DI TEPI SUNGAI THAMES Oleh Arman Duval

BUDI meninggalkan ruang baca perpus­takaan umum itu membawa tiga buah novel Honore De Balzac dan sebuah biografi Balzac, novelis Perancis yang eksentrik dan punya moto: "Apa yang telah dicapai Napo­leon dengan pedang akan kucapai dengan pena". Keempat buku itu sebenarnya sudah lama selasai ia baca, tetapi belum juga dikembalikannya karena ia ingin sekali bisa melanjutkan perdebatan dengan Monica.
Dan keempat buku itu sengaja dipilihnya untuk menopang pendapatnya tentang kejeniusan Balzac sebagai pemikir dan novelis yang mengagumkan. Bagi Budi, Balzac adalah lambang dari sebuah ambisi besar yang tidak pernah ciut menghadapi segala kemustahilan. Pribadi yang justru kian keras menguak ketika ia sedang terperangkap dalam kesulitan-kesulitan yang dibuatnya sendiri.
Pengarang yang memberikan yang terbaik dari dirinya justru ketika ia diejek dan ditertawakan orang lain. Novelis dengan pengetahuan yang menjamah banyak wilyah. Sebab itu Budi amat tersinggung waktu Monica meremehkan Balzac.
Menurutnya, Balzac pengarang yang lemah dalam plot akibat menulis secara tergopoh-gopoh karena memburu batas waktu yang diten­tukan penerbit.

"Memang benar Balzac menulis ditunggu mesin cetak," pintas Budi hari itu, "tapi kau jangan lupa, Charles Dickens juga begitu, dan begitu juga Dostoyevsky! Seperti Balzac, keduanya mengarang karena dicekik batas-waktu. Tapi kenyataan bahwa mereka menulis di bawah tekanan waktu, tidaklah mengurangi bobot dari tema yang mereka garap. Dunia toh sampai sekarang tetap mengakui mereka sebagai pemikir ulung, sebagai raksasa sastra!"
"Dickens!
Dostoyevsky! Ah, contoh yang bagus sekali!" kata Monica setengah tersenyum.
"Contoh yang bagus?" ulang Budi tak sengaja.
"Ya, contoh yang bagus sekali." ujar Monica. Ia berhenti sebentar seolah menunggu reaksi Budi. Namun Budi sendiri menunggu kelanjutan kalimat gadis itu.
"Cara mereka menulis juga skematik," lanjut Monica setelah agak lama diam, "terpenggal-penggal, tidak berkesinambungan, mencerminkan keter­gopohan dalam menjalin alur cerita, mem­perlihatkan ketidak-matangan dalam mem­buat plot!" jawab gadis itu dengan garang sambil menepiskan helaian rambut yang terjuntai menutupi sebagian keningnya. Namun sepasang matanya yang abu-abu itu tetap teduh.

Budi telah siap dengan sebuah bantahan, tetapi Monica sempat mendahu­lui: "Novel-novel mereka bertele-tele, kom­posisi cerita mereka sering terasa dipak­sakan, ibarat tarian yang dikerjakan dengan koreografi yang tidak apik! Dan itu karena mereka menulis dikejar waktu!"
Bantahan yang sudah siap dalam benak Budi, tiba-tiba cair seperti lilin dijilat api. Ia mengetuk-ngetukan jarinya ke meja.
Di bawah meja, kedua sepatunya memukul-mukul lantai. Budi tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya, semen­tara Monica sendiri tampak tenang-tenang saja. Ketenangan gadis itu tambah membuat Budi gelisah. Kejernihan benaknya untuk merumuskan sebuah bantahan yang telak menjadi keruh.
Karena Budi diam saja, akhirnya Monica bertanya dengan suara lembut, "Kau pernah membaca Flaubert?"
"Gustave Flaubert!"
"Ya, dia! Pernah kau baca?"
"Tidak banyak. Madame Bovary, Senti­mental
Education, cuma itu." sahut Budi dengan malas. Otaknya masih meronta-ronta mencari argumen yang kuat untuk membela Balzac yang sangat dikaguminya itu.
"Bagus! Bagus!" kata Monica.
Budi tambah gelisah. Kini ia benar-benar merasa ber­hadapan dengan seorang ibu guru.
"Madame Bovary salah satu contoh terbaik dari novel yang dikerjakan dengan plot yang rapi,"
kata Monica yang di mata Budi makin kelihatan seperti ibu guru. Sejenak ia mem­perhatikan jari-jari Budi yang masih mengetuk-ngetuk meja perpustakaan itu. Dan ketika Monica hendak melanjutkan, Budi cepat-cepat mendahului: "Ya, Flaubert memang berbeda dengan Balzac. Ia tidak terburu-buru. Madame Bovary diker­jakannya dengan kecepatan dua halaman satu minggu. Ia memerlukan lima tahun un­tuk menyelesaikan novelnya itu.

Aku tahu!"
"Bayangkan," potong Monica bersemangat, "selama lima tahun Flaubert menyekap dirinya dalam kamarnya hanya untuk merampungkan sebuah novel! Itu bukti Flaubert tidak tergesa-gesa. Ia tidak tergesa-gesa mengejar kemashuran. Ia justru mem­biarkan kemashuran menunggunya dengan sabar. Balzac tidak begitu. Balzac memburu kemashuran! Ia berusaha mati-matian ber­pacu dengan dirinya sendiri."
"Ah!" pintas Budi, "Kau mencampur aduk­kan penilaianmu atas karya-karya Balzac dengan penilaianmu atas Balzac sendiri. Itu tidak adil. Tidak Adil!" protesnya menatap Monica dengan tajam. Namun Monica seakan tidak mendengar protes pemuda itu.
"Keduanya tidak bisa dipisahkan!"
"Keduanya harus dipisahkan!"
"Balzac mengarang untuk melepaskan dirinya dari belitan utang karena gaya hidupnya yang boros dan gila lambang status."
