BAKU, perbatasan, kematian. Ini sebuah cerita
yang terjadi kurang-lebih 100 tahun yang lalu, ketika Eropa bersentuhan
dengan Asia, dan seorang bangsawan muslim jatuh cinta pada Nino. Gadis
ini teman sekolahnya, beragama Kristen, dan semua itu terjadi di sebuah
tempat yang pas untuk cerita seperti ini: di Baku, di tepi Laut Kaspia
itu, di mana Georgia, Armenia, dan Azerbaijan bertemu, di sebuah wilayah
yang berada di bawah kemaharajaan Rus dan bersentuh batas dengan
Persia. Agaknya novel Ali und Nino ini memang ditulis, oleh seorang
pengarang misterius bernama Kurban Said, dengan arah seperti itu: Eropa
bersentuhan dengan Asia, dan segala kerumitan, juga cinta dan kematian,
meruyak.
Novel itu terbit dalam bahasa Jerman pertama kali di
Wina pada tahun 1937. Kemudian perang meletus, dan karya yang pernah
disambut hangat itu pun dilupakan, sampai akhirnya, di puing-puing
Berlin, di sebuah toko buku bekas, seorang penerjemah menemukannya
kembali. Pada tahun 1971 versi Inggrisnya terbit. Pada tahun 2000 ia
muncul lagi dalam terbitan Anchor Books, dengan kata akhir oleh novelis
Paul Theroux.
Seperti 30 tahun sebelumnya, Theroux, yang pernah
menulis resensi atas Ali and Nino, memujinya, dan ia tak sendiri. The
New York Times Book Review mengatakan betapa buku ini “kita baca seperti
sebuah puisi epik…[dengan] gelora hati, puisi, tikungan tajam humor dan
tragedi.”
Aneh, tapi mungkin juga tidak: saya tak menemukan
gelora hati itu. Saya membaca novel setebal 275 halaman ini dan memasuki
sebuah bangunan prosa yang rapi, apik, tapi di dalamnya tak saya
temukan sesuatu yang umumnya ada dalam kisah cinta yang menggugah:
sebuah interior.
Alurnya sederhana: Ali Khan Shirvanashir bertemu
dengan Nino Kipiani di sekolah menengah atas humanistika yang dibangun
kemaharajaan Rus di Baku. Ali Khan adalah anak seorang aristokrat Persia
yang tinggal di bagian kota tua Baku, di rumah besar yang penuh pelayan
dan permadani. Di sekolah ia pintar, tapi juga seorang anak yang dengan
caranya sendiri mencemooh guru-guru Rusia yang mengajarnya. Ia berhasil
lulus, dan ia meneruskan cintanya pada Nino, seorang anak pangeran
Georgia. Ia hendak memperistrikannya.
Sudah tentu, tak mudah
proses itu. Hambatan agama dan ras membentang. Di awalnya Pangeran
Kipiani menolak lamaran Ali Khan. Tapi novel ini melintasi hambatan itu
tanpa darah dan besi. Seorang teman lama Ali, seorang Armenia bernama
Melik Nacharayan, datang menolong. Lewat negosiasi, Nacharayan berhasil
meyakinkan keluarga Kipiani untuk mengabulkan pernikahan itu. Tentu saja
karena itu terjadi di Baku, pada tahun menjelang Perang Dunia I, bukan
pada abad ketika Eropa dan Asia masih belum bersentuhan.
Meskipun
demikian, Ali and Nino bukanlah sebuah kisah yang menyambut lahirnya
sebuah pembauran. Novel ini justru sebuah cerita yang asyik dengan beda,
dengan demarkasi yang tegas, antara yang “Asia” dan yang “Eropa”. Ia
praktis sebuah uraian tentang “clash of civilization” ala Samuel
Huntington.
