Dunia
harus hancur, kata mereka. Tuhan menghendaki itu. Telah dinubuatkan
perang penghabisan akan pecah, kata mereka. Iblis akan dihadapi dalam
Armagedon itu, surga akan terkuak, dan ”Yang Setia dan Yang Benar” akan
turun mengendarai seekor kuda putih.
… memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan
nama-Nya ialah: ”Firman Allah”. Dan semua pasukan
yang di surga mengikuti Dia, mereka menunggang
kudapu-tih dan memakai lenan halus yang putih bersih.
Dan da-ri mulut-Nya keluarlah sebilah pedang tajam
yang akan memukul semua bangsa….
Gambaran
yang seram itu dikutip dari Wahyu, bagian ter-akhir Alkitab. Saya tak
tahu apa hubungannya dengan- zaman ini. Tapi mereka—orang-orang
fundamentalis Kristen di Amerika—menganggap itulah ramal yang pasti.
Armagedon bukan hanya pasti terjadi, tapi juga, kata mereka, akan
meletus di masa kini, di Timur Tengah, sebelum datang ”Yerusalem yang
Baru” di mana tak akan ada lagi laknat.
Maka mereka menantikan perang itu….
Akan
terkejutkah kita bila hari-hari ini orang-orang fundamentalis itu
harap-harap cemas memandang Iran sebagai ”Iblis” yang disebut dalam
nubuat itu? Saya duga mereka akan bergembira melihat presiden negeri
itu: kulitnya gelap, matanya menatap dari rongga yang dalam, cambangnya
kencang, dan kata-katanya muram mengancam akan menghancurkan Israel dan
menyiapkan senjata nuklir. Mereka akan ber-gembira sebab kepercayaan
mereka akan dibenarkan, sang Antikristus telah muncul, Armagedon akan
terjadi, dan halleluyah, bumi baru akan datang.
Ada satu ciri
kaum fundamentalis, dari agama apa pun: mereka memusuhi hidup. Hidup
adalah sejenis hukuman, karena fana dan diubah waktu. Bagi mereka waktu
yang berubah adalah jalan kemerosotan. Sebab itu, mereka cegah waktu
dari doktrin, tiap kalimat dalam Kitab Suci harus dipatok sebagai
sesuatu yang mandek. Bagi mereka hidup di dunia selalu terancam najis.
Sebab itu Tuhan ada-lah suara amarah: ”dari mulut-Nya keluarlah sebilah
pedang tajam yang akan memukul semua bangsa.”
Aneh, sebenarnya:
Tuhan sebagai pembinasa, hidup sebagai cela. Padahal kaum fundamentalis
itu tak perlu berkeluh-kesah. Mereka tak menanggung sakit dan mis-kin.
Mereka orang Amerika yang makmur. Pengumpul-an pendapat oleh majalah
Newsweek menjelang akhir 1999 (dua bulan sebelum milenium baru)
menunjukkan 40 per-sen penduduk negeri itu percaya akhir zaman akan
terjadi melalui Perang Besar Armagedon. Artinya mereka percaya seperti
tertulis dalam Wahyu: setelah perang itu, setelah Iblis akan dilemparkan
ke jurang maut, ”kemah Allah” akan ditegakkan di tengah manusia, dan Ia
akan menghapuskan air mata dan kematian.
Begitu rentankah
orang-orang itu terhadap duka dan ajal, hingga bagi mereka surga di bumi
adalah kehidupan tanpa perkabungan dan ratap tangis? Kenapa mereka tak
menggambarkan surga sebagai situasi tanpa ketidakadilan?
Apa pun
sebabnya, Juru Selamat dalam bayangan kaum Kristen fundamentalis
tampaknya tak sama dengan ”Ratu Adil” dalam bayangan orang-orang melarat
di Jawa. Mungkin ”adil” bukanlah persoalan pokok mereka.
Dalam
sebuah buku yang kini dilupakan, Prophecy and Politics (terbit pada
tahun 1986), Grace Haskell memberi ilustrasi bagaimana yang dirayakan
kaum Kristen fundamentalis itu justru apa yang tak adil. Buat menyiapkan
buku itu Haskell pergi ke Israel dua kali bersama rombong-an Pendeta
Jerry Faldwell. Orang-orang ini—kemudian disebut sebagai ”Zionis
Kristen”—sangat siap untuk mengelu-elukan ketidakadilan yang menyakiti
orang Palestina. Mereka percaya bahwa janji Tuhan kepada Abram dalam
Kejadian—akan ada negeri baru dan akan dijadikan Bani Israel ”bangsa
yang besar”—berarti berdirinya Negara Israel seperti sekarang. Mereka
tak peduli bila dengan demikian orang Palestina yang Kristen ter-masuk
yang dizalimi. Bagi mereka, seperti di-tulis Haskell, tiap tindakan yang
dilakukan Israel sudah diatur Tuhan, dan sebab itu harus didukung.
Tentu
tak adil. Tapi mereka sadar, dengan ketidakadilan itu amarah akan
berkobar, perang akan meletus, nubuat Armagedon akan terlaksana, akhir
zaman akan tiba dan ”kerajaan seribu tahun” Kristus akan datang.
Maka
kaum ”Zionis Kristen” selalu men-desak agar bantuan AS kepada Israel
tak berkurang—dan berusaha agar perdamaian tak terjadi. Pada tahun 2000,
tiga orang fundamentalis fanatik Amerika mencoba meledakkan Masjid
Al-Aqsa untuk memprovokasi kemarahan orang Palestina. Pada tahun 2003,
Senator Tom DeLay, yang kurang-lebih mengikuti keyakinan yang sama,
da-tang ke parlemen Israel dan mengatakan, ”tak ada nilai-nya sikap di
tengah-tengah dan mengambil posisi moderat.”
Dengan kata lain: yang kuat tak perlu mengalah; kekuasaan melahirkan legitimasinya sendiri….
Mungkin
ini menjelaskan kenapa Tom DeLay bisa menghalalkan keterlibatannya
dalam skandal keuangan yang kemudian terbongkar, sebagaimana Amerika
bisa membenarkan dirinya untuk merencanakan 125 bom nuklir baru tiap
tahun sementara ia melarang negeri lain melakukan hal yang mirip,
sedikit.
Tapi, sekali lagi, adil bukanlah urusan pokok di situ.
Maka di manakah, dalam pandangan itu, apalagi dalam doktrin kaum Zionis
Kristen, orang ingat khotbah Yesus di bukit? Di manakah suara yang
memuliakan mereka yang miskin, yang lemah lembut, yang membawa damai dan
sebab itu layak ”disebut anak-anak Allah”?
Saya tak tahu. Yang
saya tahu, Allah diseru di mana-mana, tapi bersama itu juga dilakukan
kebengisan. Kita sering mendengarnya dari mulut muslim, tapi sebetulnya
tak ha-nya muslim. Agaknya itulah inti surat Presiden Ahmadinejad kepada
Presiden Bush: ”Tuan Presiden, Tuan mungkin tahu saya seorang guru.
Murid-murid saya bertanya bagaimana tindakan-tindakan [Amerika]
dipertautkan dengan nilai-nilai…yang dibawakan Yesus Kristus, nabi
perdamaian dan permaafan….”
Tentu saja Bush tak menjawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Bencana, Demokrasi, Fundamentalisme, Kekerasan, Politik, Tokoh, Tuhan."
Posting Komentar