Budi berusaha tenang. Dan dengan tenang ia berkata: "Monica, Balzac adalah sesuatu, dan karya-karyanya adalah sesuatu yang lain. Keduanya adalah dua kutub yang ber­beda. Kau boleh mengatakan apa saja ten­tang Balzac, namun itu tidak akan mengu­rangi kebesaran karya-karyanya.

Kau ter­lalu...." Budi tiba-tiba berhenti. Sebuah buku Monica tersikut olehnya dan jatuh ke lantai. Ia membungkuk memungut buku itu lalu menempatkannya kembali ke meja.
"Maaf," katanya.
Monica tersenyum. Diambilnya buku tebal yang terjatuh tadi. Diusap-usapnya dengan jemarinya yang halus seperti mengusap seekor kucing ke­sayangan. Buku itu adalah novel Leo Tol­stoy, 'War and Peace'.
"Baiklah, mari kita bicara soal karya," kata Monica pula, sambil memperhatikan gambar kulit novel Tolstoy seakan baru dilihatnya.
"Semua pengarang terkenal mewariskan karya besar mereka masing-masing. Tolstoy misalnya, meninggalkan 'War and Peace'. Karya besar apa yang pernah diwariskan Balzac?" lanjut gadis itu tanpa menoleh Budi.

Lagi-lagi Budi merasa berhadapan dengan seorang ibu guru. Lagi-lagi ia merasa dihadang oleh sebuah tantangan. Namun tanpa disadarinya ia justru menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu," jawabnya kesal, dan segera saja ia menyesali jawabannya itu. Monica menatap Budi. Ia berusaha menahan geli.
"Tidak tahu?" tanya gadis itu menaikkan alis matanya.
"Maksudku semua karya Balzac yang pernah kubaca adalah karyanya yang terbesar. Tidak bisa dibanding-bandingkan. Eugine Grandet misalnya, tidak bisa kita bandingkan dengan Old Goriot. Atau ambillah novelnya yang lain, ya, Ursule Mirouet tidak bisa disamakan dengan The Chouans. Masing-masing berangkat dengan tema dan permasalahan tersendiri." Budi berhenti sejenak. Ia mengamati wajah Monica seakan ingin melihat pengaruh ucapannya tadi terhadap gadis itu. "Masing-masing punya kekuatan tersendiri" lanjutnya menandaskan.
"Penilaianmu sangat subyektif, Budi. Balzac atau siapa saja tidak bisa dibela dengan penilaian subyektif!" kata Monica seraya memindahkan pandangan pada kuku-kuku jarinya yang dipotong pendek .
"Seobyektif apapun sebuah penilaian tidak akan terlepas dari subyektivitas yang menilai." tangkis Budi.
Monica mengangkat muka. Ia menatap Budi dengan sinar mata yang terasa oleh Budi seperti
menunggu penjelasan lebih lanjut.
Balzac mewariskan puluhan novel dan cerita-pendek yang dihimpunnya ke dalam sebuah judul besar: 'Human Comedy'." lanjut Budi pula, "Ia mewariskan Human Comedy, menara Eifel dalam sastra Perancis!"
Monica kembali mempermainkan jemarinya seakan berusaha memperlihatkan bahwa ucapan Budi tadi tidak meyakinkannya. Tetapi Budi tidak perduli, ia menambahkan: "Melalui Human Comedy Balzac merekam kehidupan pada jamannya, merekam segala bentuk kejahilan dan kemulyaan manusia melalui tokoh-tokohnya yang selalu terasa kontem­porer walaupun mereka hidup dua abad yang lalu"
Monica menggeleng-gelengkan kepala: "Human Comedy" adalah siasat Balzac un­tuk menyenangkan hatinya sendiri."
"Aku tidak mengerti maksudmu,"
"Waktu ia sudah tua, ia sadar bahwa ia gagal menghasilkan sebuah karya yang
bisa dinilainya terbaik. Sebab itu ia mengumpulkan semua karyanya, dan mem­berinya judul 'Human Comedy'. Kau tahu kenapa ia gagal menghasilkan yang paling baik?"
"Cara yang bertanggungjawab untuk menilai seorang pengarang adalah dengan membaca semua karyanya, dan dalam hal Balzac, setiap karyanya adalah karyanya yang terbaik. Aku kira pertanyaanmu sudah terjawab."
"Tidak. Kau tidak menjawab pertanyaanku. Karena tidak kau jawab, baiklah kujawab sendiri: Balzac gagal menghasilkan yang terbaik sebab tujuannya dengan seninya bukan untuk memberikan sumbangan pada kemanusiaan, tapi untuk menaklukkan Paris, agar ia diterima oleh masyarakat kelas bang­sawan!"
Nafas Budi mendadak sesak. Sebuah pra­hara mengamuk di dalam dadanya. Pandangannya berkunang-kunang. Ia belum terlatih untuk tetap berkepala dingin dalam perang argumen. Ia merasa telah menggebrak meja. Ia merasa telah berteriak. Namun ia hanya duduk terhenyak seperti seorang petinju yang terpuruk dari satu pukulan yang merubuhkan. Kerubuhan itu telah memaksanya kalah dengan satu pemberontakan tanpa daya.
Setelah lama saling terdiam. akhirnya Monica bertanya pelan: "Kenapa kau diam, Budi?"
"Lebih baik kita berhenti bicara soal Balzac!"
"Kenapa? Kalau kau memang tidak setuju denganku, aku ingin mendengar penda­patmu."
"Pendapat apa lagi? Semuanya sudah kukemukakan," jawab Budi mengalihkan muka dari Monica.
"Kukira kau pengagum Balzac yang sangat fanatik!" kata Monica sengaja memancing, dan Budi memang terpancing.
