Sekuler -- Sebuah negeri mustahil berhenti menjadi
plural tanpa pembunuhan. Terutama di awal abad ke-21. Persoalan yang
kemudian dihadapi adalah apa artinya ”plural”, dan apa gerangan pula
arti ”sebuah negeri”.
Jawabannya bukannya tak ada. Di Amerika
Serikat dan Inggris, ”plural” berarti ”multikultural”. Majemuk berarti
menghormati dan menjaga perbedaan adat-istiadat pelbagai paguyuban yang
ada dalam negeri itu. Majemuk berarti tidak mengasimilasikan penduduk
atau warga negara ke dalam satu kesatuan identitas yang baru setelah
yang lama dilupakan.
Dalam pandangan ini, ”asimilasi” membuat
bulu kuduk berdiri, seakan-akan sebuah penindasan, ketika akar-akar
budaya seseorang dibabat dan pelbagai manusia dilebur ke dalam sebuah
panci, untuk membentuk sebuah kebersamaan baru yang utuh dan sama rata
sama rasa—sebuah keseragaman yang represif. Namun, pandangan
multikulturalisme ini hanya salah satu jawaban bagi persoalan-persoalan
kemajemukan di abad ke-21.
Salah satu persoalan pernah muncul
dari pertikaian antara semangat yang menyambut hangat perbedaan dan
pengertian ”perbedaan” itu sendiri. Saya ambil sebuah jawaban dari
Prancis.
Di pertengahan Oktober 1989, tiga potong kain kepala
mengguncang republik itu. Kepala Sekolah Collège de Creil di Osie
memutuskan untuk mengeluarkan tiga gadis yang memakai jilbab dari
sekolah. Para guru mendukung keputusan itu. Bagi mereka, yang hendak
dipertahankan adalah ide tentang ”Prancis”, yang lahir sejak Revolusi
1789, persis 200 tahun sebelum insiden kerudung itu—yakni sebuah Prancis
yang sekuler, yang menganggap pemisahan agama dari wilayah publik
merupakan pembebasan, yang juga menghendaki persatuan dan kesatuan yang
kuat, sehingga perbedaan budaya harus dilarutkan dalam asimilasi.
”Sekolah ini Prancis,” ujar si kepala sekolah, ”Ia terletak di Kota
Creil, dan sifatnya sekuler. Kita tak akan membiarkan diri kita direcoki
soal-soal agama.”
Tapi dia ditentang ramai-ramai. Bagi para
aktivis yang memperjuangkan persamaan hak antara kelompok dalam
masyarakat, tindakan kepala sekolah itu diwarnai keras oleh sikap
melecehkan minoritas Islam di Prancis. Bagi kalangan agama, tindakan si
kepala sekolah merupakan contoh semangat sekularisme yang militan dan
sewenang-wenang. Kardinal Lustiger, Uskup Agung Paris, berseru:
”Janganlah kita berperang melawan anak-anak itu!” Juru bicara Federasi
Protestan juga mengatakan: ”Kalangan Protestan menganggap tak ada alasan
untuk melarang jilbab di sekolah,” dan ia memperingatkan agar Prancis
bangun dari mimpinya untuk memerangi agama. Tokoh rohaniwan Yahudi Kota
Paris bicara lebih tegas lagi bahwa ”mereka yang melarang anak-anak
muslim memakai jilbab itu… menampakkan tidak adanya toleransi di
kalangan mereka.”
Tapi kemudian soalnya: di mana toleransi
berhenti dan di mana kebebasan mulai. Misalnya sebuah komunitas, sesuai
dengan adat-istiadatnya, mengharuskan seorang janda untuk ikut mati
bersama suaminya yang meninggal, dan komunitas itu hidup bersama dengan
beberapa komunitas lain yang menentang sangat aturan itu, sebab yang
tampak di sini adalah ketidakbebasan perempuan. Atau, misalnya sebuah
komunitas dalam sebuah negeri, dengan segala nilainya, menghukum rajam
seorang perempuan penzina, sementara negeri tempat komunitas itu hidup
menentang hukuman mati. Tidakkah dengan demikian sebuah masyarakat yang
multikultural merupakan sebuah masyarakat yang saling bertentangan, atas
nama ”pluralisme”? Akhirnya kita pun tak tahu, benarkah kata ”sebuah
negeri” masih bisa berlaku dalam kasus itu.
