Antara
pukul 9 dan 10 pagi 1 November 1755 itu, kertas-kertas bergetar di atas
meja seorang penghuni Kota Lisbon. Tak lama kemudian suara gemeretak
terdengar. Tiba-tiba lantai atas ambruk. Perempuan itu pun lari keluar,
dengan napas nyaris tercekik oleh debu puing yang tersembur dari
mana-mana. Kota hancur. Teriakan terdengar dari pelbagai sudut. Ia lihat
para padri berdoa dan gereja-gereja mulai runtuh.
Dalam tempo enam menit, 30 gereja ambruk. Tapi sesuatu menyusul. “Laut datang!” terdengar orang memekik.
Gulungan
gelombang setinggi enam meter menggodam kota di tepi pantai itu dengan
ganas: gempa melontarkan tsunami ke daratan. Ketika kemudian air kembali
ke laut, ribuan bangkai tampak terapung, terangkut, lenyap. Kemudian
bumi tak berguncang lagi, tapi api terbit. Lisbon—salah satu permata
Eropa—terbakar selama lima hari. Seluruh bencana menewaskan puluhan,
mungkin sampai 50 ribu. “Apa yang harus dilakukan, wahai, makhluk fana?”
Pertanyaan
itu bergetar dalam sajak Voltaire tentang gempa di Lisbon itu dan
merobek dunia pemikiran abad ke-18. Pesimismenya mencekam, meskipun
pesimisme itu sebenarnya bagian dari kritiknya terhadap filsafat yang
percaya bahwa Tuhan memberi manusia “dunia yang terbaik dari yang
mungkin ada”. Itulah filsafat Leibniz: alam semesta adalah harmoni yang
didesain Tuhan. Tapi, tulis Voltaire: “Leibniz tak dapat mengatakan
padaku kenapa/ Di dunia yang diatur oleh hukum yang paling arif ini/
kekacauan tak kunjung berhenti/Dan bencana terus/dan kenikmatan yang
sia-sia bercampur nestapa/.”
Agaknya bagi Voltaire tak mungkin
hal-ihwal hidup dijelaskan dengan Tuhan sebagai Sebab Utama. Tidakkah Ia
seharusnya berada di atas hukum sebab-akibat? Dalam gempa Lisbon itu,
misalnya: kenapa Tuhan meluluh-lantakkan sebuah kota Katolik, di suatu
hari suci, pada jam ketika hampir semua umat mengikuti misa? Dan kenapa
rumah Sebatiao de Carvalho e Melo, menteri yang anti-Jesuit itu, tak
tersentuh—sementara seorang padri Jesuit mengatakan bahwa gempa bumi dan
tsunami itu sebuah hukuman Tuhan kepada orang jahat yang jadi makmur di
Kota Lisbon?
Hukuman Tuhan bagi umat Katolik? Tapi mereka tak
sendirian jadi korban. Gempa hari itu juga mengguncang pantai lain di
seberang dan menghancurkan Masjid Al-Mansur di Rabat. Beberapa pendeta
Protestan yang bersyukur karena Tuhan terbukti marah kepada Roma segera
harus tutup mulut. Delapan belas hari setelah malapetaka Lisbon, sebuah
gempa lain menghancurkan 1.500 rumah orang Protestan di Boston, Amerika.
Akan berkatakah Tuan, di depan ribuan korban ini/’Balasan Tuhan telah dipenuhi, mereka membayar dosa dengan kematian’?
Dengan
kata lain, satu hal harus dilihat: yang disebut “desain Tuhan” hanyalah
konstruksi manusia—lengkap dengan hasrat dan kesumat manusia pula. Tapi
bisakah Voltaire dari sini menyimpulkan bahwa hidup tak ada hubungannya
dengan kebaikan? “Alam, dan hewan, dan manusia—semua dalam keadaan
perang,” Begitulah di sajaknya tertulis. Mari kita akui: kekejian
berjalan tegak di atas bumi.”
Mungkin kalimat itu bagian dari
sebuah gaya polemik. Pesimisme Voltaire toh tak menyebabkan ia menolak
manusia dan menampik hidup. Ia tak bunuh diri. Ia hanya mencemooh
optimisme abad ke-18, ketika rasionalisme meyakinkan diri dengan ilmu
dan kawin campur dengan iman. Cemooh inilah yang kemudian dipertegasnya
dengan novel Candide yang asyik dan lucu itu, yang kelak berkaitan
dengan kritiknya kepada ajaran Kristen.
Ada yang mengatakan novel
itu menjawab Rousseau, filsuf segenerasinya, yang mempersoalkan
pesimisme itu dalam sepucuk surat bertanggal 18 Agustus 1756. Bagi
Rousseau, manusia tak seburuk itu pada dasarnya. Sejak nenek moyang,
manusia punya dua ciri: amour de soi, dorongan untuk mempertahankan
hidup sendiri, dan pitié, perasaan belas kepada sesama yang menderita.
Sifat manusia memburuk ketika ia terlibat dalam pelembagaan milik
pribadi, perdagangan, dan hal-hal lain yang terutama tampak di
masyarakat kota, pusat peradaban. Dan itulah penjelasannya tentang
bencana Lisbon: kesalahan harus ditimpakan kepada manusia di kota besar
itu sendiri. Seandainya mereka tak berjejal-jejal berebut kapling,
seandainya mereka tak sibuk dengan milik mereka, bencana itu tak akan
begitu besar makan korban.
Voltaire tak menjawab, dan Rousseau
mengeluh: “Saya ajak dia berfilsafat, tapi dia mengolok-olok.” Tapi
sebenarnya ada satu bagian yang serius dalam novel Candide—justru di
kalimat pendek terakhir. Ketika Candide sedang di kebun, dan si Optimis
Pangloss datang dan menguraikan bahwa “dunia ini adalah yang terbaik
dari yang mungkin ada”, Candide pun menjawab. “Bagus, bagus, tapi kebun
kita harus diolah.” Dengan kata lain: kerja atau praxis akan membantah
klaim tiap pandangan dunia yang mencoba menjelaskan hidup secara
menyeluruh. Agama dan filsafat—dengan optimisme atau tidak—bisa
menyenangkan, tapi kemudian terbatas.
Mungkin ada yang pernah
bicara tentang Voltaire sang pragmatis. Tampaknya baginya “pemikiran”
lebih penting ketimbang “filsafat”, dan Voltaire adalah kritik yang
terus-menerus-dengan gelora hati, kalimat kocak, pikiran tangkas, dan
main-main. Ia mengatakan “Aku menghormati Tuhan, tapi aku mencintai
manusia”: kita tahu ia memilih dekat dengan yang konkret, meskipun ia
tak mengingkari ada yang lain dari yang konkret.
Justru sebab itu
ia tergugah oleh kesengsaraan manusia dan tahu ada hal yang tak
terjelaskan dengan satu Sebab Besar. Maka biarkan Voltaire bicara kepada
kita kini. Banyak benar kebuasan alam dan manusia yang tak
terduga-duga, sejak tsunami Lisbon 1755 sampai dengan tsunami Aceh 2004,
dan di situ apa artinya “mengetahui”? Dalam sajaknya Voltaire
mengingatkan bahwa ada momen dalam hidup ketika kita niscaya “sumarah,
memuja, berharap, dan mati”—se soumettre, adorer, espérer, et mourir.
~Majalah Tempo, Edisi. 41/XXXIII/06 - 12 Desember 2004~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Tsunami"
Posting Komentar