"Tetapi aku juga bisa menghargai Victor Hugo," tukas Budi dengan cepat, "Aku juga bisa mengagumi Alexander Dumas, Stendhal, semua tokoh yang sejaman dengan Balzac.. Dankau tahu? Semuanya para pengagum Balzac! Mereka belajar dari Balzac.. Termasuk Gus­tave Flaubert. Termasuk Guy De Maupassant Termasuk Emile Zola, Dos­toyevsky, Leo Tolstoy, Anton Chekov, Maxim Gorky, Stefan Zweig. Semuanya, ya, bahkan juga Karl Marx, mengagumi dan dengan rendah hati merasa pernah belajar dari Balzac!"
Kini malah Monica yang terdiam. Sepasang matanya berbinar-binar memandang Budi.
Ia tidak bisa memastikan apa yang tersembunyi di balik pandangan yang berbinar-binar itu. Budi mengambil nafas lantas meneruskan:
"Apakah kau masih mengatakan aku pengagum yang fanatik? Aku bahkan juga bisa menghargai pendapat-pendapatmu meskipun aku tidak setuju denganmu, meskipun pandanganmu terhadap Balzac kuanggap tidak bertanggung jawab, meskipun aku berkesimpulan bahwa kau se­kedar ingin menghina Balzac! Tetapi penda­patmu tetap kuhargai!"
"Kelihatanya kau tersinggung," kata Moni­ca lirih.
"Tidak," Budi menggelengkan kepala.
Se­buah senyum seperti ragu-ragu menampak­kan diri di bibir Monica.
"Kelihatannya kau tersinggung," ulangnya makin lirih.
Senyum itu kini memperlihatkan deretan gigi Monica, dan untuk pertama kalinya Budi menyadari betapa putih dan indahnya deretan gigi itu.
"Tidak," ulang Budi pelan nyaris tidak ter­dengar.
"Kalau begitu, kita lupakan Balzac! Oke?"
Tetapi Budi sendiri tidak bisa melupakan Balzac. Dua minggu ia memanfaatkan sisa-sisa waktunya untuk membaca ulang semua karya Balzac yang sempat dibeli dan dipinjamnya. Dua minggu ia tidak mengunjungi perpustakaan itu.
Dua minggu ia tidak melihat Monica. Namun ketika ia datang lagi ke sana dengan keyakinan akan berhasil meyakinkan Monica mengenai Balzac, yang ditemukannya justru sebuah misteri. Monica tidak kelihatan! Hari berikutnya ia datang lagi, juga tidak keli­hatan. Dan Monica tetap tidak muncul setelah tiga pekan berlalu. Kenapa ia menghilang begitu saja? Kenapa ia tidak pernah muncul lagi? Dan Budi mengajukan sejuta kenapa yang lain, namun tak satupun terjawab olehnya. Untuk kesekian kalinya, ia keluar dari bangunan perpustakaan itu dengan membawa perasaan kecewa.
Sebuah kekecewaan yang entah kenapa kian lama kian membuat Budi merasa kehilangan. Niatnya untuk meyakinkan Monica kini lenyap begitu saja, digantikan oleh kerinduan untuk sekedar bertemu dengan gadis itu. Kerinduan yang menyebabkannya makin merasa seorang diri dalam keramaian kota London.
Di luar, gelap musim dingin mempercepat kehadiran malam. Tak seperti sebelumnya, hari itu salju berguguran menyirami kota London. Budi melangkah terus. Ah, kenapa aku mesti terjerumus ke dalam perdebatan mengenai Balzac padahal kutahu, setelah hampir beberapa bulan mengenal Monica, banyak sekali segi-segi lain dari kehidupan ini yang bisa kudiskusikan dengan intim.
Bila pertemuan dua pikiran bisa memper­dekat jarak dua hati, bukankah sebe­lum itu terasa begitu banyak yang saling kami sepakati? Kenapa hanya gara-gara Balzac semuanya harus berhenti, padahal permulaan dari sebuah babak baru telah kuawali dengan hati-hati? Dengan pikiran penuh sesal ditempuhnya hujan salju sam­pai tiba di pangkal salah satu jembatan yang menghubungkan dua tepi sungai Thames. Udara dingin menusuk-nusuk. Di ujung jembatan itu ia berhenti sejenak. Menghapus salju yang melekati mukanya dengan tangan. Selama be­berapa bulan belakangan ini, ia memang se­lalu berhenti di tempatnya berdiri sekarang. Setiap pulang bersama dari perpustakaan, di situlah mereka harus berpisah, melanjutkan perjalanan pulang menuju arah berlawanan. Budi tidak tahu Monica tinggal di mana, dan tidak pernah bertanya. Begitu pula Monica. Sekarang ia menyesal kenapa ia tidak pernah bertanya..
"Sampai bertemu lagi besok sore, Monica," bisiknya kepada sepi. Dan sepi menjawab­nya dengan sepi. Sepi di hatinya, sepi di mana-mana. Angin kencang yang tiba-tiba menerjang menyebabkan Budi makin merasakan kejamnya musim dingin. Berlindung di dalam pakaian berlapis-lapis sambil melang­kah mengarungi hari yang lekas kelam,membuat sepinya kian merebak. Serpih-ser­pih salju terbang berpacu dihembus angin.
Menerpa ranting dan dahan pohon, gugur pada pagar sungai, menimbun trotoar, dan ada yang sempat tersangkut di rambutnya yang tebal. Budi mempercepat langkah. Hidung dan mulutnya mengeluarkan uap. Pijakan sepatunya pada hamparan salju meninggal­kan jejak, seperti menandai suatu perjalanan menuju ketiadaan.
"Turun, turunlah kau sepuasmu, hai salju!" bisiknya dalam hati, ketika ia tiba di muka pintu sebuah bangunan tua seperti kebanyakan bangunan di London. Di situlah ia tinggal bersama puluhan penyewa lain. Dilepaskannya sarung tangan. Dikeluarkannya seikat kunci dari tasnya. Ketika pintu terbuka, ia disergap udara hangat yang tiba-tiba menyerbu dari dalam. Pintu ditutupnya kem­bali.