Paul Theroux menyebutnya sebagai pameran “etnografi”,
dan ia benar, meskipun ia tak menilai bahwa sebab itulah novel ini
ke-hilangan sebuah interior. Ali, sang tokoh, hadir sebagai wakil
“Asia”: dia adalah “saya” dalam kisah ini, tetapi ia adalah “saya” yang
tanpa batin yang bergetar. Sejak awal ia sudah meletakkan dirinya
tergumpal dalam sebuah kategori: cerita ini dimulai dengan adegan di
kelas, ketika Ali menyatakan kepada gurunya bahwa ia “lebih menyukai
Asia” dan tak hendak menyeberang ke “Eropa”. Ia jatuh cinta pada Nino,
tapi ia tak tampak gundah di depan dunia gadis Kristen dari Georgia itu.
Ia bahkan tak hendak mencoba memasuki ambangnya. Berlibur bersama
keluarga Kipiani, yang menyukai pohon-pohon, Ali berkata, “Dunia
pepohonan membingungkan saya, Yang Mulia…. Tidak, saya tak menyukai
pohon-pohon. Bayangan pepohonan menekan perasaan saya, dan saya murung
mendengar geretap dahan-dahan. Saya mencintai hal-hal bersahaja: angin,
pasir, dan batu-batu.
Padang pasir itu sederhana seperti tusukan
pedang. Hutan rumit seperti buhul Gordia. Saya akan tersesat di dalam
hutan, Yang Mulia.”
Hutan dan padang pasir: sebuah beda
esensial—agaknya itulah pesan novel ini. Ali Khan tak membantah ketika
tuan rumahnya, orang Georgia, mengatakan bahwa mungkin itulah beda
antara Timur dan Barat: di Barat, manusia menemukan hutan yang “penuh
pertanyaan”; di Timur, manusia padang pasir “hanya punya satu wajah, dan
hanya tahu satu kebenaran, dan kebenaran itu memenuhinya.” Dari padang
pasir, datang si fanatik. Dari hutan: si pencipta.
Aksentuasi
terhadap beda itu hampir kita dapatkan di tiap bagian novel ini—yang
menyebabkan tokoh Ali (apalagi Nino) tak menarik hati. Bahkan ketika ia
membunuh Nacharayan, orang yang dulu menolongnya, hanya karena Melik
dikabarkan hendak melarikan Nino, Ali tak ditampilkan sebagai seseorang
dengan secercah rasa bimbang, sesal, atau sedih. Membunuh, bagi Ali yang
“Timur” ini, seakan-akan sebuah imperatif budaya. Bahkan ketika ia
menggigit leher orang Armenia itu, ia tak lupa menegaskan identitasnya:
“Ya, Nacharayan, begitulah kami berkelahi di Asia… dengan cengkeraman
serigala kelabu.”
Begitulah Ali Khan mati (atau dimatikan) jauh
sebelum akhir novel. Ali mati sejak mula, di perbatasan budaya, dengan
Baku sebagai tempat perbatasan itu. Selebihnya adalah peristiwa historis
di luar dirinya. Tapi saya mengerti kenapa Ali and Nino yang bagi saya
membosankan ini memukau orang Eropa pada tahun 1930-an. Mereka adalah
pembaca yang biasa membayangkan yang “Asiatik” sebagai kategori manusia
yang tersendiri, yang buas, ganas, dan menarik serta seksi justru dalam
watak itu: penghuni dunia yang beda, bagian dari ruang yang eksotis.
Novel ini memang menawarkan apa yang “lain” dengan pendekatan itu: ia
mengaitkan benda, nyanyi, hikayat, perilaku dengan “zaman dahulu”, bukan
“zaman ini”, sebagai sesuatu yang memikat. Bergerak di dalam
deskripsinya saya merasa seperti bergerak di sebuah toko antik, yang
dihuni guci, almari, dan boneka yang menakjubkan, tapi bukan manusia.
