Jasih
mati membakar diri, dan kita bersalah. Kita harus mengaku…. Kita
mungkin ikut membunuhnya, atau kita berdiri di kamar kita dengan dosa
sejenis itu, karena kita sampai tak tahu bahwa ada ibu berumur 39 tahun
yang begitu berputus asa hingga ia menghabisi nyawanya sendiri dan nyawa
Galuh, anaknya yang berumur 4 tahun, yang terserang kanker otak dan tak
ada lagi biaya untuk mengobatinya. Kita bersalah karena Jasih begitu
miskin–utangnya yang lima juta rupiah kepada para tetangga itu begitu
menekan–dan kita selama ini ingkar. Kita tak pernah menengok. Kita tak
pernah ingat.
Malapetaka itu tak dapat kita cegah, dan kita
bersalah. Jasih tak hidup di negeri yang jauh. Ia mati tak di tempat
yang jauh. Kejadian itu, di Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta
Utara, pada pertengahan Desember 2004. Artinya, bukan masa lalu.
Artinya, sebenarnya terjangkau dari tempat saya. Juga terjangkau dari
tempat Anda. Lagoa bukan di seberang lautan dan di balik benua.
Kecamatan itu hanya beberapa puluh kilometer saja dari orang-orang
(mungkin teman-teman kita) yang baru membeli sebuah apartemen di Paris,
menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado istri dengan
berlian 500 juta, menyogok rekanan dengan 3 miliar, menyumbangkan uang
untuk gereja sebesar 70 juta, naik haji ketiga kalinya seraya mentraktir
10 orang teman ke Mekkah, berjudi di London sampai kalah 1.000
poundsterling, atau hanya menyimpan uang beberapa miliar di bank seraya
menunggui bunga sekian persen?. Daftar itu bisa diperpanjang. Dan
bersama itu, kesalahan kita kian jelas.
Tuan akan berkata, tentu,
“Ah, tidak jelas!” Tuan akan bertanya kenapa Tuan disangkutkan ke dalam
“salah”. Maaf, beribu-ribu maaf. Saya punya bahasa yang kasar kali ini:
jika kita (Tuan dan saya) tidak tahu, jika kita (Tuan dan saya) tidak
merasa bersalah karena kematian di Lagoa itu, jika kita merasa tak
berurusan dengan Jasih dan Galuh yang putus asa, itu berarti kita dungu
atau tak punya hati. Tuan tahu bahwa sebuah kota, sebuah negeri,
bukanlah tempat yang selama-lamanya longgar, dengan kekayaan yang
berlimpah-ruah.
Tak ada bagian dunia yang bebas dari kelangkaan
dan kekurangan; itulah sebabnya ekonomi terjadi: orang berproduksi
terus, tukar-menukar tak henti-henti. Dan jika kita berbicara tentang
Indonesia, kita akan lebih tahu apa artinya kelangkaan dan kekurangan
itu. Bahkan kita akan tahu apa yang ada di baliknya: kekayaan yang
begitu timpang, kesempatan yang begitu selisih. Dari sini Tuan tahu apa
yang menyebabkan tak ada pengobatan yang murah bagi Galuh.
Inilah
daftarnya, meskipun tak lengkap: karena dokter-dokter yang tak pernah
mengulurkan bantuan ke rumah orang miskin, karena industriawan obat yang
hanya memikirkan the bottom line, karena pejabat Departemen Kesehatan
yang mencolong dana buat pelayanan medis dan pencegahan penyakit di
kampung-kampung, karena wartawan-wartawan (rekan-rekan saya) yang
menerima suap dari dokter, industriawan obat atau pejabat dan sebab itu
lalai untuk menceritakan putus asa di kekumuhan itu kepada publik, juga
karena para wakil rakyat yang?setelah beranjangsana ke luar negeri
dengan uang ribuan dolar?tak menegur kepala daerah yang tak banyak
berbuat.
Tuan dan saya tambah bersalah bila Tuan dan saya tak
tahu itu?apalagi berpura-pura tidak tahu itu. Tuan bersalah, tapi harus
saya tambahkan memang: kesalahan Tuan lebih kecil sedikit ketimbang dosa
saya, yang menulis tulisan ini dan sudah terlambat, yang menulis dan
mendapatkan nama, yang ingin menangis untuk Jasih dan Galuh tapi
kemudian merasa bahwa saya juga yang akhirnya mendapatkan manfaat, juga
dari tangis itu. Jasih, Galuh, dan kakaknya, Galang, yang luka-luka, dan
Mahfud, bapak anak-anak itu, yang kehilangan segala yang berarti
baginya, tetap tak tertolong. Miskin. Berutang. Hari-hari yang sudah
cacat.
Mereka itu yang benar mengalami: kota begini sempit. Tiap
jengkal yang kita miliki berarti tiap jengkal yang tak dimiliki orang
lain. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah masyarakat–apalagi
masyarakat ini. Ada seorang yang mengatakan bahwa pada saat seseorang
memaklumkan, “Inilah tempatku di bawah cahaya matahari,” itulah bermula
perebutan tak sah seluruh muka bumi. “Kematian orang lain memanggilku
untuk ditanyai,” kata Emannuel Levinas, “seakan-akan, karena sikap acuh
tak acuh yang mungkin aku ambil kelak, aku bersekongkol dengan kematian
yang dihadapkan kepada orang lain, kematian yang tak dapat
diketahuinya.”
Jasih, saya tak berharap saya layak kamu maafkan.
~Majalah Tempo Edisi. 29/XXXIII/13 - 19 September 2004~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "JASIH"
Posting Komentar