Terima Kasih, Aku masih hidup

“Semakin besar hasrat kita untuk memenangi sebuah pertandingan dengan orang lain, maka akan semakin jelas prediksi kekalahan kita pada akhir pertandingan.”



Entahlah, ungkapan ini sebenarnya sudah ada dalam benak ku beberapa hari yang lalu, namun masih saja melekat sampai saat ini ketika kesadaranku seolah-olah telah membenarkannya. Hanya gara-gara sebuah permainan kecil dalam sebuah GPS merk China dengan fitur game yang dimainkan dengan penuh gairah dan antusias. Permainan ini seperti membawa kembali pada saat kenangan yang indah; sebuah memori terformat seolah terangkat kembali oleh software pencari data yg sudah terhapus hanya karena sebuah permainan yang pernah dimainkan cukup lama. Dalam proses menelusuri memori yang pernah hilang ini, sedikit demi sedikit permainan menceritakan walaupun dimainkan cukup lama, permainan ini tidak terasa membosankan; dan harus terhenti karena tragedi sebuah perampokan kemanusiaan yang tidak adil.




Saat itu diriku bermain bersama seorang teman, dan mencoba berlomba untuk memenangi setiap tingakatan permainan. Ada suatu kepuasan ketika otak kita bekerja selaras bersama anggota tubuh kita untuk melewati setiap tingkatan permainan. Awalnya hanya untuk kesenangan bermain saja ketika waktu seakan ingin dipenuhi oleh kenakalan-kenakalan ku, namun seiring dengan merayapnya waktu, permainan pun menjadi sebuah kompetisi-- siapa yang menang dan siapa yang kalah. Keinginan untuk mengalahkan lawan tanding kita malah menjadi sebuah tragedi; permainan ku menjadi semakin berantakan, dan temanku semakin bisa melampaui setiap tingkatan yang diraih. Setiap target ku selalu kandas, bahkan prestasi pun semakin memburuk, seolah-olah pikiran dan tubuh tidak mau bekerja sama.



Teman baikku berkata walaupun agak sedikit berceloteh: “Aku tidak pintar, aku tidak terlalu cerdas, atau terlalu pandai dalam permainan ini. Aku bermain tidak merasa sedang berlomba dengan orang lain, tapi aku hanya berlomba hanya dengan diri sendiri”.



Pada waktu itu aku sedang bekerja keras dan bermain dengan sekuat tenaga dan pikiran; tidak ada rasa putus asa untuk mengulangi permainan ini, semakin gagal diriku untuk melampaui tingkatan permainan temanku, semakin keras keinginan ku untuk melewatinya. Akan tetapi, ketika kata-katanya terdengar, permainanan pun berhenti dan aku terdiam sejenak dan berpikir; lalu tercetuslah ucapanku: “Itu benar....itu benar...kata-kata mu benar, itu adalah kata bijak”



Kemudian sebentar saja aku mencoba menenangkan diri, dan mencoba memulai permainan ini tanpa memikirkan untuk menang dan kalah. Yang aku lakukan hanyalah bermain dan bermain, seolah-olah aku sedang berlomba hanya dengan diri sendiri saja. Sangat berbeda sekali rasanya dengan yang sebelumnya; seolah-olah rintangan, kesulitan, kebuntuan berubah menjadi ribuan ide, rencana, dan solusi dalam melakukan perjalan permainan ini. Wow, fantastis.....permainanku bisa melampui tingkatan yang dicapai oleh oleh Teman bijak ku. Aku coba mengulangi permainan ini, lagi dan lagi, hasilnya selalu memuaskan; kemudian dalam benakku berkata: “Terima kasih teman bijakku, kau telah membuka jalan hidup ku dan memberi ilmu yang sempurna”.



Inilah hidup....dan aku masih hidup.....terima kasih.

0 Response to "Terima Kasih, Aku masih hidup"

Posting Komentar