Soalnya
kemudian: siapa sebenarnya Kurban Said, pengarangnya, dan kenapa ia
menawarkan yang “Asiatik” bukan sebagai sebuah batin, melainkan sebagai
sebuah panorama. Theroux pernah menduga bahwa “Kurban Said” adalah
seorang Tartar yang meninggal di Italia pada tahun 1942. Kemudian
diketahui bahwa nama itu adalah nama pena dua orang: yang pertama
Elfriede Ehrenfels, seorang bangsawan putri Austria; yang kedua Lev
Nussimbaum, seorang Yahudi kelahiran Baku dan kemudian besar di Berlin,
yang di masa muda masuk Islam dengan nama Essad Bey. Yang pertama orang
yang datang dari Eropa lama, yang kedua seorang pengembara. Dengan kata
lain, mereka bukan penghuni sebenarnya dunia seorang Ali.
Tapi
mungkin bukan salah mereka. Dari Aristoteles sampai dengan direktur
kebun binatang (juga Samuel Huntington), tampak bagaimana manusia
menyukai dua hal yang bertentangan: perbedaan dan kategori. Kategori
merampat-rapikan perbedaan; perbedaan seharusnya membebaskan manusia
dari kategori. Tapi tak jarang atas nama perbedaan, kategori
ditegakkan—dan kita pun masuk ke dalam kata seperti “pemamah biak”, atau
“reptil”, atau “Asiatik”, dan seperti terpenjara.
Se (l-k) uler Desember 15, 2002
Seseorang
pernah berkata, ada hubungan erat antara telepon seluler dan pemikiran
sekuler. Teknologi modern, katanya, tak bisa diciptakan, disebarkan dan
dinikmati, seandainya manusia tak pernah lepas dari ketakutan kepada
Tuhan. Kemal Attaturk akan memimpin Turki yang kalah perang seandainya
ia mengikuti fatwa ulama bahwa mortir dan mitraliyur adalah senjata yang
‘haram’, benda orang ‘kafir’.
Memang aneh bila Tuhan dibayangkan
mengatur mortir. Hari ini dunia pengalaman telah mekar dan manusia
membuka aneka laku dan kerja. Agaknya itulah yang dimaksudkan Iqbal,
ketika ia bicara di depan Tuhan:
Kau ciptakan malam, tapi kubuat lampu,
Kau ciptakan lempung, tapi kubentuk cupu
Kau ciptakan gurun, hutan dan gunung,
Kuhasilkan taman, sawah dan kebun
Membuat
lampu, membentuk cupu, mengolah kebun — di situlah teknologi ditemukan,
dan untuk itu akal dikerahkan.. Di depan Tuhan, Iqbal ingin menunjukkan
bahwa imannya tak mendorongnya tenggelam ke dalam rasa gentar yang
kronis. Meskipun ia bukan Attaturk, dengan mantap ia pisahkan mana yang
wilayah Tuhan (malam, lempung, dst.) dan mana yang wilayah manusia
(lampu, cawan, dst.). Ia akui daya kreatif Yang Suci, tapi ia tampilkan
penciptaan yang terlepas dari yang sakral. Buahnya adalah benda-benda
peradaban yang independen, sebuah dunia sekuler dalam sejarah. Tentu,
Iqbal tak menggunakan kata ‘sekuler’, tapi sajaknya, seperti terungkap
dalam Asrar-e khudi yang menggarisbawahi kemerdekaan ‘ego insani’,
mengandung iman yang mengakui kebesaran Tuhan tapi menegaskan otonomi
manusia.
Di situlah ‘sekuler’ tak sama dengan ‘murtad’. Tentu
saja ‘murtad’ atau ‘bid’ah’ pada akhirnya keputusan manusia juga – yang
karena satu dan lain hal menganggap diri penjaga akidah. Tapi kita tahu
tiap keputusannya diambil dengan Hakim yang in absentia. Tuhan tak hadir
dalam sidang. Hanya para penjaga akidah sering tak sadar bahwa atas
Nama-Nya pun mereka bisa keliru.
