- sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah mereka.
Kelak,
ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin baru akan bisa membaca
surat ini, yang ditulis oleh seorang yang tak kalian kenal, tiga hari
setelah ayahmu meninggalkan kita semua secara tiba-tiba, ketika kalian
belum mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan hari jadi muram.
Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di sebuah majalah tua:
ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh, dan mudah-mudahan akan tahu
bahwa tiap lilin adalah semacam doa: “Biarkan kami melihat gelap dengan
terang yang kecil ini, biarkan kami susun cahaya yang terbatas agar
kami bisa menangkap gelap.”
Ayahmu, Alief, seperti kami semua,
tak takut akan gelap. Tapi ia cemas akan kelam. Gelap adalah bagian dari
hidup. Kelam adalah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang
mutlak. Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah.
Dengan
tubuhnya yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak membiarkan kelam itu
berkuasa. Seakan-akan tiap senjakala ia melihat di langit tanah airnya
ada awan yang bergerak dan di dalamnya ada empat penunggang kuda yang
menyeberangi ufuk. Ia tahu bagaimana mereka disebut. Yang pertama
bernama Kekerasan, yang kedua Ketidakadilan, yang ketiga Keserakahan,
dan yang keempat Kebencian.
Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu. Tapi ia melawan.
Di
negeri yang sebenarnya tak hendak ditinggalkannya ini, Nak, tak semua
orang melawan. Bahkan di masa kami tak sedikit yang menyambut Empat
Penunggang Kuda itu, sambil berkata, “Kita tak bisa bertahan, kita tak
usah menentang mereka, hidup toh hanya sebuah rumah gadai yang besar.”
Dan seraya berujar demikian, mereka pun menggadaikan bagian dari diri
mereka yang baik.
Orang-orang itu yakin, dari perolehan gadai itu
mereka akan mencapai yang mereka hasratkan. Sepuluh tahun yang akan
datang kalian mungkin masih akan menyaksikan hasrat itu. Terkadang
tandanya adalah rumah besar, mobil menakjubkan, pangkat dan kemasyhuran
yang menjulang tinggi. Terkadang hasrat kekuasaan itu bercirikan
panji-panji kemenangan yang berkibar?yang ditancapkan di atas tubuh luka
orang-orang yang lemah.
Ya, ayah kalian melawan semua itu–Empat
Penunggang Kuda yang menakutkan itu, hasrat kekuasaan itu, juga ketika
hasrat itu mendekat ke dalam dirinya sendiri–dengan jihad yang
sebenarnya sunyi. Seperti anak manusia di padang gurun. Ia tak
mengenakan sabuk seorang samseng, ia tak memasang insinye seorang
kampiun. Ia naik motor di tengah-tengah orang ramai, dan bersama-sama
mereka menanggungkan polusi, risiko kecelakaan, kesewenang-wenangan
kendaraan besar, dan ketidakpastian hukum dari tikungan ke tikungan.
Mungkin karena ia tahu bahwa di jalan itu, dalam kesunyian
masing-masing, dengan fantasi dan arah yang tak selamanya sama, manusia
pada akhirnya setara, dekat dengan debu.
Alief, Diva, kini ayah
kalian tak akan tampak di jalan itu. Ada yang terasa kosong di sana.
Jika kami menangis, itu karena tiba-tiba kami merasa ada sebuah batu
penunjang yang tanggal. Sepanjang hidupnya yang muda, Munir, ayahmu,
menopang sebuah ikhtiar bersama yang keras dan sulit agar kita semua
bisa menyambut manusia, bukan sebagai ide tentang makhluk yang luhur dan
mantap, tapi justru sebagai ketidakpastian.
Ayahmu, Diva,
senantiasa berhubungan dengan mereka yang tak kuat dan dianiaya; ia tahu
benar tentang ketidakpastian itu. Apa yang disebut sebagai “hak asasi
manusia” baginya penting karena manusia selalu mengandung makna yang tak
bisa diputuskan saat ini.
Ada memang yang ingin memutuskan makna
itu dengan menggedruk tanah: mereka yang menguasai lembaga, senjata,
dan kata-kata sering merasa dapat memaksakan makna dengan kepastian yang
kekal kepada yang lain. Julukan pun diberikan untuk menyanjung atau
menista, label dipasang untuk mengontrol, seperti ketika mereka masukkan
para tahanan ke dalam golongan “A”, “B”, dan “C” dan menjatuhkan
hukuman. Juga mereka yang merasa diri menguasai kebenaran gemar
meringkas seseorang ke dalam arti “kafir”, “beriman”, “murtad”,
“Islamis”, “fundamentalis”, “kontra-revolusioner”, “Orde Baru”, “ekstrem
kiri”?dan dengan itu membekukan kemungkinan apa pun yang berbeda dari
dalam diri manusia.
Ayah kalian terus-menerus melawan kekerasan
itu, ketidakadilan itu. Tak pernah terdengar ia merasa letih. Mungkin
sebab ia tahu, di tanah air ini harapan sering luput dari pegangan, dan
ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat, seakan-akan berseru, “Jangan
kita jatuh ke dalam kelam!”
Tapi akhirnya tiap jihad akan
berhenti, Alief. Mungkin karena tiap syuhada yang hilang akan bisa jadi
pengingat betapa tinggi nilai seorang yang baik.
Apa arti seorang
yang baik? Arti seorang yang baik, Diva, adalah Munir, ayahmu. Kemarin
seorang teman berkata, jika Tuhan Maha-Adil, Ia akan meletakkan Munir di
surga. Yang pasti, ayahmu memang telah menunjukkan bahwa surga itu
mungkin.
Adapun surga, Alief dan Diva, adalah waktu dan arah ke
mana manusia menjadi luhur. Dari bumi ia terangkat ke langit, berada di
samping Tuhan, demikianlah kiasannya, ketika diberikannya sesuatu yang
paling baik dari dirinya?juga nyawanya?kepada mereka yang lemah, yang
dihinakan, yang ketakutan, yang membutuhkan. Diatasinya jasadnya yang
terbatas, karena ia ingin mereka berbahagia.
Maka bertahun-tahun
setelah hari ini, aku ingin kalimat ini tetap bertahan buat kalian:
ayahmu, syuhada itu, telah memberikan yang paling baik dari dirinya. Itu
sebabnya kami berkabung, karena kami gentar bahwa tak seorang pun akan
bisa menggantikannya. Tapi tak ada pilihan, Alief dan Diva. Kami,
seperti kalian kelak, tak ingin jatuh ke dalam kelam.
~Majalah Tempo, Edisi. 25/XXXIII/16 - 22 Agustus 2004
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah mereka."
Posting Komentar