Kahyangan
Di surga, tak ada tahun baru. Waktu tak hadir, juga perbuatan
Dalam
tiap adegan kahyangan pada pertunjukan wayang purwa, keabadian
digambarkan dengan kalimat ini: ‘Ana padhang dudu padhanging rina, ana
peteng dudu petenging wengi’. Yang ada adalah ‘terang yang bukan
terangnya siang’ dan ‘gelap yang bukan gelapnya malam’. Tak ada waktu,
tak ada ruang, hanya keluasan yang tanpa tepi — mung alam tumlawung
ngalangut datan patepi.
Yang menarik – seperti saya temukan dalam
buku yang disusun Anom Sukatno, Janturan lan Pocapan Ringgit Purwo —
dalam janturan yang dilantunkan ki dalang, kahyangan adalah keadaan tak
ada subyek. Maka tak ada obyek. Yang ada suwung.
Kata ‘suwung’
berbeda dengan ‘kosong’ atau ‘hampa’. ‘Suwung’ sebenarnya bukanlah
sebuah defisit. ‘Suwung’ punya wilayahnya sendiri. Dalam Serat Wirid
Hidayat Jati, Ronggowarsito menampilkan sebuah keadaan paradoksal dalam
meditasi: ‘suwung sakjatining isi’, suwung namun sesungguhnya berisi.
Maka
bila kahyangan digambarkan sebagai ‘suwung’ dan tak ada ‘rasa pribadi,’
yang dimaksudkan bukanlah sebuah gambaran kekurangan. Bahkan
sebaliknya. ‘Cipta, rasa dan karsa’ tak ada karena tak dibutuhkan.
Keheningan itu total – yang juga berarti kebebasan dari pengaruh
perasaan suka dan sedih: datan kaprabawaning rasa bungah lan susah.
Mungkin
pengaruh Budhisme ikut membentuk imajinasi para pencipta wayang purwa
dalam adegan ‘Alang-Alang Kumitir’: surga adalah sesuatu yang berada di
luar wilayah pancaindera, seperti yang dilambangkan dengan stupa di
pucuk Borobudur itu — polos, ugahari, tanpa ruang, tanpa celah.
Saya
ingat Sanusi Pane. Dalam perjalanannya di India, ia mengagumi Syiwa
Nataraja, dewa yang menari dalam lingkaran api. Beginilah dilukiskannya
dalam sebuah puisi panjang dalam Madah Kelana:
Natésa berdiri
Di atas buta, kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan
Patung Syiwa itu ‘dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperi’,
dan di hadapan Natésa itulah Sanusi menemukan satu kearifan, tatkala
sesaat seakan-akan didengarnya sebuah suara halus-merdu yang menyeru:
‘Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari
luar…’ Maka tarian Syiwa-Nataraja bagi Sanusi Pane adalah ‘jalan
ringkas…mencapai kemerdekaan’. Jiwa akan merdeka jika kita membiarkan
diri menari dan ‘membakar segala ikatan buta’ yang kita bikin, jika
dalam gerak itu, sang penari tak dijajah oleh hasil, oleh ‘tujuan’.
Seperti ketika, dalam sebuah sajaknya yang lain, ia merasa di atas biduk
dan merasa hening dan tenteram, dibawa gelombang tanpa kehendak tanpa
arah, menyimak getar keabadian di langit dan melenyapkan diri ke dalam
alam…
Di sini, tindakan berada di titik nol. ‘Diam, hatiku,
jangan bercita’, tulis Sanusi dalam Candi Mendut, ‘Jangan kau lagi
mengandung rasa/Mengharap bahagia dunia Maya’.
Maka tindakan jadi
‘laku’: ada di antara posisi yang bukan pasif dan juga bukan aktif.
Sajak Syiwa-Nataraja melukiskan dua gerakan untuk mencapai kemerdekaan:
yang satu dengan metafora ‘menari’, dan pada saat yang sama juga
‘tinggal samadi’.
Tapi persoalannya tetap: bagaimana laku ini
menyiapkan sesuatu yang berarti bagi sejarah. Di dunia, manusia ada
dalam keadaan terlempar. Ia tak siap, ia sebuah kekurangan: ikan
langsung dapat berenang begitu ke luar dari indung telur, tapi manusia
tidak.
Sebab itulah ia merasa terancam terhimpit oleh dunia
sekitarnya. Ia pun mencoba mengendalikan alam, termasuk jasmaninya
sendiri. Untuk itu ia harus berada di atasnya dan membebaskan diri
darinya.
Maka kebudayaan pun terbentuk, dengan produksi dan
teknik yang diperbaiki terus menerus. Tapi juga dengan kesengsaraan dan
penindasan.
Dan di koloni orang-orang yang tertindas, seperti
Indonesia di tahun 1930-an ketika Sanusi Pane menuliskan sajak-sajak
yang terkumpul dalam Madah Kelana, tampaknya harus diakui bahwa
konflik-lah yang membentuk manusia. Mungkin sebab itu penyair penganut
theosofi ini tertumbuk pada ruang buntu. Baru beberapa tahun kemudian ia
menemukan sebuah jalan keluar.
Di tahun 1940 ia menulis lakon Manusia Baru, sebuah cerita tentang perjuangan buruh di Madras,
India.
Surendranath Dash, aktivis dari Benggali itu datang membantu para buruh
tekstil untuk menuntut perbaikan nasib. Di sana ia bertemu dengan
anak-anak muda kelas menengah, Sarawaswati Wadia, misalnya. Karena
kata-katanya yang menggugah untuk membangun sebuah India yang baru, yang
tak lagi bersifat ‘tenang’ tapi ‘bergerak dalam ketenangan’, Dash
mengubah pandangan orang-orang itu..
Dalam keadaan tertindas,
orang memang tak bisa menjalani laku sang kelana yang hanyut dalam
keheningan laut. Ia harus meletakkan diri sebagai subyek. Ia bukan hanya
‘laku’. Ia ‘tindakan’.
Dalam proses itu pula, sang kelana tak
lagi menggunakan bahasa ‘pemikiran meditatif’ dan tak pula memakai
bahasa ‘pemikiran puitis’ – bentuk-bentuk yang dipujikan Heidegger
sebagai alternatif bagi ‘pemikiran kalkulatif.’ Telah ditinggalkannya
bahasa yang selaras dengan suara angin di daun-daun. Surendranath Dash
tak menulis sajak..
Tapi hidup di tengah dunia yang belum
berubah, ‘manusia baru’ hanyalah sekedar model. Lakon Sanusi Pane tak
melukiskan liku-liku psikologi yang pelik dan pergulatan jasmani yang
pasang surut dalam proses transformasi dari yang ‘lama’ menjadi ‘baru’.
Manusia Baru praktis sebuah lakon tanpa tubuh tanpa laku.
Di saat
itu Sanusi lupa bahwa hidup adalah hidup dalam keterbatasan jasmani dan
keasyikan tubuh. Dash jadi seperti Faust, yang berkata kepada Ruh:
‘Aku, aku Faust, sejawatmu!’ Ia tak mau mengaku, bahwa ia berada dalam
sejarah.
Di dalam sejarah, di luar surga, manusia harus siap kecewa, tapi mensyukuri apa yang fana..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Kahyangan - Di surga, tak ada tahun baru. Waktu tak hadir, juga perbuatan"
Posting Komentar