Seabad lebih sebelum sekularisme
diberlakukan dengan sengit oleh Revolusi Prancis, di Italia sudah ada
kecemasan besar bahwa wilayah Tuhan akan direbut wilayah manusia. Pada
musim gugur 1624, dalam kuliah pembukaan di Collegio Romano, Pater
Spinola, padri Jesuit dari Genoa, mengutarakan dengan fasih pendirian
ordonya, yang saat itu tengah menghadapi polemik yang ditembakkan
seorang ilmuwan yang tak begitu patuh, Galileo. Suasana memang panas.
Setahun sebelumnya di Roma terbit Il Saggiatore, sebuah kombinasi yang
asyik antara teori fisika dan cemooh ke kaum Jesuit. Dalam Galileo
Heretico, sebuah buku yang secara mendalam menguraikan konflik Galileo
dengan Gereja, Pietro Redondi menunjukkan bahwa di hari-hari itu Il
Saggiatore, tulisan Galileo – yang bermula dengan sebuah teori tentang
cahaya — dijadikan penyambung suara yang menuntut kebebasan intelektuil:
agar pemikiran manusia bertolak dari ‘bobot akal budi’, dan bukan dari
‘otoritas’.
Tapi Gereja berdiri tegak: ia Sang Otoritas. Sejak
theologi Thomas Aquinas, otoritas agama dikukuhkan di atas apapun, dan
bagi kaum Jesuit di Collegio Romano, iman adalah panglima bagi akal.
Kata-kata Pater Spinola tegas: ‘Satu-satunya hal yang penting bagi
filosof, agar mengetahui kebenaran yang satu dan sederhana, adalah untuk
menentang apa saja yang melawan Iman dan menerima apa yang termaktub
dalam Iman’.
Dengan kata lain, di zaman itu filsafat tak boleh
berada di wilayah yang mandiri. Iman menguasai hidup. Filsafat, buah
pikiran manusia, bukan untuk menjelaskan segalanya. Hari itu seakan-akan
bergema sebuah argumen yang menghabisi peran filsafat dalam kehidupan
beragama, bahkan ketika filsafat itu mencoba menjelaskan Tuhan – gema
dari Tahāfut al-Falāsifah Al Ghazali di abad ke-11, suara yang kemudian
melumpuhkan pemikiran di dunia Timur.
Tapi dalam bentuk apa Tuhan
hadir, selain dalam tafsir? Dan bukankah tafsir kukuh karena kekuasaan?
Sebelum terbit Il Saggiatore, di awal 1616 Vatikan telah memaklumkan
bahwa teori Kopernikus adalah bid’ah. Galileo, seorang pengikut
Kopernikus, waktu itu telah jadi sasaran, meskipun baru 17 tahun
kemudian ia jadi korban. Ia dianggap menafsirkan Injil dengan gagasan
yang sesat bahwa ‘bumi bergerak dan langit berhenti’.
Ketika
Kardinal Bellarmino menyampaikan keputusan itu, ilmuwan itu tahu apa
yang mengancam dirinya. Empatbelas tahun sebelum hari itu Bellarmino
membungkam Giordano Bruno dengan ganas. Pembangkang itu dihukum bakar.
‘Dengan kekuatan telah kutaklukkan otak mereka yang angkuh’ – itulah
epigraf yang tertulis di makam sang Kardinal. Galileo pun merunduk.
Tapi
kekuatan tak menyelesaikan segala-galanya. Pada 1992, tiga setengah
abad setelah Galileo dihukum, Vatikan mengakui bahwa Tahta Suci telah
salah memutuskan. Betapa terlambat, betapa percuma. Selama itu orang toh
bergerak dengan teori Kopernikus, Uni Soviet yang tak ber-Tuhan
meluncurkan Sputnik, dan Neil Armstrong mendarat di bulan tanpa kitab
suci.Yang ‘sekuler’ meluas. Tapi lebih dari itu, ia membentuk kesadaran
kita tentang yang baik dan yang buruk. Nilai-nilai tak dikonfirmasikan
lagi kepada Yang Suci, melainkan dengan hakim dan polisi.