Seperti biasa, ia lebih dulu memper­hatikan meja pualam yang berdiri dekat pintu, tem­pat surat-surat yang ditujukan kepada siapa saja yang tinggal dalam bangunan itu. Masih ada tiga amplop yang tergeletak di sana, namun tampaknya tidak satupun dialamatkan kepada Budi. Sepi kian meremas hatinya. Ia melewati koridor itu sambil menepiskan salju yang melekati jaket tebalnya. Menaiki tangga ke lantai dua, ia berpapasan dengan tetangganya, Jane dan Jonathan.
"Hai!" sapa mereka nyaris berbarengan.
"Hai!" Balas Budi tidak berusaha untuk bersemangat. Ketiganya berhenti di tengah tangga.
"Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu!" kata Jane dengan mata tak berkedip memandang Budi.
"Ya. Kalau kebetulan bertemu di luar sana, pasti aku tidak akan kenal lagi denganmu, Jane!"
"Kenapa?"
"Kau benar-benar berubah! Aku suka sekali pada model rambutmu yang baru!"
"Terimakasih!" sahut Jane, dan sepasang matanya kemudian menoleh Jonathan dengan
bangga, seakan minta agar lelaki itu mengulangi apa yang baru saja diucapkan Budi.
"Untuk itu Jane harus membayar mahal," kata Jonathan dengan nada bergurau.
"Ah, kau seperti tak tahu!” sahut Budi, “untuk sebuah kecantikan, perempuan ‘kan ti­dak segan-segan membayar mahal!"
"Ya, aku tahu! Itu tampaknya sudah sifat mereka," balas Jonathan seraya merebah­kan sebelah tangannya di bahu Jane.
"Kami akan menikah pada musim panas nanti," kata Jane seolah ingin mengalihkan pembicaraan.
"Itu berita yang sudah lama kutunggu-tung­gu!" balas Budi seraya beralih pada Jonathan: Kau sungguh laki-laki yang sangat beruntung, Jonathan!"
"Jane," kata Jonathan mempererat dekapan tangannya pada bahu gadis itu, "Aku setuju sekali dengan Budi,"
Jane melingkarkan sebelah tangannya ke pinggang Jonathan.
"Kita sama-sama beruntung, sayang." bisiknya mesra.
Tiba-tiba bayangan Monica berkelebat dalam pandangan Budi. Ia menundukkan muka seolah berusaha menyembunyikan apa yang dirasakannya detik itu.
"Budi, kalau tidak ada yang akan kau lakukan malam ini, kenapa kau tidak ikut kami saja?" kata Jane dengan nada yang sungguh-sungguh ingin mengajak..
Budi tersentak. "Ikut ke mana?"tanyanya.
"Kami akan merayakan ulang tahun pertemuan kami yang ketiga di sebuah ru­mah makan.." sahut gadis itu.
"Ayo, ikut kami saja!" Jonathan mem­perkuat ajakan Jane.
"Aku merasa mendapat kehormatan. Tapi...." Budi ragu-ragu.
"Teruskan, Budi" pinta Jonathan.
" Maaf, aku terpaksa mengecewakan ka­lian."
"Kenapa?
Lagi pula, kami ingin lebih banyak mendengar ceritamu tentang Balimu yang indah itu." kata Jane gigih.
"Ya, kami berencana akan berbulan madu di sana." kata Jonathan memperhatikan ram­but Budi yang tampak kusut.
"Tentang Bali, masih banyak waktu. Tapi, malam ini ada yang harus kuselesaikan. Maaf sekali!" Budi terpaksa berdusta.
Jonathan dan Jane saling berpandangan. Kemudian lelaki jangkung itu berkata dengan nada menyerah: "Kalau begitu, jangan khawatir, kami mengerti."
"Maaf sekali!" kata Budi.
"Oh, ya, tadi ada surat untukmu, Budi." kata Jane.
"Surat?"
"Ya. Kuselipkan di sela pintu kamarmu."
"Terimakasih, Jane!"

Surat itu memang tergeletak di lantai kamar Budi. Dipungutnya, dan karena tidak berperangko, segera dibacanya:
"Surat ini Budi, kutulis karena aku menyesal bahwa aku telah menyinggung perasaanmu. Beberapa hari sejak pertemuan kita yang terakhir, aku tidak melihatmu di perpustakaan. Rupanya kau memang marah dan ingin menghindariku, sehingga akupun akhirnya mencoba untuk tidak berkunjung lagi perpustakaan itu. Tapi, tadi pagi kebetulan sekali aku bertemu dengan teman lamaku di stasiun Charring Cross. Ah, rupanya kau bertetangga dengan Jane. Kenapa hal itu tidak kuketahui dari dulu! Ada yang harus kuakui padamu. Sejak hari itu, aku mencoba membaca novel-novel Balzac lebih banyak. Hari ini aku selesai membaca ‘Cousin Pon’. Jane memintaku untuk me­nemaninya merayakan ulang tahun pertemuannya dengan Jonathan di sebuah rumah makan malam ini. Apakah kau juga diundang? Ah, seandainya kau juga diundang...."
Hampir dalam satu tarikan nafas ia lari ke luar kamarnya tanpa ingat menutup pintu dan lupa bahwa tadi ia telah menolak ajakan Jane dan Jonathan. Kakinya seperti melun­cur menuruni anak-anak tangga itu. Namun harapannya untuk sempat mengejar Jane dan Jonathan sia-sia.
Di antara guguran salju samar-samar Budi hanya sempat melihat Mobil mereka hampir menghilang di sebuah tikungan. Di London ada ribuan restoran. Ia tak tahu rumah makan mana yang mereka pilih. Di tepi jalan itu Budi membiarkan dirinya tegak tak berdaya sementara salju berderai-derai menimpanya. Dimasukkannya surat Monica ke dalam saku jaketnya.
"Apakah kau juga di­undang?
Ah, seandainya kau juga diun­dang....."
