Ada
satu yang mengerikan dari Italia pada abad ke-17. Dicetak di kertas
dengan teknik cukilan kayu, ilustrasi itu merekam sebuah adegan di
Milano pada tahun 1630. Inilah rinciannya:
Pes merebak, dan
sejumlah penduduk dituduh menyebarkan wabah itu. Mereka, disebut para
untori, ditangkap dan diarak dengan kereta lembu keliling kota. Seraya
disiksa.
Mula-mula tubuh mereka dirobek dengan kakaktua. Setiba
di Avenue Carrabio, tangan kanan mereka dipotong. Sesampai di halaman
mahkamah, mereka ditelanjangi; tulang kaki, lengan, dan pinggang mereka
dipatahkan di atas roda. Roda-roda yang menopang tubuh mereka itu
kemudian diangkat di atas galah, dan dalam kesakitan itu mereka
terpentang selama enam jam. Lalu leher mereka dipenggal, jasad mereka
dibakar.
Dari sebuah rumah sakit, seorang bernama Pigotta, yang
terkena penyakit pes, diambil. Ia dibawa ke Avenue Porta Vercellina. Di
sana ia digantung di sebelah kaki. Setelah terayun-ayun selama empat
jam, ia ditembak mati.
Saya tak tahu tidakkah kekejaman seperti
itu merisaukan Eropa. Yang pasti ia tak berakhir pada abad ke-18. Di
sebuah gambar kuno lain saya lihat hukuman atas Damien, yang pada tahun
1757 mencoba menikam raja Prancis Louis XV. Ia disiksa. Tubuhnya tak
cuma dirobek dengan kakaktua; ke dalam lukanya dituangkan cairan timah
panas. Dalam gambar yang dibuat tujuh tahun kemudian itu tampak anggota
badannya ditarik empat pengendara kuda hingga sempal, dan kaki dan
lengannya dibakar. Tentu saja akhirnya ia dibunuh.
Jika kita
kenangkan semua itu, (juga Amangkurat I di Mataram abad ke-17 yang
membabat ribuan ulama hanya dalam 30 menit), salahkah bila kita bernapas
lega: kini tak ada lagi adegan macam itu. Sejarah tiga abad telah
mengubah manusia.
Memang bersama Foucault orang bisa meragukan,
benarkah perubahan terjadi. ”Meskipun mereka tak memakai hukuman yang
keras dan berdarah,” demikian tertulis dalam Surveiller et punir,
”meskipun mereka memakai cara ’lunak’ dengan kurungan dan rumah
pemasyarakatan, tubuhlah yang selalu jadi pokok soal….”
Saya
ingat pembantaian di Indonesia pada tahun 1965, tapi saya tak begitu
yakin tak ada beda yang penting antara cara Damien dulu disiksa dan cara
Imam Samudra kini dihukum. Saya tak mengatakan bahwa Foucault
mengabaikan sejarah. Ia menegaskan, ”mikrofisika kekuasaan” yang
digerakkan oleh lembaga sosial-politik, sebagai strategi dan teknik
untuk mengontrol tubuh, bukanlah sesuatu yang mandek dan hanya satu
arti. Kekuasaan itu bukan semacam kontrak yang mengatur transaksi.
Foucault mengibaratkannya bak ”sebuah pertempuran yang terus-menerus”.
Sebab, yang dikuasai juga ikut menyalurkannya, ketika mereka melawan
cengkeraman kekuasaan itu.
Tapi hanya begitukah kisahnya? Kenapa
nilai-nilai berubah, dan orang akhirnya sadar bahwa menyiksa para untori
adalah laku yang tak adil? Bahwa amat kejam menggantung seorang
penderita pes selama empat jam sebelum ditembak mati?
Ada yang
mengatakan, agamalah sumber nilai-nilai luhur yang bisa meredakan
kebiadaban. Dengan iman, manusia punya tauladan kekuasaan yang adil dan
penuh kasih, nun di dalam civitas dei, ”negeri Tuhan” menurut Santo
Agustinus.
Tapi ”negeri Tuhan” itu agaknya dibayangkan sebagai
kontras bagi yang dialami di muka bumi. Di civitas bumi, manusia hidup
dengan kekuasaan tanpa nilai-nilai: ”dibimbing oleh kehendak si
pemimpin, dipertautkan oleh sebuah kontrak sosial, dan berbagi hasil
jarahan sesuai dengan persetujuan yang sudah tetap”. Maka negeri itu
ibarat civitas diaboli, ”negeri iblis”, yang hanya berdasarkan
”cinta-diri”.
Bisakah kita berharap? Akankah manusia hidup
selamanya dalam ”negeri iblis” dengan segala variasinya? Dalam ”hidup
sebagaimana adanya” (dan bukan dalam ”hidup yang seyogianya”) mungkin
civitas diaboli itulah yang berlaku—setidaknya menurut Machiavelli,
bapak pikiran politik modern itu. Keniscayaan, necessitá, kata
Machiavelli, mengharuskan penguasa terkadang tampil bak makhluk ganas.
Bahkan atas nama Tuhan.
Di
sebuah gambar kuno lain saya lihat deretan tubuh orang Protestan yang
dibakar sampai mati oleh Ratu Mary yang Katolik di Inggris pada
pertengahan abad ke-16. Sejarah memang mencatat, ratusan, termasuk Uskup
Agung Canterbury, dipanggang hidup-hidup. Orang Katolik punya catatan
lain: di sebuah gambar terbitan Antwerp, Belgia, tahun 1587, tampak
orang Protestan (”Huguenots”) memancung bayi-bayi, merobek perut, dan
menarik usus para korban.
Jika begitu keadaannya, bisakah kuasa
Yang Mahasempurna dibentuk di dunia, tanpa kekerasan? Saya ragu. Kian
tampak cacat perilaku manusia, dan kian dianggap ruwet bumi, kian tak
sabar pula para pembela Allah untuk menegakkan kuasa-Nya. Ketak-sabaran
itu berujung kebuasan. Dalam sejarah Islam, darah muncrat sejak para
pembunuh Khawarij pada abad ke-7 sampai dengan Azhari pada abad ke-21.
Tampaklah,
agama tak menjamin sederet nilai yang mengubah sebuah ”negeri iblis”
jadi ”negeri manusia”. Tapi kita tahu, manusia toh berubah—juga
agresinya atas tubuh. Kini tak ada lagi untori yang disiksa, tak ada
pesakitan yang dianiaya seperti Damien.
Mungkin karena manusia
akhirnya sadar dan ngeri, bahwa aniaya itu akan mengenai siapa saja,
selama Yang Mahasempurna dipakai untuk mengukur hidup yang ada dalam
badan yang tak sempurna. Maka berangsur-angsur Tuhan yang menakutkan
ditinggalkan, dan manusia berpihak kepada sosok yang terpentang di tiang
siksa. Gambar kuno itu mengingatkan: meskipun terasa asyik sang pelukis
mencatat detail keganasan, para korban justru punya arti sebagai obyek
siksaan karena mereka manusia, seperti kita, bukan babi panggang.
Dan
kita pun memulai perlawanan, dengan memekik atau diam. Kita kembalikan
kekuasaan atas tubuh sebagai pertempuran yang terus-menerus—dan yang
menang, juga atas nama Tuhan, tak sepenuhnya menang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Iblis - Saya suka memandangi gambar kuno"
Posting Komentar