pada kontradiksi, sebab satu perbuatan yang seharusnya dilakukan untuk kebaikan diri seseorang adakalnya merupakan perbuatan sama yang seharusnya dicegah oleh orang lain. Padahal, Egoisme Etis menyatakan bahwa tiap individu haru melakukan apa yang terbaik untuk dirinya, sehingga mengakibatkan terjadinya kontradiksi antara satu tindakan moral yang sama-sama baik oleh dua individu yang bertentangan. Namun, para pendukung bisa menyatakan bahwa Egoisme Etis tidak menyalahkan pelaku A yang hendak mencegah perbuatan pelaku B yang bisa merugikan A. Dengan demikian, kontradiksi itu terhapuskan.

3.3 Bantahan ketiga atas Egoisme Etis sama dengan bantahan yang umum diberikan atas rasisme atau zionisme. Kaum rasis menyatakan bahwa di dunia ini ada dua kelompok manusia: pertama, ras A; dan kedua, ras B. Lalu, kedua ras ini seharusnya diperlakukan secara berbeda. Padahal, apabila kita melihat secara objektif kedua ras itu tidak memiliki perbedaan yang menjadikan salah satunya harus diperlakukan dengan lebih baik. Demikian pula halnya dengan Egoisme Etis yang menuntut pembedaan antara diri sendiri dan semua manusia lain. Padahal, kecuali memang berbeda, diri sendiri dan manusia yang lain itu tidak berbeda. Jadi, pembedaan yang diberikan itu murni merupakan argumen arbitrer yang tidak bisa diterima. ‘We should care about the interests of other people for the same reason we care about our own interests; for their needs and desires are comparable to our own’.

sumber: http://musakazhim.wordpress.com/2007/06/30/egoisme-psikologis-dan-etis/

0 Response to "Egoisme Psikologis dan Etis"

Posting Komentar