Sejarawan Pierre
Birnbaum merekam dan membahas perdebatan serius ini dalam La France
Imaginée (dalam versi bahasa Inggrisnya: The Idea of France), dan dari
uraiannya kita bisa menemukan persoalan yang menuntut renungan:
”multikulturalisme” menyambut perbedaan dan keragaman ”budaya”, tetapi
belum jelas benarkah makna ”budaya” berarti sesuatu yang berhenti dan
tunggal, dan juga tertutup, seperti anjungan rumah daerah di Taman Mini,
sehingga seseorang terjerat di sana, tak bisa ”lain”, tak bisa
berpindah?
Lima orang cendekiawan Prancis membela pemikiran di
balik keputusan si kepala sekolah mengenai jilbab, dan mereka menulis
sepucuk surat terbuka. ”Hak untuk berbeda,” tulis mereka, ”harus
diimbangi oleh hak untuk berbeda dari perbedaan dirinya.” Kalau tidak,
itu berarti perbudakan oleh identitas: seorang anak terus-menerus
diidentikkan dengan ayahnya, selalu diingatkan tentang kondisinya,
terikat kepada ”akar”nya.
Yang hendak ditekankan di sini adalah
”universalisme”. Pengertian bahwa manusia itu satu hakikat, di mana saja
dan kapan saja, tidak boleh berakhir. Ia tak boleh digantikan oleh
”komunitarianisme” yang melecut terus-menerus politik identitas. Bagi
para cendekiawan Prancis ini, multikulturalisme ala Amerika mengambil
jalan yang salah—mungkin seperti orang Indonesia memandang
multikulturalisme di Malaysia dengan cemas, sebab pada akhirnya di sana
yang terjadi adalah berakhirnya ”universalisme”.
Dan ketika tak
ada lagi apa yang bisa dianggap universal pada manusia, dan tatkala yang
dianggap ada hanyalah beda, maka dengan gampang komunitas-komunitas itu
pun saling menutup pintu. Dengan gampang pula ada semangat untuk
memurnikan diri, membersihkan dari segala campuran asing atau luar,
semakin lama semakin keras, semakin lama semakin mengurung. Akhirnya:
fundamentalisme.
Fundamentalisme memang aneh dan keras dan
menakutkan: ia mendasarkan diri pada perbedaan, tetapi pada gilirannya
membunuh perbedaan.
Oklahoma Januari 20, 2002
TUHAN dan
kekerasan: seseorang bisa saja mengutip Injil, bukan untuk mencintai
musuh, tapi untuk membinasakan. “Aku datang bukan untuk membawa damai
melainkan sebilah pedang,” begitulah kata Yesus yang termaktub dalam
Matheus (10:34). Seseorang bisa saja mengutip Injil di kalimat itu dan
yakin bahwa dengan pedang atau mesiu, manusia menapak di jalan Tuhan dan
setelah sebuah pembunuhan, kekerasan, dan apokalipsa, dunia pun akan
jadi bersih dan setan dikalahkan.
Itu agaknya yang diingat oleh
Timothy McVeigh di pagi hari 19 April 1995. Dengan 2.000 kilogram
campuran pupuk amonium nitrat dan bahan bakar diesel, yang ia taruh di
sebuah truk sewaan, ia meledakkan sebuah bangunan besar di Kota
Oklahoma. Gedung itu tempat pemerintah federal berkantor untuk urusan
kesejahteraan sosial dan urusan pengawasan tembakau, alkohol, dan
senjata api. Bunyi gelegar yang dahsyat pun terdengar, dan Gedung Alfred
P. Murrah itu hancur seluruh bagian depannya, dan 168 orang mati, di
antaranya anak-anak, dan lebih dari 500 luka-luka.
Jerit, tangis,
ketakutan, marah, mencekam seluruh Amerika Serikat. Sejarah mencatat
bahwa itulah serangan teror terbesar sebelum gedung World Trade Center
dihancurkan dua pesawat pada tanggal 11 September 2001.
Mark
Juergensmeyer, guru besar sosiologi dari Universitas California Santa
Barbara, dalam sebuah buku yang ditulisnya dengan teliti, Terror in the
Mind of God, menelaah mengapa McVeigh—yang wajahnya putih cakap,
rambutnya cepak rapi, sebagaimana umumnya orang Amerika
“tulen”—melakukan tindakan yang ganas itu. Dalam penelusuran
Juergensmeyer, pemuda ini terpengaruh oleh teologia yang dibawakan oleh
gerakan “Christian Identity”. Ia menerima selebaran The Patriot Report
dari cabang gerakan itu di
Arkansas, tapi tak kalah penting: ia
membaca buku fiksi The Turner Diaries dengan yakin. Di dalam novel
terbitan tahun 1978 ini dikisahkan dengan detail bagaimana sang tokoh
me-ledakkan sebuah gedung pemerintah federal, dengan hampir 2.000
kilogram mesiu campuran pupuk amonium nitrat dan bahan bakar diesel.