Anda
mungkin cemas akan tendensi itu, tapi lihatlah: bahkan di abad ke-20
‘sekularisasi’ itu ditiru, dengan arah terbalik, oleh para penjaga
akidah. Arab Saudi, contohnya. Ketika keimanan diatur oleh undang-undang
dan dijaga polisi, Yang Suci akhirnya diwakili oleh sebuah birokrasi.
Ketika dosa diperlakukan sama seperti tindak kriminil, Yang Suci pun
kehilangan aura, seperti pemilik toko yang dirampok. Ia jadi rutin,
banal, tanpa keagungan. Akhirnya Negara berjela jadi berhala, dan Tuhan
dipasang di fotokopi.
Qin Februari 24, 2003
Para pahlawan
datang, karena para pendongeng telah datang. Tapi sebelum mereka:
hadirin. Anda bisa mengatakan bahwa dalang bercerita, maka Arjuna ada;
bahwa Homeros bersyair, maka Archilles lahir. Tapi tidak hanya itu.
Pertempuran pertama dan penghabisan dalam epos yang mana pun, termasuk
film Zhang Yimou mutakhir, Hero, adalah peperangan melawan dua sosok
besar dalam hidup: waktu dan lupa.
Epos digubah karena ada
orang-orang yang diharapkan untuk mengingat. Mengingat jadi penting
karena waktu berjalan dan manusia terbatas. Epos digubah karena ada
sebuah komunitas yang tak boleh lupa akan cerita-cerita keberanian
(epos, dalam bahasa
Indonesia, disebut juga “wiracarita”) di masa lalu.
Tapi
tentang kegagahberanian masa lalu, apa yang kita ingat sepenuhnya
tertambat dengan masa kini. Itu sebabnya sebuah wiracarita seperti Hero
disusun sebagai sebuah legenda. Ia berlebihan. Agaknya ia punya hak
untuk berlebihan. Di hari-hari ini, ketika yang masih hidup tak mungkin
ditampilkan sebagai makhluk yang menakjubkan (dan sebab itu “pahlawan”
dengan sendirinya berarti sosok yang sudah mati), Zhang Yimou jadi
seorang pendongeng yang menakjubkan.
Dengan kata lain, ia
berbicara kepada sebuah hadirin yang telah kehilangan. Saya kira ia
selalu menginginkan itu. Sutradara ini, seperti tampak dari filmnya yang
terdahulu, selalu memandang mesra ke arah hal-hal yang tak lagi ada:
upacara kematian dalam film Judou (1990), penggunaan lampion yang
terpajang di gedung-gedung tua dalam Lampion Merah (1991), permainan
wayang dalam Hidup (1994). Tapi seperti umumnya dalam nostalgia, yang
dulu banal pun jadi bagus, yang bersahaja jadi seakan-akan dalam, dan
yang terancam punah seakan-akan jadi azimat. Kita tak peduli lagi bila
yang dianggap pernah ada jangan-jangan hanya sebuah fantasi.
Cerita
wu-xia dengan mudah berbicara kepada hadirin yang telah kehilangan. Ia
gabungan antara sebuah epos dan nostalgia. Ia pertautan sebuah fabel
dengan sebuah ekspresi zaman ini. Sinematografi mutakhir, seperti kita
lihat dalam Crouching Tiger, Hidden Dragon (Macan Merendek, Naga
Sembunyi) yang disutradarai Ang Lee, demikian pula dalam Hero, menyulap
kungfu jadi sebuah persenyawaan antara yang estetik dan yang brutal.
Dalam
film Tiger, Dragon: Li Mu Bai bertempur dari pucuk ke pucuk bambu yang
lentur dan meliuk-liuk; geraknya gerak seorang penari piawai yang
tenang. Dalam Hero, yang estetik tampil di tiap bagian yang ganas. Dalam
silat sengit yang dihiasi hujan. Dalam tebas-menebas senjata besi yang
diiringi musik dawai seorang buta. Dalam pertarungan dua perempuan
bergaun merah di musim gugur, ketika loncatan tubuh dan kelebat pedang
merontokkan ribuan daun ke warna magenta. Dalam adegan duel penghormatan
di air lazuardi sebuah danau.