Budi Menahan nafas. Udara dingin mendadak jadi tak terasa. Guguran serpih salju ibarat siraman bunga. Oh, ternyata Monica juga ingin bertemu denganku! Alam di sekelilingnya berubah. Kini ia bisa melihat keindahan pada salju, pada bersitan sinar lampu dari ratusan jendela bangunan tua di sekitarnya, pada pohon-pohon tak berdaun, pada langit kelam tak berbintang. Ia kembali ke kamar, dan membaca surat Monica sekali lagi seolah belum yakin betul bahwa surat itu bukan diterimanya dalam mimpi. Akhinya ia menarik laci mejanya. Ia ingin menuliskan kejadian yang dialaminya hari itu. Namun penanya hanya sempat menulis sebuah nama dengan enam huruf. Ia tidak pasti apakah ia sudah tertidur ketika didengarnya percakapan yang tak jelas di luar kamarnya. Namun suara mereka sangat dikenalnya. Diliriknya jam yang masih melingkar di tangannya. Sudah hampir pukul dua belas malam. Cepat-cepat ia membuka pintu kamarnya.
"Ah, kau belum tidur!" kata Jonathan terkejut.
"Belum." sahut Budi dengan suara agak serak.
“Rupanya Monica kenal baik denganmu, Budi." kata Jane tersenyum.
“Ya, kami sering bertemu di perpustakaan” sahut Budi mengusap-ngusap rambutnya yang kusut.
"Kelihatannya dia kecewa kau tidak datang," tambah Jonathan.
"Ya. Dia bertanya apakah kau kami un­dang," kata Jane pula
"Apa jawabmu?" tanya Budi, jantungnya mulai berdegup.
"Kujawab, ya!"
"Bagus! Lalu, apa katanya?"
"Dia bertanya apakah undangan itu kami sampaikan sebelum atau sesudah kau mem­baca
suratnya."
"Apa jawabmu?" tanya Budi dengan
kekhawatiran yang tidak dapat disembunyikannya.
"Sebelumnya, tentu."
"Bagus!
Bagus!" kata Budi lega, lalu meneruskan, "Jane, kau punya nomor telepon Monica?"
Jane dan Jonathan saling berpandangan dan tersenyum penuh arti. Kemudian gadis itu membuka tasnya, mengeluarkan sebuah buku kecil dan secarik kertas. Ia menulis nomor telepon Monica lalu menyerahkannya kepada Budi.
"Terimakasih banyak, Jane. Kau betul-betul juru selamat!"
Setelah Budi kembali ke kamarnya dan menutup pintu, Jonathan berkata pelan, "Pasti ada sesuatu!" Jane hanya tersenyum.
"Ayo, sudah malam!" kata gadis itu meng­gandengkan tangannnya ke tangan Jonatahan. Dan di luar sana, malampun ber­tambah dingin sementara salju masih terus berjatuhan.
Keesokan harinya Budi menelpon Monica.
"Halo..." sahut suara lunak di seberang sana, dan Budi tidak memerlukan waktu untuk mengenali suara itu.
"Monica?"
"Siapa, ya?"
"Budi."
"Oh, Budi!"
"Apa kabar, Monica?"
"Baik, baik! Dan kau?"
"Setelah kuterima suratmu aku merasa....ya, ya, kabar ba...baik, Monica. Aku baik-baik saja," jawab Budi terbata-bata. Sebelah tangannya mengurut-ngurut dadanya seakan ingin menentramkan jantungnya yang tambah berdegup. Sambil berusaha mengatur pernafasan, ia melanjutkan dengan kata-kata yang terdengar sulit diucapkan, "Jane... memberikan... nomor tele­pon...mu...pa...padaku. Kuharap.... kau tidak ....menyalahkannnya....."
"Tidak, tidak. Tentu saja tidak!" pintas Monica.
"Monica,"
"Ya?"
"Aku sudah melupakan Balzac."
"Maksudmu?"
"Aku ingin bicara soal lain,"
"Soal apa?"
"Aku ingin bertemu lagi denganmu."
Gadis itu tidak menjawab. Budi mulai gelisah.
"Monica?"
"Ya?"
"Rasanya sudah lama sekali sejak aku tera­khir.... melihatmu,"
"Itu kira-kira lima minggu yang lalu."
"Ah, seandainya aku tahu ke rumah makan mana kalian pergi tadi malam,"
"Jangan khawatir. Aku mengerti."
"Maukah kau datang, kalau kuminta?"
"Datang ke mana?"
"Aku sekarang di perpustakaan. Menunggumu! "
"Menungguku?”
"Ya, menunggumu!"
"Ah!"
"Kenapa, Monica?"
“Maaf, Budi.”
“Kenapa?”
"Sekarang ti...tidak mungkin,"
"Tidak mungkin?"
"Ya, tidak mungkin sekarang."
"Bagaimana kalau besok sore?"
"Besok sore?"
"Ya, besok sore! Bisa 'kan?"
Agak lama Budi harus menunggu sebelum Monica menjawab, "Besok sore juga tidak mungkin. Soalnya...." Monica tertegun.
"Soalnya apa, Monica?"
"Sekali lagi maaf, Budi."
"Aku tidak mengerti, Monica. Besok sore bisa 'kan?" tanya Budi tidak mau menyerah.
"Besok sore....hm, bagaimana ya?"
"Apa yang bagaimana, Monica?"
Monica diam saja.
"Monica?"
"Ya?"
"Jam berapa kita bisa bertemu besok?"
"Besok aku sudah ada janji," jawab Moni­ca.
Sebetulnya Budi ingin bertanya ada janji dengan siapa, tapi yang sempat diucap­kannya hanya: "Ada janji?"
"Ya, besok aku sudah ada janji dengan teman,"
Tiba-tiba saja Budi dihentak oleh perasaan cemburu. Apakah ada lelaki lain dalam ke­hidupan Monica? Lelaki lain? Ia memicing­kan mata, mencoba mengusir kemungkinan itu dari kepalanya.