McVeigh, yang menganggap The Turner Diaries buku sucinya, hampir persis
meniru sang tokoh novel.
The Turner Diaries ditulis oleh “Andrew
Macdonald”, nama samaran William Pierce, seorang Ph.D. lulusan
Universitas Colorado dan pengajar fisika di Universitas Negeri Oregon.
Novel itu dengan segera, kata Juergensmeyer, menjadi sebuah karya klasik
bawah-tanah: laku cepat 200 ribu eksemplar. Saya tak tahu bagaimana
mutunya. Tapi konon di sana digambarkan semacam armagedon: pertempuran
para “pejuang kemerdekaan” yang bergabung dalam gerilyawan “the Order”
melawan kediktatoran pemerintah Amerika. Perjuangan ini perlu, menurut
Pierce, karena Amerika telah diperintah oleh “sekularisme” yang dibangun
oleh komplotan Yahudi dan para intelektual progresif untuk menghabisi
kemerdekaan “masyarakat Kristen”.
Gambaran muram dan keras
tentang dunia yang seperti itu juga yang dibawakan gerakan “Christian
Identity”: bagi gerakan ini, Amerika, yang seharusnya merupakan sebuah
tanah air Kristen, telah dikepung dan dikuasai oleh “Si Lain”. Apa dan
siapa “Si Lain” itu bisa bermacam-macam, tapi umumnya dikatakan bahwa
musuh itu adalah “Yahudi-dan-PBB” (dan para pemikir “liberal”). Dan
seperti umumnya gerakan militan yang menderita pandangan dunia yang
penuh syak wasangka, “Christian Identity” membentuk laskar.
Seperti
Al-Qaidah, ia membangun kamp latihan militer. Tempatnya di Amerika
bagian barat-tengah, di perbatasan Oklahoma-Arkansas-Missouri, dan
namanya “
Endtime Over-comer Survival Training School”—sesuatu
yang merupakan bagian persiapan mengatasi suasana “akhir zaman”. Di
dekat kamp itu, rohaniwan mereka, Pendeta Robert Millar, mendirikan Kota
Elohim, yang anggota-anggotanya menghimpun senjata untuk menghadapi
serangan pemerintah Amerika Serikat. Kamp inilah yang dihubungi McVeigh
beberapa saat sebelum ia meledakkan Gedung Alfred P. Murrah.
Tuhan
dan kekerasan: McVeigh, yang kemudian ditangkap dan dihukum mati, tidak
sendiri. Pada tahun 1996 “Christian Identity” mengebom Olimpiade di
Atlanta, pada tahun 1999 menembaki sebuah tempat penitipan anak Yahudi,
dan sebelum itu pada tahun 1985 Pendeta Michael Bray—yang berpikiran
sejenis dan diduga menulis buku petunjuk berjudul Army of God (Laskar
Tuhan)—membakar dan merusak tujuh buah klinik tempat para dokter
membantu pengguguran kandungan. Pada tahun 1994, Pendeta Paul Hill
menembak mati Dokter John Britton di Florida, setelah beberapa tahun
sebelumnya seorang perempuan pengikut Pendeta Bray mencoba membunuh
Dokter George Tiller di Kansas. Pendeta Bray kemudian menulis buku untuk
menghalalkan kekerasan seperti itu. Judulnya: A Time to Kill.
Tuhan
dan pembunuhan: mengapa semua ini terjadi, tak cuma di kalangan Kristen
dan Islam, tapi—seperti dikumpulkan dan ditelaah oleh
Juergensmeyer—juga di kalangan Yahudi, Hindu, Sikh, dan Buddha? Penulis
Terror in the Mind of God menyimpulkan bahwa agama memang selalu
mengandung imajinasi yang membuat pelbagai nilai jadi mutlak; agama
dengan itu juga memproyeksikan “perang kosmis”. Sementara itu, agama
sering membenarkan kekerasan, dan kekerasan memperkukuh agama, yang,
dalam kehidupan publik, memberikan mercusuar ke arah tatanan moral.
Yang
agaknya diabaikan para “laskar Tuhan” itu ialah bahwa tatanan moral itu
akan selalu mengimbau seperti surya di pangkal akanan. Kita akan selalu
mendapatkan hangat dan cahayanya, dan kita senantiasa berikhtiar ke
sana. Tapi mungkinkah mencapai kaki langit itu, menjangkau terang itu,
dengan doa, dengan laku, dengan darah, dengan besi, sekalipun? Hidup
jadi berarti bukan karena mencapai. Hidup jadi berarti karena mencari. (Tempo)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Sekuler"
Posting Komentar