Seakan-akan semua itu belum cukup,
kita masih menyaksikan sebuah tarung pedang yang keras di balairung
raja, di antara gelombang kelambu hijau yang berjuntai. Di akhir
pergulatan, kain sutra itu pun runtuh, lepas, lembar demi lembar….
Telah
saya katakan di atas, Zhang Yimou punya hak berlebihan. Bukankah ia
hendak menghadirkan sebuah dongeng, sebagaimana kisah Sinbad dalam
Seribu Satu Malam dan Odysseus dalam syair Homeros? Tapi persoalan kita
dengan Hero ialah: ketika yang estetik begitu berkuasa, begitu memukau,
benarkah para hadirin tak akan terlampau silau, dan epos itu pun
kehilangan tujuannya, yakni memanggil ingatan?
Mungkin ingatan
akan terbit. Dari layar lebar Zhang Yimou mungkin orang akan sadar
tentang sebuah masa yang telah tak ada lagi. Tapi saya kira yang akan
didapat dari Hero bukanlah sebuah rekaman epik, di mana keberanian
merupakan bagian yang esensial dalam pengorbanan, dan pengorbanan bagian
yang penting bagi keadilan. Saya duga yang akan teringat ialah seperti
yang orang ingat tentang
Indonesia di masa lalu: sebuah “mooie
Indie“, “Hindia molek” dalam penampilan fotografi kolonial. Saya kira,
film Zhang Yimou ini adalah sebuah penyajian Tiongkok molek, Tiongkok
yang diperindah, ketika Cina dengan cepat berubah, mula-mula melalui
sebuah revolusi sosialis yang ingin memaksa yang estetik jadi traktor,
kemudian ke sebuah transformasi “ekonomi pasar” yang mengubah yang
estetik jadi gincu.
Dan Hero adalah sebuah gincu layar lebar.
Keindahannya tak tumbuh dari kepedihan. Tiongkok yang tampak melalui
kamera Zhang Yimou sebenarnya tak bergerak, tak bergulat, tak merasakan
luka dan sakit, meskipun bagian sejarah yang dikisahkan di sana adalah
sejarah pembangunan “negara kesatuan” yang brutal di bawah Maharaja Qin.
Para
pendekar yang melawan, termasuk si Tanpa Nama, berbicara tentang
dendam, tapi kita tak merasakan mereka sebagai korban. Dalam satu
adegan, ribuan anak panah yang ditembakkan meluncur dari langit bagaikan
mega maut yang gelap. Orang-orang terbunuh. Tapi seakan-akan yang pedih
dapat dilupakan dengan yang elegan: lihat, guru tua itu duduk dengan
patutnya dan terus menorehkan kaligrafi, ketika besi-besi tajam itu
menghunjam. Lihat, di atap, si Salju Terbang bagaikan menari tak
henti-hentinya ketika ia dengan pedangnya menangkis beratus-ratus
tembakan.
Tak mengherankan bila epos ini akhirnya bukan sebuah
konfrontasi berdarah yang menyebabkan sebuah dunia berubah, seperti epos
Revolusi Tiongkok.
Para pahlawan Zhang Yimou adalah mereka yang
mengukuhkan apa yang stabil, atas nama “perdamaian”. Tanpa kita tahu
bagaimana prosesnya, sang pembangkang—dimulai oleh si Pedang Patah yang
berkontemplasi dalam silat dan kaligrafi—akhirnya berkesimpulan bahwa
yang penting bukanlah keadilan, melainkan kekuasaan tunggal. Satu “di
bawah langit”, katanya. Dan hadirin pun bertepuk senang. Sang pendongeng
tahu: kini revolusi tak bisa dipasarkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "BAKU"
Posting Komentar