"Budi?"
"Ya,
ya, Monica kau sudah ada janji besok. Sekarang aku mengerti. Tetapi lusa, lusa Monica. Bagaimana kalau lusa?"
Monica diam lagi. Budi mendengarnya menarik nafas.
"Monica?"
"Ya?"
"Bagaimana kalau lusa?"
"Maaf, lagi-lagi aku harus mengecewakanmu, Budi."
"Lusa juga tidak mungkin?”
“Tidak mungkin.”
“Baiklah. Lalu kapan kita bisa bertemu?"
"Bagaimana kalau Sabtu siang?"
Budi merasa terlepas dari sebuah beban berat, "Sabtu siang, Monica?" tanyanya ingin meyakinkan dirinya sendiri.
"Ya, Sabtu siang. Sebelum pukul sebelas. Di perpustakaan. Oke?"
"Jangan lupa, ya? Sabtu siang. Sebelum jam sebelas!"
Ketika gagang telepon itu kembali diletakkannya, jantung Budi berhenti ber­denyut, dan ketika berdetak lagi, ia ber­denyut lebih kencang menggebah sepi, menghalau semua sesal dan hampa. Awal dari sebuah mimpi manis yang sebelumnya seperti tidak lagi mengandung harapan kini kembali mengundang kelanjutan. Sebuah tembang indah yang tiba-tiba terhenti sekarang terasa mengelus lagi. Redup matahari yang ia kira menandakan kedatangan senja, ternyata justru fajar dari siang yang penuh janji.
Dalam tiga hari menunggu kehadiran Sabtu, terasa waktu seakan enggan berlalu. Dan ketika hari yang dinanti-nanti itu akhirnya tiba, iapun su­dah menunggu jauh sebelum pukul sebelas siang. Kebetulan hari itu matahari menampakkan diri. Langit kota London yang sering kelabu kini tampak begitu cerah, dan kebetulan pula udara yang biasanya menggigit tulang, tidak terlalu dingin. Cuaca seolah berpihak kepada Budi. Alam seakan tersenyum khusus baginya. Tidak seperti sebelumnya, ia tidak menunggu di ruang baca, melainkan di ujung salah satu jembatan sungai Thames, tempat mereka biasa ber­pisah sepulang dari perpustakaan. Sungai Thames mengalir seperti biasa. Di jalan, ra­tusan kendaraan meluncur seperti biasa. Di trotoar, orang-orang lewat seperti biasa. Namun ketika dari kejauhan Budi melihat Monica muncul, mengayunkan langkah ke arahnya, semuanya tiba-tiba menjadi luar-biasa. Sinar matahari seakan langsung menyorot hatinya. Kecerahan langit seakan mengung­kapkan perasaannya. Jantungnya makin ken­cang berdetak. Kini ia tidak melihat kendaraan. Ia tidak melihat orang lain. Ia hanya melihat Monica. Melangkah dalam pakaian tebal. Di bahunya sebuah tas bergantung. Rambutnya yang ikal alangkah bagus. Langkah-langkah tenang yang diayunkannya, seperti bermula dari sebuah kejauhan tak berujung, namun mengantarkannya kian dekat kepada Budi. Ia datang, karena kuminta. Ia datang karena ia tahu aku menunggunya. Ia datang mengantarkan musim semi, musim paling indah dari semua musim.
Ah, pohon-pohon yang terpaksa gundul merana karena cengkraman musim dingin ti­ba-tiba seakan menampakkan daun. Burung-burung yang menghilang dihalau udara beku, kini seperti sudah kembali. Berkicau di antara ranting dan dahan. Bunga-bunga daffodil dan tulip seakan mencuatkan kem­bang. Bumi bergetar riang menghalau suram musim dingin. Taman-taman yang sepi seakan menjadi ramai kembali. Wajah-wajah serius kembali ceria. Senyum di mana-mana. Semua orang seperti ingin bertegur sapa, ingin saling bertukar cerita. Kota London yang angkuh mendadak jadi ramah. Oh, ke­hidupan, memang kau indah! Oh, masa muda, memang kau manis!
Dan ketika dua pasang mata bertatapan, ketika langkah-langkah tenang itu berhenti, ketika Monica sudah berdiri di depannya, Budi merasa dirangkul oleh semacam kebahagiaan.
"Monica....." sapanya berusaha menyembunyikan kebahagiaan yang dirasakannya, namun kebahagiaan itu membersit dari sepasang matanya, mendebarkan hati Monica.
"Budi....." balas Monica.
Ah, suara lembut yang sudah lama dirindukan Budi bagai tetesan gerimis pada rumput yang nyaris kering dalam kemarau panjang, kembali membangkitkan semangat yang sempat hampir padam.
"Aku sudah lama menunggumu di sini, Monica," katanya, tak yakin bagaimana dan dari mana harus memulai.
"Apakah aku terlambat?"
“Tidak, kau tidak terlambat”
“Kenapa kau menunggu di sini?”
Budi seperti tidak berani menjawab. Dengan gugup, diperhatikannya sepasang mata yang sudah lama dirindukannya itu, seakan mencari-cari tanda apakah di sana juga tersembunyi perasaan sedang yang dirasakannya.
"Ada beberapa alasan, Monica.” sahut Budi setelah berhasil tenang “Tapi yang paling penting, aku ingin kau dan aku ber­jalan menyusuri sungai Thames sambil bi­cara, kalau kau tidak berkeberatan."
"Tidak. Aku tidak berkeberatan."
Mereka melangkah menyusuri tepi sungai Thames, di antara pohon-pohon di sepanjang trotoar Embankment, menuju arah gedung parlemen, House of Westminster.
“Tadinya, aku mengira aku tidak akan pernah bertemu lagi denganmu,” kata Budi
“Aku juga begitu” jawab Monica membalas tatapan Budi.
“Aku mengira hari itu hari terakhir aku bisa melihatmu.”
