Van Gogh--Bagaimana
kita bisa bicara tentang Mohammad B.? Pada suatu hari di bulan November
2004 yang dingin, ia membunuh Theo Van Gogh dengan tenang dan brutal di
sebuah jalan di Amsterdam. Ketika seniman film itu bersepeda, Mohammad
B. menghadangnya, dan menembakkan pistolnya delapan kali. Terkena lutut,
Van Gogh terjerembap. Ia diseret. Dalam keadaan luka itu ia memandang
orang yang menembaknya dan mencoba berbicara. Tapi Mohammad B. tak
menyahut. Dengan mantap tenggorokan Van Gogh dipotongnya, hampir putus.
Setelah itu, satu statemen lima halaman dipasang ke tubuh Van Gogh,
direkatkan dengan sebilah pisau yang menghunjam sampai tangkai ke
jantung si mati.
Kesimpulan sementara: Mohammad B. membunuh
karena Van Gogh dianggapnya menghina Islam. Delapan minggu sebelumnya
film Submission diputar di TV. Kata orang yang telah melihatnya, salah
satu adegan menunjukkan ayat-ayat Quran tertulis di atas tubuh
perempuan-perempuan yang mengenakan pakaian menerawang, dengan buah dada
tampak. Ayat-ayat itu konon menyebut perkenan Allah bagi laki-laki
untuk memukul istrinya. Wajah perempuan-perempuan dalam film bikinan Van
Gogh itu tampak bengap, runyam.
Di belakang ide film itu adalah
Ayaan Hirsi Ali, seorang perempuan kelahiran Somalia, anggota parlemen
Belanda. Ayaan Hirsi ingin menggambarkan perlakuan buruk Islam terhadap
perempuan. Ia pernah menggambarkan riwayat hidupnya sebagai seorang anak
yang meninggalkan Somalia dalam umur 6 tahun, lalu hidup di Arab Saudi,
Etiopia, dan Kenya. Menjelang umur 20 tahun, orang tuanya menyuruhnya
menikah dengan laki-laki yang tak dipilihnya sendiri. Ia harus menyusul
calon suaminya di Kanada, tapi di tengah perjalanan ia berhenti di
Jerman, lalu naik kereta api ke Belanda. Di sinilah ia belajar,
berhasil, masuk ke kehidupan politik, dan bergabung dengan Partai
Liberal.
Setelah Van Gogh terbunuh, Ayaan Hirsi tak tampak lagi
di depan umum, dan Belanda tercekam dengan apa yang selalu terjadi
setelah kekerasan: benci yang menular. Sekolah muslim dan masjid dicoba
dibakar, dan satu juta orang Islam di antara 16 juta penduduk Belanda
harus berhadapan dengan soal mendasar tentang hidup di sebuah dunia yang
mereka pilih, yang juga sebuah dunia tempat seorang Van Gogh punya
kemerdekaan untuk berbicara dengan cara menghina apa yang amat berharga,
bahkan suci, di hati mereka.
Bagaimana kita bisa bicara tentang
Mohammad B.? Dia mewakili perilaku Islam, kata sebagian orang. Bukankah
pembunuhan sudah terjadi sejak zaman Nabi, bila ada orang yang dianggap
berbahaya bagi agama? Bukankah hal yang sama berlanjut terus sampai abad
ke-20? Satu daftar dapat dibuat: pada 1947, seorang pengacara Iran,
Ahamd Kasravi, harus mati karena tuduhan seperti itu. Empat tahun
kemudian, kelompok radikal yang sama membunuh Perdana Menteri Haji Ali
Razmara. Di Mesir, Farag Foda, penulis Al-hakika al-gha’iba (The Missing
Truth), yang menganjurkan sekularisme, dibunuh dalam umur 47 tahun.
Pada 1993, Tahar Djaout, seorang novelis Aljazair, diserang dan tewas.
Pada 1994 novelis Naguib Mahfouz, pemenang Hadiah Nobel, ditikam. Dan
kita ingat Salman Rushdie yang “dijatuhi hukuman mati” (tentu tanpa
pengadilan) oleh Ayatullah Khomeini, dan Rushdie harus bersembunyi
bertahun-tahun, sampai akhirnya penguasa Iran mencabut fatwa itu.
Tidak,
kata yang membantah, Mohammad B. tak mewakili Islam. Memang untuk
berbuat kejam (”keras”), orang selalu dapat mengutip Quran dan hadis.
Itu yang dilakukan oleh mereka yang membunuh Kaswavi dan mencoba
menghabisi Salman Rushdie. Tapi kenyataan tetap: sebagian besar muslim
tak pernah membunuh atas nama agama mereka. Bahkan dari seluruh penduduk
muslim Belanda, kata sebuah sumber di Dinas Rahasia, hanya 150 orang
yang dapat dikategorikan “radikal” dan mendekati “teroris”.
Kenapa
kita tak melihat Mohammad B. sebagai seseorang dengan keputusannya
sendiri yang sunyi? Kenapa perkaranya tak hanya dibatasi sebagai perkara
kriminal, dan bukan perkara “kultural”? Kenapa sumbernya ditarik jauh
ke ajaran Islam? Bukankah ajaran Islam selalu bersifat tafsir orang, dan
dari sana dapat lahir pembantaian tapi juga perdamaian? Bukankah hal
yang sama berlaku untuk agama Yahudi dan Kristen juga dalam sejarah
Eropa— yang menyebabkan orang bisa mengeluh: alangkah membingungkannya
Sabda Tuhan?
Tak kalah membingungkan adalah kata-kata manusia.
Persoalan sebuah negeri yang dihuni oleh beragam orang dengan beragam
iman ialah ketika “multikulturalisme” jadi kebijakan publik. Kebijakan
ini akan bergantung pada bagaimana “kultur” dipetakan dan bagaimana
“identitas” diresmikan. Orang cenderung lupa bahwa “identitas” tak
pernah ada dalam hidup orang seorang. Label “Islam” tak sepenuhnya
mencakup (dan menguasai) kita. Kita tak akan pernah bisa tahu benarkah
Mohammad B. seorang “Islam”, meskipun ia menyebut diri demikian, sebab
kita sebenarnya tak ada jaminan seluruh dirinya mencerminkan
“Islam”—sebab tak ada “Islam” yang membentuk para pemeluknya bagaikan
sebuah cetakan yang sudah siap.
Bagaimana kita bicara tentang
Mohammad B.? Kita belum tahu apa sebenarnya yang dicarinya. Adakah
pembunuhan pada hari itu cara dia menunjukkan sebuah jalan buntu, ketika
dialog macet—ia tak akan dapat mengubah Van Gogh dari sikapnya yang
menghina itu? Bahwa argumentasi pada akhirnya ditentukan oleh mana yang
kuat, dan sebab itu Van Gogh dapat menyiarkan filmnya dan Ayaan Hirsi
dapat mempunyai forum untuk menyampaikan kecamannya?
Mungkin
akhirnya Muhammad B. berkesimpulan, yang kuat adalah yang dapat
membisukan yang lain—dan satu juta muslim itu pada akhirnya toh tak
berdaya. Tapi mungkin ia tak tahu atau tak peduli: jika kekuatan berarti
pembunuhan, tak akan ada negeri yang dapat menjadi negeri, dan yang ada
hanya jutaan bangkai.
~Majalah Tempo Edisi. 43/XXXIII/20 - 26 Desember 2004~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Van Gogh"
Posting Komentar