"Kau mengatakan, kau sudah melupakan Balzac," kata Monica memandang lurus ke depan seperti ingin mengalihkan pembicaraan.
Budi diam saja. Monica kembali menoleh Budi.
"Jangan kau ingatkan aku padanya, Monica. Aku tidak mau lagi kita bicara soal Balzac. Kau tahu itu."
"Aku hanya ingin tahu apakah kau masih marah padaku,"
"Marah? Aku tidak punya alasan untuk marah padamu."
"Ah, aku hanya ingin tahu kenapa sejak hari itu kau tidak pernah muncul-muncul lagi di perpustakaan,"
"Aku terlalu sibuk membaca ulang novel-novel Balzac..." Budi segera menyesali kalimat yang sudah terlanjur diucapkannya itu. Ia menyesal bahwa ia terlalu polos.
"Kenapa?"
"Ya, tadinya aku ingin meyakinkanmu...."
"Jadi, sebetulnya kau tidak melupakan Balzac ‘kan?"
Budi merasa sudah tak mungkin mengelak lagi.
"Ya, sebetulnya tidak."
"Kalau begitu kau bohong!"
"Kuakui, aku memang membohong. Tetapi terus-terang, itu kulakukan karena aku ingin bertemu lagi denganmu. Karena aku....tidak ingin kehilanganmu."
Monica menatap Budi dalam bisu. Keduanya saling berpandangan sementara ayunan langkah mereka menjadi semakin pelan tanpa mereka sadari.
"Sungguh?" tanya gadis itu tanpa mengalihkan sepasang matanya dari Budi.
"Sungguh, Monica!"
Wajah Monica tertunduk. Sambil menunjuk pada sebuah bangku panjang yang menghadap sungai Thames, ia berkata pelan: "Bagaimana kalau kita duduk sebentar di sini?"
Merekapun duduk di bangku panjang itu. Air sungai Thames yang sedang pasang dan keruh mengalir tenang melanjutkan ke­abadian.
"Apakah kau masih ingin meyakinkanku mengenai Balzac?"
"Tidak. Sekarang aku ingin meyakinkanmu mengenai soal lain,"
"Soal apa?"
"Bahwa duduk di sini di sampingmu, me­mandangmu, berbicara denganmu, mem­buatku merasa
orang yang paling bahagia di seluruh kota London!"
"Ah, kau bicara seolah-olah kau sedang bermimpi, Budi." sahut Monica seperti tersipu, dan seperti pura-pura mengamati jari-jarinya yang halus.
"Memang, sekarang aku merasa seperti dalam mimpi,"
"Kau pernah mengatakan bahwa kau tidak percaya bahwa kebahagiaan itu ada,"
"Kehadiranmu telah mengubah segalanya.!"
“Maksudmu?”
“Sekarang aku percaya kebahagiaan itu memang ada!”
“Ah!” Monica seperti menahan senyum.
“Kenapa?”
"Tiba-tiba kau jadi romantis!"
“Mudah-mudahan itu bukan satu kesalahan.”
Senyum Monica semakin lebar. Namun ia menggeleng-gelengkan kepala.
“Kenapa kau menggeleng?”
“Aku tahu kau hanya bergurau!”
“Bergurau?”
Monica mengangguk pelan.
Mendadak Budi menggenggam erat kedua tangan gadis itu. Monica merasakan sinar mata Budi seakan menembus jantungnya. Dan tanpa disadarinya, ia membiarkan tangannya digenggam Budi.
"Dengar, Monica. Jangan kau kira aku main-main! Aku tidak bercanda. Aku tidak main-main. Aku serius! Serius, Monica!" Katanya dengan suara lembut. Monica hanya menatap Budi. Ia merasakan dadanya berdebar kencang.
"Monica, setelah menerima suratmu, aku­pun menyadari bahwa hidupku, bukan di dalam diriku lagi, tetapi di dalam dirimu. Adalah nasib lelaki untuk menyerah kepada wanita yang bisa membuat­nya percaya bahwa kebahagiaan memang bukan sekedar mimpi."
Monica tidak menjawab ia menundukkan muka. Untaian rambutnya yang pirang dan halus menutupi pipinya, bergerak-gerak dielus angin dari arah sungai Thames.
" Monica,” lanjut Budi, “Aku tahu, di antara Barat dan Timur ada sebuah jurang lebar, jurang yang mung­kin tidak akan pernah bisa kujembatani.”
Monica mengangkat muka, memandang Budi.
Budi melanjutkan, namun ia hanya dapat melanjutkan dalam hati: “Aku bukan tidak melihat semua perbedaan dan rintangan yang melintang. Aku bukan tidak mengerti bahwa di antara kau dan aku terbentang lembah kehidupan yang menyimpan banyak tantangan. Terus terang semua itu menakutkanku, Monica. Tetapi sekaligus membuatku nekad!"
Keteduhan matanya semakin teduh. Tetapi ia masih tetap diam, masih tetap me­mandang Budi. Dan ia tetap memandang pemuda itu ketika Budi Berkata; “Kau telah membangunkan semua yang sebelumnya tidur di dalam diriku. Segala yang kulihat dalam kehidupan sekarang mengandung makna.
Namun, aku merasa berada di dalam sebuah penjara, dan kalau saja kau mengatakan kau menungguku di luar sana, aku akan berusaha keras untuk mendapatkan kembali kebebasanku, menda­patkannya kembali dan menyerahkannya kepadamu. Katakanlah Monica, apakah kau menungguku?"
Monica menatap Budi dengan sayu. Namun ia tidak menjawab.
“Jawablah, apakah kau menungguku?”
“Kalau kujawab tidak?” tanya Monica pelan.
Budi terhenyak. Ia mengalihkan mata ke seberang sungai Thames. Namun ia merasa tidak melihat apa-apa. “Kalau jawaban itu memang dari lubuk hatimu, tentu aku tidak bisa berbuat lain selain berusaha untuk tidak kecewa.” sahut Budi yang terdengar oleh Monica seakan dari kejauhan.
“Tidak, Budi. Jawabannya adalah sebaliknya”
“Jadi, kau memang menungguku?”
"Aku menunggumu, Budi."
Detik itu dalam ingatannya, Budi mencoba mencari nama dari orang-orang yang keba­hagiaan mereka pernah ia cemburui, namun ia tidak bisa mengingat satu namapun, tanpa merasakan bahwa dirinya paling ba­hagia.......
Budi mendongak. Hari itu terasa cahaya matahari musim dingin memperlihatkan kebiruan langit lebih bening daripada yang bisa diperagakan musim panas. Seakan hen­dak menandai bahwa salju tidak akan pernah turun lagi. Tetapi, betulkah salju tidak akan pernah turun lagi?
Betulkah kebahagiaan yang menggelimangi hatinya detik itu satu pertanda baik dari sebuah permulaan yang ia sendiri tidak tahu akan membawanya ke mana?
Tetapi ah, kenapa pula ia harus ber­pikir jauh ke muka? Bukankah masa depan tidak lebih dari sekedar bayangan, sesuatu yang belum nyata dan pasti? Bukankah setiap hari suatu permulaan yang baru? Bukankah setiap hari semua orang bisa mengawali sesuatu yang baru? Kalau setiap hari adalah satu permulaan, kenapa aku mesti memikirkan ke mana hari ini akan membawaku pergi?
"Tetapi, Budi," terdengar bisikan lain dari dalam dirinya
"Hati-hatilah kau, bahagia yang kau rasakan hari ini mungkin akan membuat kau kecewa esok atau lusa."

Budi memicingkan mata. "Aku tidak perduli!" bantah hatinya. "Setiap hari adalah permulaan yang baru! Kalau ke­bahagiaan hari ini memang akan berubah menjadi duka esok hari, lusa adalah hari lain untuk memulai yang baru. Oh, cinta aku ti­dak takut padamu!"
Para pejalan kaki lewat di depan mereka. Sebentar melirik Monica dan Budi sambil melangkah meneruskan perjalanan. Namun Budi seperti merasakanbahwa dari lirikan-lirikan yang sekilas itu terbersit kecembu­ruan. Ia merasa semua orang cemburu kepadanya. Ia merasa ibarat orang yang baru pertama kali memiliki sesuatu yang amat berharga. Sesuatu yang mesti dijaga dan dilindunginya dengan hati-hati.
"Kenapa kau tiba-tiba jadi pendiam, Budi?" tanya Monica mengejutkannya. Budi seperti tersentak. Tapi sepasang matanya bagai menyimpan sebuah kesenduan, ibarat permukaan telaga di bawah keteduhan senja. Lama mata itu menyapu wajah Monica seakan enggan berpaling ke arah lain.
"Aku terlalu bahagia untuk bisa bicara, Monica." sahutnya lirih, dan tiba-tiba ia merasa terlanjur lancang ketika disadarinya sebelah tangannya sudah rebah begitu saja di bahu Monica. Namun gadis itu seperti ti­dak berkeberatan. Ia membalas tatapan Budi dengan pandangan yang membersitkan ke­hangatan.
"Budi," desisnya, "Betulkah yang kau katakan itu?"
"Kenapa?
Kau tak percaya?"
"Aku gembira bisa membuatmu bahagia," sahut Monica pula. Kini ia merapatkan duduknya kepada Budi. Dan keduanyapun terdiam.
"Aku ingin berterus terang, Monica," ujar Budi menyudahi kebungkaman. "Aku sendiri malah tidak yakin,"
"Tidak yakin?" tanya Monica agak terkejut. "Apa yang tidak kau yakini?"
"Aku sendiri tidak yakin apakah aku mampu membuatmu....."
"Membuatku bahagia?"
Budi mengangguk. "Mengetahui bahwa ada seseorang yang ingin membahagiakan, sudah mendatangkan kebahagiaan tersediri, Budi."
"Kau suka sekali berfilsafat, Monica."
"Kau pernah membaca Khalil Gibran?" tanya gadis itu.
"Kenapa?"
"Dia senang berfilsafat. Pernah kau baca?"
"Ya, ada beberapa karyanya yang pernah kubaca."
"Apa saja?"
"Mmm..."Spirits Rebellious"...."Tears and Laughter"...Apa lagi, Ya? Ya, juga "The Prophet"....
"Juga the Prophet!", ulang
Monica gembira.
"Juga the Prophet!" Budi menegaskan.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya Monica berseri-seri.
"Tentang the Prophet, atau Khalil Gibran?"Monica seakan menahan senyum."Ya, ya aku mengerti," katanya cepat, "kau ingin memisahkan antara penyair dengan karyanya, seperti juga antara Balzac dengan...." gadis itu tersendat, namun segera melanjutkan: "aku ingin tahu pendapatmu tentang kumpulan syairnya itu."
"Ya, singkatnya sebuah kumpulan syair yang sarat filsafat hidup" jawab Budi tanpa harus berpikir.
“Aku terkesan sekali dengan salah satu bait dalam the Prophet," ujar Monica lirih sambil memandang Budi dengan sepasang mata yang kian memancarkan kemesraan.
"Oya?
Bait yang mana?" tannya Budi dengan nada ingin tahu.
"Tentang cinta," sahut Monica semakin lirih nyaris tidak terdengar.
Budi kian mempererat dekapannya di ba­hu Monica.
"Gibran menulis," kata Monica tanpa mengalihkan pandangannya dari tatapan Budi, "Bila cinta memanggilmu, ikutilah dia, kendati jalannya penuh kerikil dan curam. Dan bila sayapnya menaungimu, berlindunglah padanya, walaupun sebuah pedang yang tersembunyi dalam kepaknya mungkin akan melukaimu."
"Oh, Monica! Aku bertekad mengikutinya!" ***

0 Response to "DI TEPI SUNGAI THAMES Oleh Arman Duval"

Posting Komentar